Opini

Satu Abad NU: Ruh NU Ada di Tasawuf, Tarekat, dan Wirid

Oleh: Muhamad Yusuf Kosim

Channel9.id – Jakarta. Nahdlatul Ulama (NU) didirikan oleh Mbah Hasyim Asy’ari dan para kiai pondok pesantren seratus tahun lalu, tepatnya 1344 H/1926 M. Sebelum organisasi ini resmi berdiri, para kiai-kiai melakukan tirakat berhari-hari: puasa, shalat sunah, dan wirid/dzikir.

Mereka pun memohon izin kepada guru-gurunya, baik yang ada di Nusantara maupun di Mekkah untuk mendirikan organisasi para ulama. Para guru-guru kiai ini pun sama, tirakat.

Hingga akhirnya petunjuk dan izin itu pun keluar. Maka, pada 16 Rajab 1344 H diresmikan organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama di Surabaya.

Baca juga: Alissa Wahid Canangkan Gerakan BUMNU di Jember

Sejarah berdirinya NU tidak lepas dari tirakat. Di kalangan pesantren, tirakat menjadi hal biasa dilakukan. Tirakat diajarkan dari kiai ke santri/muridnya. Apalagi kiai-kiai NU adalah kiai-kiai yang kuat basis tasawuf dengan gerakan tarekatnya. Tarekat sangat lekat dengan tirakat dan wirid. Tidak ada tarekat yang tidak ada tirakat dan wiridnya.

Saya yakin sekali bahwa NU bisa berumur seabad ini karena tradisi tarekat dan wirid masih sangat kuat di kalangan kiai dan pesantren. Seabad adalah bukan waktu yang pendek untuk sebuah organisasi dari masa pra kemerdekaan hingga kini. Banyak terjadi perubahan sosial, politik, ekonomi, ideologi, dll.

NU tetap kokoh. Bahkan jumlah pengikutnya semakin banyak di tengah gempuran beragama yang mudah menyesatkan dan mengkafirkan amaliyah orang-orang NU. Jika membaca survei-survei nasional terbaru, jumlah pengikut lebih dari 50%, sisanya adalah organisasi-organisasi Islam lain yang jumlahnya tidak mencapai 20%, dan orang yang merasa tidak terafiliasi dengan organisasi Islam mana pun juga. Padahal pada sepuluh tahun terakhir, jama’ah NU masih di angka 35%.

Namun, selama seabad itu bukan berarti NU tanpa kekurangan. Sistem pendidikan pondok pesantren yang selama ini lebih menekankan pendidikan agama, kurang memasok orang-orang NU di bidang lain: ekonomi, teknologi, matematika, dan ilmu sains dasar. Sehingga ada gap yang tajam antara lulusan pondok pesantren dengan non-pondok pesantren dalam bidang ilmu-ilmu umum.

Namun, mendorong pondok pesantren beralih ke pendidikan umum juga akan menjadi masalah. NU tetap perlu pondok pesantren yang khusus mengajarkan ilmu agama (biasa disebut pondok salaf), karena basis NU adalah bidang keagamaan, khususnya paham Ahlussunah wal Jama’ah yang secara fikih mengacu pada empat madzhab, madzhab Syafi’i; secara tauhid mengacu pada Al Asy’ari yah dan Al Maturidiyah; dan secara tasawuf mengacu pada Al Ghazali dan Junaid Al Baghdadi.

Jalan tengah yang selama ini ditempuh adalah sebagian pondok pesantren pengadopsi sistem pendidikan agama dan pendidikan umum, untuk mencetak alumni pesantren yang berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat. Meskipun tipe alumni ini tidak terlalu menguasai ilmu agama secara mendalam, setidaknya mereka memiliki bekal yang cukup di bidang itu.

Seabad NU, masih banyak PR. Terutama jama’ah NU yang besar ini banyak tersebar di pedesaan. Masalah sosial ekonomi dan kesejahteraan adalah hal yang perlu mendapat perhatian lebih. Terutama bisa mengikuti arus perubahan zaman yang sangat cepat di bidang teknologi informasi dalam dua puluh tahun terakhir.

Apa pun, ruh NU harus tetap dipertahankan memasuki abad kedua yang perayaannya penuh gegap gempita ini. Tasawuf, tarekat, dan wirid adalah kunci pertahanan terbaik NU. Bersyukur puncak resepsi satu abad NU di Sidoarjo diawali dengan doa, istighotsah, dan wirid yang dipimpin oleh para kiai, habaib, dan ulama seluruh dunia. Mengetuk pintu langit.

Memasuki abad kedua, semoga NU tetap dijaga oleh Gusti Allah melalui wasilah para kiai dan habaib. Tidak ada pertolongan yang lebih baik, kecuali pertolongan Gusti Allah. Hasbunallahu wa ni’mal wakil.

Yaa Jabbar, Yaa Qohhar… !

Penulis adalah Alumni Departemen Antropologi FISIP UI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

59  +    =  68