Oleh: Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS
Channel9 id – Jakarta. Jika dianalisis dengan kacamata Roland Barthes (1915-1980) sebagai salah seorang ahli semiotika, kita dapat memahami bahwa Indonesia dalam penanganan masalah terorisme – sejak dulu hingga terjadinya kasus serangan brutal Zakiah Aini di Mabes Polri (31/03/2021, pukul 16.30) – maka secara konotatif dapat dinilai Indonesia sedang mengalami situasi anomali.
Sebagai negara hukum dan demokrasi, tuntutan HAM dan praktik kebebasan utamanya di bidang informasi nampaknya semakin tak bisa dihindari. Hubungan antar jaringan terorisme dunia dengan nasional kita tentu semakin complicated bagi para petugas. Perkembangan kondisi dalam negeri-pun ikut mempengaruhi pendemi terorisme yang semakin tereskalasi pada semua lini. Muncul dan berkembangnya bibit terorisme tidak terlepas dari masalah ketidakadilan dan kesenjangan kesejahteraan sosial yang dinilai oleh banyak pihak, masih rapuh.
Kondisi yang tidak bisa dipungkiri, jika kita menarik suatu benang merah tentang cikal bakal keberadaan teorisme ini – disarikan dari essay Dhimam Abror (Kempalan News, 31/03/21) – pertarungan antara agama dan politik sejak dulu sudah ada. Proyek sekularisasi Timur Tengah sejak setelah Perang Dunia II ditandai dengan berdirinya negara Yahudi Israel di Palestina pada 1948 adalah bibit lahirnya terorisme. Momen ini sekaligus menjadi titik balik peradaban yang paling pahit bagi Islam, sakitnya masih dirasakan sampai sekarang.
Perang enam hari yang dimenangkan Israel atas koalisi negara-negara Arab pada 1976 menjadi segel kekalahan Islam atas kolonialisme Eropa. Rasa keterkalahan yang mendalam menjadi trauma sampai sekarang. Perang terbuka tidak pernah bisa dimenangkan. Alternatifnya adalah perang tertutup melalui serangan gerilya dan penyerangan sporadis. Israel punya bom nuklir, Palestina punya bom manusia. Itu semboyan pejuang Palestina yang tidak berdaya menghadapi kekuatan Israel yang menjadi proxy Amerika dan Eropa di Timur Tengah. Bom manusia itu menjadi model perlawanan di seluruh dunia.
Sejarah ini memiliki benang merah dengan setiap serangan bom di Indonesia, terbaru bom di Makassar 28 Maret 2021 dan kemaren 31 Maret 2021 serangan brutal Zakiah Aini di Mabes Polri yang menyambungkan kekecewaan dan rasa keterkalahan selama berabad-abad itu. Serangan bom manusia tidak bisa dihentikan jika rasa keterkalahan yang berkepanjangan itu tidak memperoleh penyelesaian yang berkeadilan.
Terhadap kasus terduga teroris penyerang Mabes Polri oleh Zakiah Aini, gadis kelahiran Jakarta 14 September 1995, berparas cantik, usia muda dan masih tinggal bersama orang tuanya itu, Polisi menemukan surat wasiat yang ditinggalkan Zakiah Aini di rumah orang tuanya di kawasan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur. Beberapa isi surat wasiat anak bungsu dari 6 bersaudara ini ditujukan kepada kedua orang tua dan kakak-kakaknya.
Analisis semiotika di sini, bahwa sosok mantan mahasiswi DO di sebuah perguruan tinggi swasta di Depok, Jawa Barat ini, sebenarnya ia seorang gadis dewasa yang berhati baik dan penyayang. Ia menyayangi kedua orang tua dan semua anggota keluarganya. Namun pada sisi yang lain ia dikenal sebagai gadis yang tertutup. Sebagaimana kita tahu salah satu ciri perilaku teroris adalah tertutup dalam pergaulan sekitar.
Setelah ia beberapa kali menuliskan kata permintaan maaf atas segala kekurangan selama ia hidup, ia juga berpesan kepada keluarganya bahwa menjalankan ibadah sebagai perintah Allah adalah yang terpenting dan utama. Ia dengan penuh keyakinan, hanya dengan jalan ibadah yang tekun, ia dan semua keluarganya akan bisa berkumpul kembali di surga kelak. Kalimat ini adalah general view bagi setiap umat beragama yang baik. Ia pun yakin bahwa Allah swt lebih menyayangi dia, kendati ia harus menempuh jalan mati terbunuh di tangan orang-orang yang dianggap secara sepihak sebagai musuh Allah swt, tindakan mana ia anggap sebagai jalan Rasulullah saw untuk mencapai keselamatan. Bahwa dengan jalan mati terbunuh itu ia akan bisa memberikan syafaat untuk kedua orang tua dan keluarganya kelak di akhirat. Secara konotatif, pada titik pemahaman inilah letak kekeliruan Zakiah dalam memahami nilai dasar dari semua proses perjuangan Rasulullah saw.
