GRIBJAYA
Ekbis

Sengketa Lahan Elit Pondok Indah, GRIB Jaya Picu Kekhawatiran Iklim Investasi

Channel9.id, Jakarta – Polemik kepemilikan lahan di kawasan elit Pondok Indah kembali mencuri perhatian publik setelah aksi unjuk rasa organisasi masyarakat (ormas) GRIB Jaya pada Rabu (6/8/2025) di area Golf Pondok Indah, Jakarta Selatan. Aksi tersebut mengatasnamakan ahli waris yang mengklaim kepemilikan atas tanah seluas 9,74 hektare di kawasan tersebut.

PT Metropolitan Kentjana Tbk. (MKPI) selaku pengelola kawasan Pondok Indah menegaskan bahwa seluruh proses perolehan lahan telah dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku sejak 1973 melalui kerja sama dengan Pemda DKI Jakarta. Menurut GM Legal Department MKPI, Hery Sulistyono, pihaknya telah memenangkan serangkaian gugatan di berbagai tingkat pengadilan, termasuk empat putusan PTUN, satu putusan pidana, dan dua putusan perdata.

Selain itu, terdapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari Polda Metro Jaya serta pernyataan dari Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung yang memperkuat legalitas kepemilikan MKPI atas lahan tersebut. “Gangguan ini terus berulang hampir setiap ada pergantian pejabat. Kami berharap ke depan kepastian hukum benar-benar terjamin,” ujarnya.

Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) menilai kasus ini sebagai peringatan serius bagi dunia usaha properti. Kepala Badan Advokasi & Perlindungan Anggota DPP REI, Adri Istambul Lingga Gayo, menyayangkan adanya tekanan dari kelompok masyarakat yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan keberlangsungan bisnis. Menurutnya, praktik seperti ini dapat merusak iklim investasi nasional, khususnya di sektor properti yang membutuhkan kepastian hukum jangka panjang.

Di sisi lain, Lembaga Pembela Hukum GRIB Jaya dalam surat resminya mengklaim bahwa MKPI telah kalah dalam putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung RI No. 55/PK/TUN/2003 dan menyatakan akan melakukan penguasaan fisik lahan yang mereka klaim sebagai milik ahli waris.

Dengan kedua pihak yang sama-sama bertahan pada posisi hukumnya, sengketa ini kembali menyoroti tantangan klasik di Indonesia: bagaimana memastikan kepastian hukum yang tidak hanya mengikat di atas kertas, tetapi juga efektif di lapangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  4  =