Opini

Salafisme dan Dilema Pembaharuan Islam

Oleh: Ali Muhtarom

Channel9.id – Jakarta. Munculnya Salafisme melalui penyebarannya ke seluruh dunia telah menjadi kendaraan bagi terciptanya identitas Islam global baru (a new global Islamic identity) yang berpotensi akan menghilangkan beberapa referensi nasional, budaya, dan sejarah (Bubalo dan Fealy, 2007: 4) Dengan membanggakan diri sebagai pewaris utama generasi golden period, Salafisme menganggap dirinya menjadi kelompok yang paling sesuai dengan Islam yang diajarkan Nabi. Mereka secara ketat menjaga sumber kebenaran dengan merujuk pada gerakan literalis yang disesuikan dengan ahl al-hadis pada masa Abbasiyyah.

Karakteristik utama dari gerakan ini adalah berkonsentrasi penuh pada upaya mempelajari Sunnah Nabi sebagai sarana untuk membersihkan ajaran Islam dari segala bentuk ragam bid’ah yang berbahaya bagi kemurnian Islam. Untuk kembali kepada kemurnian Islam, Salafisme menyerukan kembali kepada sumber Islam melalui ijtihad. Karena itu, mereka sangat mengecam taqlid dan penerimaan begitu saja atas otoritas-otoritas abad pertengahan (mazhab). Keteguhannya dalam memegang Sunnah serta pandangannya yang sangat literalis terhadap nash-nash Al-Quran merupakan karakteristik dari pola ini.

Dengan demikian, mereka tidak hanya skripturalis, tapi juga literalis. Mereka mengklaim bahwa model pemahaman yang harfiah akan menghasilkan pemahaman yang tidak terkontaminasi oleh subjektivitas manusia.

Sebenarnya gerakan pemurnian Islam bukan satu-satunya pada periode tersebut yang memunculkan doktrin Salafisme. Di Yaman, ‘Ali Muhammad bin al-Syawkani (w.1834 M) adalah juga seorang reformis Yaman yang giat dalam seruan ijtihad. Di India, Shah Wali Allah (1703-1762) juga pernah melakukan program reformasi yang sama. Bahkan Syah Wali Allah ini juga pernah bareng dengan Ibnu Abdul Wahhab belajar kepada Muhammad Hayat al-Sindi, seorang ahli hadis di India.

Namun Syekh Wali Allah sangat berbeda dengan Ibnu Abdil Wahhab. Syah Wali Allah merupakan sufi dan ahli fikih di India yang ajarannya sangat kaya dan lebih mendalam. Hingga pada taraf tertentu kerap dijadikan sebagai bukti tentang kompatibilitasnya sebagai gerakan pembaharu Islam di Anak Benua. Gerakan Salafisme Deobandi yang dibuka pada tahun 1867, di dekat New Delhi India juga menekankan pengajaran hadis dan menentang studi rasionalitas hukum, logika, dan filsafat (Algar, 2011: 25).

Namun, reformulasi Salafisme oleh ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdil Wahhab yang mengilhami beberapa generasi setelahnya dengan praktik dan model pemikiran yang cenderung fundamentalis mengalami problem tersendiri. Fundamentalisme gerakan ini disebabkan karena pola pemahaman doktrin pemurnian akidah dan menjaga tradisi salaf al-salih (manhaj salafi) yang terlalu ketat, tidak mau menyesuaikan dengan budaya dan tradisi yang sudah berkembang di wilyah tertentu. Bahkan doktrin kembali pada nash melahirkan problem yang krusial diinternal Salafisme antara yang mengambil bentuk gerakan revivalis dan reformis puritan.

Di Indonesia anggapan umum terhadap ideologi Salafi sebagai gerakan modernisme Islam didukung oleh Daliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia (Noer, , 1996). Meskipun banyak dikritik buku tersebut berhasil menyedot perhatian masyarakar, tidak terkecuali kalangan akademisi terbawa arus konsepsi ini dalam membuat jurang pemisah terhadap kelompok Muslim Indonesia ke dalam kotak modernisme berbau puritanisme Salafi dan kelompok tradisional yang selalu dilekatkan pada kelompok Islam kultural.

