Komite Pemilih Indonesia (TePI)
Politik

Sengketa Pilkada Pasca-PSU: MK Diminta Tegas, Independen dan Efisien

Channel9.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali disorot publik setelah menangani sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pasca pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Sejauh ini, dua perkara yang sedang ditangani berasal dari Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, dan Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Tidak tertutup kemungkinan akan ada gugatan baru dari PSU lain yang masih berlangsung.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, menyoroti bahwa sebagian besar gugatan yang masuk justru tidak lagi mempersoalkan aspek teknis pelaksanaan PSU.

“Beberapa gugatan membawa isu baru yang tidak relevan dan tidak disampaikan pada gugatan awal sebelum PSU dilakukan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/5/2025).

Jeirry mencontohkan perkara di Kabupaten Kepulauan Talaud, di mana pasangan calon yang kalah mempersoalkan keabsahan ijazah calon terpilih. Padahal, menurut ketentuan perundangan, syarat pencalonan cukup dilengkapi dengan ijazah yang dilegalisir oleh instansi berwenang.

“Anehnya, hal ini tidak pernah dipersoalkan dalam gugatan sebelum PSU. Ini seperti mencari-cari alasan kekalahan,” tegasnya.

Fenomena ini dinilai berbahaya karena berpotensi memperpanjang proses pilkada secara tidak perlu, memicu ketidakpastian hukum dan politik di daerah, serta menguras anggaran negara. Jeirry mengingatkan bahwa pelaksanaan PSU di daerah seperti Talaud telah menelan biaya miliaran rupiah, padahal daerah tersebut masuk kategori miskin.

Dalam situasi ini, Jeirry menyerukan agar Mahkamah Konstitusi memegang teguh tiga prinsip utama dalam menangani perkara sengketa pilkada pasca-PSU, yaitu:

Independensi Hakim — MK harus bebas dari tekanan politik dan hanya memutus berdasarkan hukum dan bukti yang relevan.

Konsistensi Putusan — MK harus menolak dalil-dalil baru yang tidak diajukan pada gugatan awal untuk menjaga kepastian hukum.

Efisiensi Proses — MK wajib menyaring secara ketat perkara agar tidak menyita waktu dan anggaran untuk sengketa yang tidak substansial.

“MK adalah benteng terakhir dalam kontestasi pilkada. Jangan sampai justru menjadi alat perpanjangan politik yang melemahkan demokrasi,” ujar Jeirry.

Ia menegaskan, kualitas demokrasi lokal dan stabilitas pembangunan daerah sangat bergantung pada ketegasan dan integritas Mahkamah Konstitusi dalam menangani setiap sengketa pilkada.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6  +  2  =