Selain itu, dengan jelas dapat dimaknai bahwa Zakiah Aini memiliki pemahaman yang keliru tentang Islam terkait dengan makna ayat-ayat dalam Al-Quran dan Hadist. Dimana kita tahu bahwa Islam adalah agama yang rakhmatan lilalamin (pembawa rahmat bagi semesta alam). Kekeliruan denotatif Zakiah nampak pada pesannya agar keluarganya tidak lagi percaya pada praktik bank yang dianggap sebagai riba, tidak diberkahi Allah swt. Ia juga meminta mamanya berhenti bekerja menjadi dawis yang dianggapnya sebagai thogut.
Makna denotatif, Dawis adalah sebutan untuk kelompok ibu-ibu yang terdiri dari 10 kepala keluarga dalam menjalankan berbagai program bersama di tingkat desa/kelurahan, semacam kelompok PKK. Sedangkan thogut/tagut (bahasa Arab, thaghut) adalah istilah yang merujuk pada setiap yang disembah selain Allah swt, yang rela dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan ketaatan orang yang menaatinya dengan melawan perintah Allah swt. Thogut ini menyerupai perbuatan setan yang selalu menyeru beribadah kepada selain Allah swt. Ini sesuai firman Allah swt yang artinya: “Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan?. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yasin: 60). “Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Ma’idah:44).
Dengan pemahaman yang keliru dan sempit tentang makna denotatif ayat-ayat di atas, ia dengan tegas mengatakan “Insya Allah dengan karunia Allah amalan jihad Zakiah akan membantu memberi syafaat kepada keluarga di akhirat. Jihad adalah tertinggi dalam islam”. Padahal makna konotatif-pun soal jihad dalam Islam tidak ambiguitas. Sedangkan makna denotatif jihad dalam pandangan Islam sangat luas dan jelas.
Berjihad untuk tujuan mendapatkan syafaat dari Allah swt melalui jalan disengaja untuk mati terbunuh atau membunuh sesama adalah tindakan sia-sia karena mengundang kemurkaan Allah swt kepada pelaku. Jihad yang diridhoi Allah swt adalah segala bentuk perbuatan mulia yang memiliki nilai-nilai humanis sebagai kebaikan atau mengandung kemanfaatan bagi diri sendiri, bagi sesama, termasuk bagi seisi alam semesta.
Begitu latah dan sempitnya logika subyektif mahasiswa yang telah DO ini. Ia melakukan tindakan nekad itu, karena sesungguhnya ia tidak percaya pada pemerintah dan negara yang dianggap sebagai dzalim. Semua ketentuan pemerintah dan negara secara konotatif dianggapnya tidak sesuai/tidak mengandung nilai-nilai hukum-hukum Allah swt. Semua produk undang-undang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam karena dibuat oleh orang-orang yang dianggapnya adalah musyrik. Karena itu, ia meyakini bahwa semua peraturan yang dikeluarkan/dijalankan oleh pemerintah dimaksud tidak akan diridhai oleh Allah swt. Ia pun menyerukan agar keluarganya cukup berhubungan dengan para ustad/ulama saja (minus orang-orang berilmu), sementara ia tanpa kesadaran bahwa ia menjadi manusia seutuhnya (social animal) karena bantuan orang-orang berilmu. Pemilu sebagai tradisi dalam sistem demokrasi pun ia tak percaya.
Demokrasi, Pancasila yang multi-dimensional dan bernilai universal, UUD 1945 dan Pemilu dianggapnya sebagai ajaran musyrik dan produk orang kafir. Ia meminta mama dan keluarganya agar tidak mengikuti kegiatan pemilu karena orang-orang yang terpilih itu akan membuat hukum tandingan yang bertentangan dengan hukum Allah swt. Karena itu, Zakiah yakin bahwa semua nasehat kepada keluarganya adalah jalan keselamatan dari ancaman fitnah dunia dan untuk dapat terhindar dari murtad tanpa sadar. Inilah sosok yang dapat kita sebut sebagai manusia tersesat dalam hidup beragama, bermasyarakat dan bernegara.
Manusia yang bertindak nekad seperti Zakiah Aini sangat mungkin terjadi karena pondasi pemahaman Islam yang masih secuil dan rapuh. Kondisi kerapuhan ini adalah celah sebagai pintu masuk nilai-nilai lain dan memberikan pengaruh kuat tentang apa yang ia pahami soal ajaran Islam, termasuk soal makna dan cara jihad yang salah.
