Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. Dalam Fokus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Combine Resource Institution (CRI) tanggal 24 September 2019 lalu di Jakarta, sejumlah pihak memaparkan program ambisius. Yakni, satu data kemiskinan. Pihak yang paling bersemangat adalah Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan Wahyudi.
Pemberi paparan berasal dari Kementerian Sosial (Kemensos) RI, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI, plus sahibul bayt alias tuan rumah: CRI. Sementara, pemberi tanggapan berasal dari Tim Penjamin Kualitas Reformasi Birokrasi Nasional RI, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Kementerian Kesehatan plus Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Komite Ekonomi dan Industri Nasional, serta Komisi Informasi Pusat. Tentu juga kalangan NGO, pengamat, pemerhati, serta jurnalis.
Kabupaten Gunungkidul tampil sebagai bintang. Tanpa bantuan anggaran memadai dari pemerintah pusat, kabupaten yang masuk kategori daerah minus di Daerah Istimewa Yogyakarta ini menyita perhatian. Kabupaten ini pernah memiliki 9 admiral (laksamana) dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang melakukan revolusi fisik. Mohammad Hatta lewat Program Restrukturisasi – Rasionalisasi (ReRa) sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, dalam semalam memanggil ke-9 admiral itu, lantas memberhentikan dengan hormat.
Bagaimana bisa mereka menguasai lautan, jika berlayar dalam kapal laut saja belum pernah? Tapi, kebijakan Hatta itu terjadi 70 tahun lalu.
Kini? Gunungkidul sanggup menyusun, mengumpulkan, memvalidasi dan memverifikasi, sampai memperbaharui data rumah-tangga miskin secara berkala. Perbaikan ruang dan manusia terjadi bagai kumpulan lebah atau semut yang menata sarang. Sehingga mudah sekali dilihat mana desa yang termasuk paling miskin dalam tampilan di komputer, berikut rumahtangga yang masuk dalam sentuhan program-program penanggulangan kemiskinan oleh pelbagai pihak.
Bukan hanya desa, tapi juga masuk ke rumah tangga yang ada di desa itu. Kondisi fisik rumah yang bersangkutan bisa dilihat, mulai dari halaman, teras, ruang tidur, dapur, hingga kamar mandi dan jamban. Tampak pula, misalnya, konsumsi rokok di rumah tangga tersebut.
Pihak manapun yang ingin menyusun program yang tepat sasaran, tinggal menyampaikan kepada dinas terkait. Begitu juga dengan kaum filantropis yang hendak menyalurkan bantuan, dengan cepat langsung memilih. Mau social charity, corporate social responsibility perusahaan swasta atau negara, hingga bantuan semusim calon-calon kepala desa hingga legislatif, langsung tampak. Tidak perlu lagi terdapat tim pendahuluan (advance team) guna mencari data awal. Jelas peta buta sudah masuk ke dalam selokan. Jangan ditanya “broker-broker kemiskinan” yang di masa lalu pernah menjadi “pekerjaan” yang menghasilkan duit besar. Terutama di area bencana.
Stakeholders pemerintahan pusat tentu sangat terbantu dengan inisiatif yang dilakukan Kabupaten Gunungkidul. Itu sebabnya, satu data perlu diarusutamakan di setiap kabupaten di Indonesia. Sayang, walau sudah lama didengungkan, program satu data masih terkendala dalam pelaksanaan.

Ego sektoral masih muncul. Di samping, masing-masing bekerja untuk mendapatkan data spesifik yang tak saling sinergis. Koordinasi lintas kementerian/badan/lembaga masih minim. Data yang ditampilkan pun banyak yang kadaluarsa. Badan Pusat Statistik sebagai pihak yang paling diandalkan mendapatkan data, tidak setiap saat melakukan riset, survei, apalagi sensus.
Tak heran apabila perbedaan data inilah yang memicu perkembang-biakan isu di publik. Satu data kemiskinan yang seragam saja bisa memicu kontroversi, terkait strategi penanganan dan prioritas tahunan, misalnya. Apalagi data yang tak satu.
