Rudi Andries
Opini

Sampah, Energi, dan Rp 50 Triliun

Oleh: Rudi Andries*

Channel9.id-Jakarta. Indonesia sedang berhadapan dengan gunung sampah. Tahun 2024, timbunan itu diperkirakan mencapai 32,86 juta ton, dan hampir separuhnya tak termanfaatkan. Di balik tumpukan plastik, organik, dan residu yang mencemari sungai dan laut, tersimpan potensi energi yang sesungguhnya besar: tiga gigawatt listrik, jika saja infrastruktur pengolahan tersedia.

Pekan lalu, Kepala Danantara yang juga Menteri Investasi, Rosan Roslani, mengumumkan mandat barunya: memimpin proyek Waste-to-Energy di 33 titik nasional, dimulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali. Kehadiran sejumlah pejabat tinggi di acara itu memberi bobot politik pada pengumuman obligasi senilai Rp 50 triliun yang akan diterbitkan untuk membiayai proyek ini. Dua seri obligasi ditawarkan dengan tenor lima dan tujuh tahun, kuponnya hanya dua persen—sangat rendah bila dibandingkan pasar.

Sekilas, langkah ini tampak menjanjikan. Sampah berkurang, energi terbarukan bertambah, dan pasar obligasi hijau Indonesia bisa tumbuh. Namun justru di titik inilah persoalan muncul. Sejarah panjang proyek infrastruktur di negeri ini menunjukkan, janji besar sering kali terjebak di dua ekstrem: jadi mercusuar yang hanya berdiri di satu-dua kota besar, atau berubah menjadi ladang rente bagi segelintir elite yang menguasai akses keuangan dan kebijakan.

Risikonya jelas: investor tenang dengan kupon dua persen, sementara beban teknis, sosial, dan lingkungan ditanggung negara dan masyarakat. Pemda bisa saja hanya menjadi penonton, padahal masalah sampah bersifat sangat lokal. Yang mengkhawatirkan, penunjukan figur dari lingkar elite sebagai penanggung jawab menimbulkan kesan bahwa proyek ini sudah lebih dulu ditangkap oleh kepentingan politik-ekonomi tertentu.

Di titik ini, kuncinya ada pada tata kelola. Transparansi mutlak diperlukan: prospektus publik yang jelas, audit independen, hingga komite pengarah yang melibatkan akademisi dan masyarakat sipil. Desentralisasi juga penting, karena mustahil mengatasi sampah nasional dengan kacamata pusat semata. Pemda dan BUMD harus ikut sebagai pemilik proyek, bukan sekadar pelaksana. Obligasi pun semestinya dicairkan bertahap, hanya ketika target kinerja tercapai—berapa ton sampah diolah, berapa kWh energi dihasilkan.

Skema ini bisa berkembang menjadi instrumen pendanaan inovatif: kombinasi obligasi domestik, green bond internasional, hingga kredit karbon. Dengan cara itu, pembiayaan tidak hanya bertumpu pada kupon murah, tapi benar-benar mendorong transisi energi hijau.

Mandat Danantara mengelola Rp 50 triliun untuk proyek Waste-to-Energy adalah ujian kredibilitas kita. Jika dikelola dengan cara lama—sentralistik, elitis, tanpa transparansi—proyek ini hanya akan menjadi etalase oligarki berbungkus hijau. Tapi bila dijalankan dengan tata kelola modern, berbasis kinerja, dan berpihak pada masyarakat, ia bisa menjadi game changer: mengubah sampah menjadi energi, dan energi kembali ke rakyat.

*Wakil Ketua Umum DNIKS

Baca juga: Biochar: Bara Hitam untuk Hijau Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

13  +    =  21