Kelompok pertama dengan mengikuti logika Esposito dikategorisasikan sebagai kelompok Islam Modernis atau reformis dengan mengikuti model Ibnu Abdul Wahhab sebagai tokohnya. Sedangkan kelompok yang kedua dianggap oleh kelompok pertama sebagai kelompok tradisional dan belum murni keimanannya karena beberapa praktik ibadah masih tercampur dengan budaya dan tradisi lokal.

Akan tetapi, konsepsi tentang Islam modernis tersebut justru memasukkan gerakan puritanis seperti Muhammadiyah, Persyarikatan Ulama, Partai Sarikat Islam, beberapa organisasi Islam lain seperti Persis, Al-Irsyad, Wahdah Islamiyyah dan berbagai Ormas Islam lain yang memiliki kesamaan semangat dalam pemurnian ajaran Islam. Beberapa kelompok ini mencurahkan sekuat tenaga dalam menjaga akidah Islam supaya tidak tercampur dengan praktik kesyirikan yang ditimbulkan dari unsur budaya dan tradisi lokal yang tidak sesuai dengan dalil nash (Al-Quran dan Al-Sunnah).

Bagi kelompok Islam modernis seperti ini, mencampuradukkan hal-hal akidah dengan tradisi dan budaya merupakan tahaayul, bid’ah, dan churafat (TBC) sedangkan melakukan pembiaran terhadap hal tersebut adalah berdosa. Maka untuk memberantas berbagai praktek yang menimbulkan kesyirikan harus dilakukan dengan upaya yang tegas demi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang sangat menjunjung tinggi tradisi dan kebudayaan lokal karena pandangan keagamaannya menjunjung dialektika agama dan kearifan lokal tidak jarang mendapatkan stigma negatif dari anggapan penyimpangan “akidah Islam” tersebut. Hal ini, sebagaimna disebutkan bahwa NU memiliki sikap keagamaan yang konsisten dalam mengakomodir tradisi dan budaya lokal. Kondisi ini kemudian memunculkan klarifikasi dari NU dengan membangun wacana tandingan dengan konsep Islam pribumi yang menjadi landasan bagi berkembangnya Islam Nusantara yang saat ini diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama.

Menurut K.H. Abdurrahman Wahid konsep Islam pribumi mencoba mengejawentahkan ajaran-ajaran Islam agar tidak bertentangan dangan tradisi dan kebudayaan lokal. Pribumisasi tidak berarti meninggalkan norma-norma keagamaan demi budaya, tetapi agar norma-norma tersebut menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (Al-Quran) (Effendi,1998). Perpaduan diantara keduanya menjadi saling melengkapi, di mana agama lahir dari perintah Tuhan, sedangkan budaya merupakan hasil dari kreasi manusia.

Dalam pribumisasi Islam nampak bagaimana Islam diakomodasikan ke dalam tradisi dan budaya yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing, sehingga tidak ada pemurnian Islam atau penyeragaman praktik keagamaan dengan budaya Timur Tengah. Pribumisasi bukan untuk memunculkan perlawanan dari kekuatan tradisi-tradisi setempat, akan tetapi memperteguh eksistensi dari budaya tersebut.

Dengan demikian reformasi salafi,-sebagaimana gerakan modernis Islam Indonesia, sebagai jargon pembaharuan Islam reformasi adalah pemikiran keagamaan untuk melepaskan diri dari praktik yang dianggap syirik dan bid’ah dengan pemahaman yang kaku dan sempit terhadap nash. Pemahaman atas reformasi dan pembaharuan dengan demikian berkebalikan dengan pemaknaan reformasi dan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh para pembaharu yang dilhami oleh semangat berpikir yang kritis untuk melepaskan kebekuan dan kesumpekan dalam memahami Islam menuju pemahaman yang mencair dan membuka ventilasi pemikiran yang lebih luas.