Sepekan lalu, saya pulang ke kampung halaman menghadiri pemakaman guru sekolah dasar saya. Almarhum Ibu Marlini adalah orang yang membolehkan saya duduk di kelas satu SD Inpres Sikucur, Basung, Kampung Dalam, Padang Pariaman. Padahal, usia saya baru enam tahun. Tangan kanan belum bisa meraih telinga kiri. Namun, saya nekad ingin tetap sekolah. Ibu Marlini membolehkan saya duduk di kelas yang diduduki kakak kandung saya, Zainul Bahri. Tentu, hanya duduk, belajar, tanpa ada ujian, apalagi rapor. Baru di usia tujuh tahun saya benar-benar masuk SD Negeri 2 Air Angat, X Koto, Tanah Datar. Sempat berpindah lagi ke SD Inpres Sikucur, rangking 1 dan 2 menghiasi rapor SD saya hingga tamat.
Nah, dalam kesempatan itulah sejumlah Wali Nagari, Sekretaris Nagari, hingga Kepala Desa mengajukan permintaan ini dan itu ke saya. Dulu, kalau bersifat proyek pembangunan jembatan atau “meluruskan” alur sungai, saya bisa ajukan ke sejumlah abang atau kakak yang duduk di parlemen atau pemerintahan. Bang Harry Azhar Azis adalah salah satu yang sering saya ganggu. Dari nagari yang paling terkebelakang, hingga kini indah rupawan di Sikucur, plus jembatan bagus di Campago, adalah berkat “gangguan” saya kepada Bang Harry.
“Ndra, Bupati lu nih di ruangan,” begitu Bang Harry nelepon.
“Bang, itu bukan bupati saya, tapi mamak (paman) saya,” begitu cara saya memberi penjelasan.
Tentu, cara-cara “baheula” seperti itu tak bisa lagi di zaman kini. Dulu, saya bebas menelepon Bang Syarif Cicip Sutardjo untuk kasih bantuan, bangunan, bahkan ikut rombongan pesawat pribadi. Saya juga meminta Bang Zulkifli Hasan untuk “membebaskan” seekor harimau yang ditangkap warga, dengan syarat ada pesta adat yang berbiaya mahal. Suatu kemewahan sebagai seorang adik yang punya banyak abang, tentu. Pak Jusuf Kalla saja saya “bohongi” supaya datang ke kampung saya sebagai Wakil Presiden RI pertama yang datang. Saya bilang, kampung saya tenggelam karena gempa. Belakangan, terdapat kampung lain yang lebih parah. Saya bilang, “Kan saya belum teliti yang lain, Pak?”
FGD Satu Data menjadi inspirasi saya dalam menjawab sejumlah permintaan warga. Saya ajak Kepala Desa, Kepala Dinas, hingga staf senior Badan Pusat Statistik, hingga Walikota untuk “bertengkar”. Saya telepon kawan saya sejak lama Hardy Hermawan dan sejumlah pejabat di kementerian.
“Bisa nggak, akhir tahun nanti muncul Nagari Dalam Angka, Desa Dalam Angka, baik di Kabupaten Padang Pariaman atau Kota Pariaman? Kabupaten atau Kota Dalam Angka sudah bisa didownload tiap tahun. Yang tak ada Nagari atau Desa Dalam Angka,” tantang saya.
“Bagaimana cara bikinnya, Bang? Sumberdaya manusia kita terbatas,” sejumlah alasan muncul.
“Nanti kalau ada tim pelatih dari Jakarta, mau dilatih? Kalau gak mau, ya sudah, catat aja apa yang bisa dicatat. Berapa jumlah kelapa? Jumlah beruk? Jumlah anak sekolah. Jumlah orang ganteng. Jumlah anak gadis cantik. Munculkan di dalam karton. Bagi ke warga. Biar mereka koreksi, estafet,” begitu kata saya. Mereka bilang, bisa.
Namun, di tengah obrolan seperti itu, saya hubungi kawan-kawan di Jakarta yang memiliki dana untuk proses pembuatan Nagari Dalam Angka atau Desa Dalam Angka itu. Andaipun nanti sulit mencarikan sumber dananya, terpaksa kelakuan lama saya jalankan lagi: menelepon abang-abang saya. Minimal, saya punya data puluhan ribu nomor telepon mereka…
Sang Gerilya Syndicate*