Pihak-pihak yang berperan sebagai pencuci otak (brainwasher) dari jaringan kelompok terorisme yang berideologi ISIS dan atau kelompok sejenis lainnya sangat mungkin telah memberikan kontribusi di balik pribadi Zakiah yang nekad dan tersesat itu. Kemungkinan ini bisa dianalisis melalui rekam jejak digital Zakiah Aini melalui berbagai media social yang ia gunakan belakangan ini. Disinyalir ia memiliki Instagram dengan status bendera ISIS dan perjuangan jihad. Secara semiosis, kemungkinan Zakiah telah menjadi bagian ISIS sebagai organisasi teorisme.
Terorisme dilakukan oleh orang yang rasional, bukan yang tidak rasional atau gila. Juga perbuatan terorisme tidak dilakukan secara sembarangan atau sporadis, tetapi sasaran yang akan diserang dipilih para teroris. Ini salah satu ciri umum terorisme dalam pandangan Abdul Muis Naharong, dalam “Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme”. (Jurnal Paramadina, Vol. 9, No. 1 April 2012).
Pada poin ini, semiotika tembakan jitu polisi yang berakibat Zakiah meninggal di tempat kejadian perkara tidak bisa dimaknai sebagai tindakan sadis kepolisian yang bersifat melanggar hukum karena alasan pada saat kejadian pihak polisi belum tahu siapa sesungguhnya Zakiah itu, teoris atau orang biasa. Tanpa harus diketahui siapa pelaku kejahatan itu, penembakan oleh petugas mutlak terjadi dalam situasi darurat keamanan karena tindakan pelaku kejahatan berpotensi mengancam keselamatan petugas dan orang sekitar kejadian.
Makna tembakan berkali-kali tanpa penyebab dilakukan oleh Zakiah terhadap anggota polisi memaksa polisi harus melumpuhkan Zakiah melalui tindakan terarah dan terukur tanpa syarat. Tindakan aparat seperti ini telah sesuai SOP kepolisian. Pun, tindakan brutal Zakiah tanpa syarat secara denotatif jelas betujuan menciptakan rasa takut di kalangan masyarakat yang menjadi tujuan umum para terorisme.
Kendati kita belum tahu apa yang menjadi penyebab Zakiah melakukan tindakan teror itu. Namun tiap negara membeberkan akar penyebab tindakan terorisme yang berbeda, umumnya karena kemiskinan, adanya ketimpangan sosial, marjinalisasi, penindasan, pelanggaran hak dasar, ketidakadilan, kesengsaraan, kelaparan, narkoba, prasangka sosial, alienasi kaum muda di tengah situasi keterpurukan ekonomi dan instabilitas politik, penolakan terhadap Barat dengan segala aspek budayanya, ketakutan, dan keputusasaan. Bila kita cermati perkembangan isu terorisme saat ini, terorisme sering kali dikaitkan dengan isu agama. Robert Pape melihat motif politis selalu mendasari tindakan terorisme, agama hanyalah korban yang tidak bersalah dari kelompok garis keras.
Paul R. Pillar (2001) dalam “Terrorism Goes Global: Extremist Group Extend their Reach Worldwide, The Brookings Review” menyatakan, pada hari ini ditengah dunia yang tidak bisa kita hindari dari globalisasi, para teroris bisa sangat mudah mengincar target mereka dengan kemudahan akses komunikasi dan informasi. Berkat adanya kemudahan akses informasi dan komunikasi, berita dan juga ide-ide terkait dengan terorisme bisa dengan mudah disebarkan dibandingkan dengan zaman dahulu.
Dengan demikian, sebagai solusi, pertama, untuk mengatasi situasi yang anomali tersebut, pemerintah Indonesia harus mengambil kebijakan untuk membuat perioritas aksi dengan melakukan langkah meningkatkan kesejahteraan sosial secara merata dan demokratis. Kedua, sebagai negara yang memiliki cita-cita luhur, maka apapun situasinya Pemerintah harus tetap mengambil langkah tegas menjalankan isi Undang-Undang Nomor 1/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketiga, atas beberapa kasus kebrutalan teorisme di Indonesia, penanganan masalah terorisme perlu dibangun keyakinan dan kepercayaan masyarakat secara terus menerus sebagai opini publik. Masyarakat tidak boleh hilang kepercayaan pada pemerintah dan aparat keamanan sehingga bisa dimanfaatkan oleh kelompok terorisme akan semakin kuat.
Dengan demikian, dukungan baik seluruh masyarakat terhadap pemerintah dan aparat keamanan (TNI, Polri) harus terus dilakukan agar Zakiah-Zakiah lain yang berafiliasi kepada semua kelompok terorisme dapat dibasmi dan diberantas tuntas dari bumi pertiwi ini.
Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik – P2CS