Ketidaktepatan pemahaman Salafisme sebagai gerakan pembaharuan dikarenakan gerakannya yang kaku, tidak mau berdialog dengan tradisi dan budaya lokal. Justru sering memicu berbagai konfrontasi dengan sebagian kelompok Muslim di wilayah tertentu.

Di Indonesia, sejarah perkembangan awal Salafi pernah dilakukan oleh trio haji yaitu Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif pada abad ke-19 justru menimbulkan tragedi yang mengerikan. Mereka melakukan dakwah di Indonesia dengan semangat puritanisme yang kaku, memusyrikkan (tasyrik), mengkafirkan (takfir), dan memurtadkan (tardid) kelompok Islam lain yang tidak sama dengan mereka.

Walaupun sering disebut sebagai pioner gerakan Islam reformis di era modern sebagaimana dijelaskan John L. Esposito yang memulai kategorisasi bahwa Ibnu Abdil Wahhab adalah sebagai pencetus gerakan reformasi Islam. Namun menurut saya pernyataan tersebut hanyalah klaim yang sudah terlanjur menjadi pemahaman umum, dan juga karena adanya hegemoni wacana. Apa yang disampaikan Fazlur Rahman dalam menempatkan Shaykh Ahmad Sirhindi sebagai pencetus gerakan reformasi Islam pra-modern yang sebenarnya bukan Ibnu Abdil Wahhab mungkin adalah jawaban yang menurut saya perlu dipertimbangkan pada saat ini. Walaupun demikian pendapat Esposito lebih banyak dijadikan dasar bahwa gerakan Wahhabisme yang menjadi pioner gerakan reformasi Islam di era modern.

Menurut K. Yudian Wahyudi mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa pencetus gerakan reformasi Islam adalah Ibnu Abdul Wahhab didasarkan pada alasan yang sederhana, yaitu pemikiran Ibnu Abdil Wahhab berhasil mempengaruhi sebagian besar gerakan reformasi Islam “puritan” di dunia, khususnya Mesir, Maroko, dan Indonesia (Wahyudi, 2010:3-4).

Di luar itu semua menurut saya, bahwa konteks pembacaan modernisasi yang sesungguhnya bukanlah pada upaya menjadikan pemikiran Ibnu Abdul Wahhab dan para pengikutnya yang mengikatkan diri sebagai generasi Salafisme sebagai pembaharu Islam. Sebagaimana telah disampaikan, jika pemahaman tersebut didasarkan pada pemahaman umum, mungkin bisa dimaklumi. Yaitu pemahaman tentang gerakan kebangkitan dan reformasi Islam dalam pengertian kepengikutan atau followership terhadap pemikiran Ibnu Abdul Wahhab yang puritan. Bukan dalam pengertian pembaharuan yang bersifat rasional, terbuka, dan menerima modernitas.

Justru konsepsi pemikiran Ibnu Abdul Wahhab pada era kontemporer tidak menunjukkan rasionalitas, keterbukaan, dan kemodernannya, bahkan malah mundur ke belakang sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pengikutnya dari kelompok Salafisme yang berpikiran sempit dalam memahami agama, Dan apabila dikaitkan dengan gagasan Abduh yang dikatakan sebagai pioner gerakan Salafisme rasional (Lauzière, 2016:199), pun juga belum sepenuhnya tepat karena konsep Salafismenya Abduh masih mengandung eksklusivitas dan malah mengilhami bangkitnya kelompok Salafisme barisan Islam politik. Model pemikiran Salafi yang kaku tersebut pada saat ini paling nyata diwujudkan dalam bentuk sikap para pengikutnya yang keras dalam menolak globalisasi, modernisme, demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan segala pemikiran yang berasal dari Barat, serta penafsiran-penafsiran yang bersumber dari pemikiran manusia.

 

Penulis Dosen Pascasarjana UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

71  +    =  78