Oleh: Eva Riana Rusdi*
Channel9.id-Jakarta. Perjuangan kemerdekaan tidak selalu berbentuk angkat senjata. Di tengah cengkeraman kolonial Belanda, sekelompok cendekiawan pribumi memilih jalur berbeda: mendirikan sekolah-sekolah pribumi sebagai bentuk perlawanan. Pada era ketika pendidikan menjadi hak istimewa kaum elit dan alat indoktrinasi kolonial, Taman Siswa dan Muhammadiyah hadir sebagai benteng pertahanan identitas bangsa.
Pendidikan Kolonial: Menciptakan Budak Intelektual
Politik Etis yang dicanangkan Belanda pada awal abad ke-20 membuka sedikit akses pendidikan bagi pribumi. Namun, tujuannya jelas: menciptakan pegawai rendahan yang loyal pada pemerintah kolonial. Mereka dikondisikan untuk menganggap budaya Barat sebagai superior dan identitas pribumi sebagai inferior.
Sekolah-sekolah kolonial dengan sengaja membatasi pelajaran yang berpotensi membangkitkan kesadaran nasional. Siswa hanya dipersiapkan untuk menjadi roda-roda kecil dalam mesin birokrasi kolonial. Sistem ini menyebabkan keterasingan kultural dan menciptakan jurang pemisah antara kaum terpelajar dengan masyarakat umum.
Taman Siswa: Pendidikan yang Memerdekakan
Melihat situasi ini, Ki Hajar Dewantara tidak tinggal diam. Pada 3 Juli 1922, ia mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta sebagai bentuk perlawanan intelektual. Berbeda dengan sekolah kolonial yang kaku dan otoriter, Taman Siswa mengusung pendidikan yang membebaskan.
“Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan) menjadi fondasi filosofis lembaga ini. Pendidikan tidak lagi menjadi proses indoktrinasi, tetapi pembebasan potensi alamiah anak.
Perlawanan Taman Siswa mencapai puncaknya ketika berhasil menggagalkan Ordonansi Sekolah Liar tahun 1932—kebijakan yang bertujuan membatasi pergerakan sekolah-sekolah swasta pribumi. Keberhasilan ini membuktikan kekuatan perlawanan intelektual dalam menghadapi kebijakan kolonial yang represif.
Muhammadiyah: Modernisasi Tanpa Westernisasi
Sementara itu, K.H. Ahmad Dahlan memulai revolusi pendidikannya melalui Muhammadiyah yang didirikan pada 1912. Ia menunjukkan bahwa modernitas dan nilai-nilai Islam bisa berjalan seiring. Sekolah-sekolah Muhammadiyah mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai agama—suatu terobosan yang mendobrak dikotomi antara pendidikan agama dan umum.
Yang lebih progresif, Muhammadiyah membuka akses pendidikan bagi perempuan melalui Aisyiyah di era ketika pendidikan perempuan masih dianggap tabu. Inisiatif ini tidak hanya mencerdaskan separuh dari populasi pribumi yang terabaikan, tetapi juga mempersiapkan generasi baru yang sadar akan peran pentingnya dalam pergerakan nasional.
Muhammadiyah juga berhasil membangun kemandirian ekonomi dan sosial yang mengurangi ketergantungan pada sistem kolonial. Model pendidikan yang diterapkan Muhammadiyah membuktikan bahwa pribumi mampu mengembangkan sistem pendidikan modern tanpa kehilangan identitas kulturalnya.
Pendidikan sebagai Basis Perlawanan
Taman Siswa dan Muhammadiyah tidak sekadar mendirikan sekolah; mereka membangun basis perlawanan terhadap sistem kolonial. Kedua lembaga ini menanamkan kesadaran nasional, harga diri sebagai bangsa, dan kemandirian kepada generasi muda pribumi.
Dari ruang-ruang kelas ini, lahir tokoh-tokoh pergerakan nasional yang kelak menjadi ujung tombak perjuangan kemerdekaan. Mereka bukan hanya dibekali pengetahuan, tetapi juga kesadaran kritis dan keberanian untuk menentang ketidakadilan.
Seabad berlalu, perjuangan Taman Siswa dan Muhammadiyah memberikan pelajaran berharga. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan pembentukan kesadaran dan karakter. Keduanya membuktikan bahwa sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai lokal namun terbuka pada kemajuan adalah kunci untuk membangun bangsa yang berdaulat.
Di era globalisasi dan disrupsi digital, kita perlu kembali menggali semangat perlawanan intelektual ini. Ketika pendidikan kita semakin terkomodifikasi dan kehilangan roh pembebasannya, warisan Ki Hajar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan mengingatkan bahwa pendidikan sejati harus memerdekakan dan membangkitkan kesadaran kritis.
Perlawanan melalui pendidikan yang dilakukan Taman Siswa dan Muhammadiyah membuktikan bahwa revolusi tidak selalu memerlukan kekerasan fisik. Kadang, pena dan buku bisa menjadi senjata yang lebih ampuh dari peluru dan granat dalam memenangkan kemerdekaan yang hakiki—kemerdekaan pikiran, identitas, dan martabat sebagai bangsa.
Baca juga: Jangan Biarkan Semangat Kartini Hanya Menjadi Seremoni Tahunan
*Rafflesia Institute-Kandidat Doktor Universitas Indonesia