Oleh Dini Anggraini, SE, M.Si*
Bentuk negara Indonesia telah diatur dalam pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Negara Kesatuan dan Negara Hukum. Sebagai negara kesatuan, Indonesia telah melakukan dua bentuk sistem pemerintahan baik sentralisasi maupun desentralisasi. Sistem pemerintahan yang sentralistik telah berlangsung puluhan tahun pada masa orde baru. Semenjak orde baru tumbang digulirkannya reformasi pandangan untuk mengubah tata pemerintahan dengan pelaksanaan desentralisasi. Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang pemerintahan tertentu kepadanya oleh pemerintah (Hoessein, 2011, p.23).
Berdasarkan definisi tersebut dapat terlihat bahwa desentralisasi melahirkan daerah otonom yang dibentuk oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat dimana daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahannya sendiri dari pembuatan kebijakan, penganggaran, hingga pelaksanaannya. Pembentukkan daerah otonom sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang menganut desentralisasi merupakan konsekuensi dari perwujudan Indonesia sebagai Negara Hukum. Sebagai negara hukum yaitu negara yang menekankan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang dijadikan landasan bagi pembentukkan hukum dibawahnya memiliki ciri untuk adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) atau pemisahan kekuasaan (separation of power) agar tidak terciptanya kekuasaan absolut (Kusriyah, 2019, p.12). Pemisahan kekuasaan dipakai dalam konteks pemisahan kekuasaan di pemerintah, yaitu antara legsilatif, eksekutif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan menurut Budiardjo (2008, p.267) merupakan pembagian kekuasaan secara vertikal ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pembagian kekuasaan secara vertikal dilakukan dengan pembentukkan pemerintahan daerah yang terdiri dari pemerintahan provinsi dengan pemerintahan kabupate/kota di dalamnya. Pada pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Ini adalah salah satu perwujudan dari desentralisasi di Indonesia dengan adanya pembentukkan daerah otonom berupa pemerintahan daerah yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang dalam hal ini terjadinya penyerahan wewenang kepada pemerintah daerah.
Secara regulasi penerapan desentralisasi melalui otonomi daerah telah mengalami berbagai perubahan peraturan perundang-undangan sampai dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam peraturan tersebut, Desentralisasi merupakan penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Desentralisasi sendiri berupaya untuk dapat meningkatkan efektifitas dari penyelenggaran pemerintahan, baik pemerintahan pusat maupun daerah dan juga dalam mengembangkan perencanaan program-program serta proyek-proyek pembangunan daerah serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki agar tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan dari masyarakat daerah masing-masing.
Penerapan sentralisasi dan desentralisasi bukan merupakan dua kutub yang berbeda. Hal ini mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbeda dengan negara federal sehingga dalam pembagian wewenang tentu pelaksanaannya memerlukan kombinasi akan keduanya. Salah satu bentuk pembagian wewenang lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah dekonsentrasi. Dekonsentrasi sendiri didefinisikan sebagai pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Lalu apa bedanya dengan desentraliasi? Desentraliasi melakukan penyerahan kekuasan di bidang kenegaraan sedangkan dekonsentrasi di bidang kepegawaian dan administrasi. Selain dekonsentrasi terdapat juga tugas pembantuan dimana merupakan penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. Dimana kedudukan pemerintah daerah adalah sebagai “pembantu” yang memiliki tanggung jawab pada pelaksaannya sedangkan pertanggungjawaban utamanya terdapat pada pemerintah yang menugaskan. Sehingga di Indonesia mengenai pembagian kewenangan terdapat 3 cara yang dilakukan dalam pelaksanaan pemerintahan yaitu melalui sentralisasi dengan kewenangan tertentu yang absolut harus dijalankan oleh pemerintah pusat seperti pertahanan, politik luar negeri, agama, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, desentralisasi yang memberikan otonomi atau terjadinya penyerahan wewenang kepada daerah untuk mengurus dan mengatur, serta dekonsentrasi yang merupakan pelimpahan wewenang dimana penerima wewenang hanya berfungsi sebagai pelaksana tugas.
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tidak dapat dikatakan mulus sebagaimana yang diatur dalam undang-undang maupun secara teoritis sebagaimana mestinya. Sebagai contoh adalah mengenai pengelolaan mineral dan gas dalam hal ini adalah pertambangan. Sektor ini merupakan sektor yang mendapat perhatian dari pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari kontribusinya terhadap pendapatan negara. Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 pendapatan negara bukan pajak mencapai 367 triliun rupiah dengan pendapatan dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) mencapai 160,4 triliun rupiah. Jumlah tersebut hampir mencapai 50% dari total pendapatan negara bukan pajak. Oleh karena itu, pembentukkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dikebut dalam memudahkan bagi pengusaha dibidang pertambangan untuk dapat membuat sektor ini menarik dari sisi investasi sehingga diharapkan dapat semakin meningkatkan pendapatan negara non pajak. Akan tetapi langkah yang diambil pemerintah melalui undang-undang tersebut menyalahi pembagian kewenangan yang telah diatur serta membatasi wewenang dari pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur wilayahnya terkait pemanfaatan sumber daya alam yang mereka miliki.
Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal ini pun diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa urusan mineral dan batubara termasuk dalam urusan pemerintahan pilihan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merubah pasal 4 ayat (2) menjadi Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Sentralisasi dalam urusan minerba ini juga diperparah dengan menghilangkannya ketentuan pasal 7 dan pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai kewenangan dari pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Dampak dari dihilangkannya pasal tersebut dapat dikatakan sangat berpengaruh bagi masyarakat sebab masyarakat yang bersentuhan langsung serta merasakan dampak negatif dari tambang tidak dapat mengadukan hal tersebut ke pemerintah daerah. Aduan tersebut tidak akan dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah sebab tidak adanya kewenangan dari pemerintah daerah untuk melakukan penyelesaian masalah terhadap konflik yang terjadi. Instrumen resolusi konflik berupa pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah yang dirugikan oleh aktivitas pertambangan terhadap masyarakatnya.
Padahal proses penegakan hukum serta resolusi konflik akan lebih cepat untuk diselesaikan apabila pemerintah daerah memiliki kewenangan tentang hal tersebut. Pada tahun 2020 berdasarkan data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mencatat terjadi 45 konflik tambang sepanjang tahun 2020 yang mengakibatkan 714.692 Ha mengalami kerusakan lingkungan. Jumlah konflik ini meningkat 5 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 11 konflik. Dari total 45 konflik pertambangan yang terjadi terdiri dari kasus pencemaran lingkungan (22 kasus), kasus perampasan lahan (13 kasus), kasus kriminalisasi warga penolak tambang (8 kasus), dan kasus pemutusan hubungan kerja (2 kasus).
Kasus-kasus tersebut akan dapat semakin bertambah seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Sebab selain menghilangkan kewenangan dari pemerintah daerah, pemerintah juga membatasi masyarakat untuk terlibat dalam urusan mineral dan pertambangan. Hal ini terlihat dari pasal Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020, Setiap orang yang merintangi atau mengganggu keglatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Aturan ini sudah ada dari undang-undang sebelumnya, namun seharusnya pengaturan terkait hal ini sudah seharusnya dihilangkan sebab dapat menimbulkan kriminilalisasi kepada masyarakat penolak tambang ataupun pemerhati lingkungan. Terlebih kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan tambang terhadap kerusakan lingkungan akibat penambangan seringkali tidak dilakukan dan tidak adanya penengakan hukum akan hal tersebut. Berdasarkan hasil temuan JATAM Nasional menemukan, hingga 2020, ada 3.092 lubang tambang yang dibiarkan. Tidak hanya itu persoalan lain juga muncul melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada pasal 128 A ayat (2) pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen). Padahal menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang merupakan organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan hidup menyatakan bahwa royalti yang ditentukan oleh pemerintah pada pengusaha tambang merupakan bagian pendapatan negara dan masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil. Artinya bahwa daerah yang memiliki sumber daya pertambangan tersebut tidak dapat memperoleh apa-apa dari hasil pertambangan sebab potensi pendapatan dari dana bagi hasil dapat berakhir tidak didapatkan karena pengaturan tersebut. Sehingga dengan hilangnya wewenang pemerintah daerah akibat peraturan-peraturan tersebut tidak memberikan dampak positif namun hanya menimbulkan permasalahan yang tidak akan dapat direspon dengan cepat oleh pemerintah.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa kondisi desentralisasi di Indonesia dapat dikatakan tidak lagi memegang azas sebagai negara hukum seperti yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, dengan adanya benturan antara dua peraturan perundang-undangan serta pelanggaran terhadap hak-hak dari masyarakat atas kesejahteraan dari kepemilikan sumberdaya yang dimiliki hanya dinikmati oleh kelompok pengusaha pertambangan padahal dasar hukum yang digunakan adalah Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Melihat kondisi pemerintahan daerah di Indonesia saat ini berdasarkan kasus minerba, bahwa sentralisasi dan desentralisasi sebagai suatu kontinum menunjukkan arah pemerintahan di Indonesia saat ini lebih condong ke sentralisasi dibandingkan dengan desentralisasi.
Daftar Pustaka
- Budiardjo, M. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik : Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Hoessein, B. 2009. Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari era orde baru ke era reformasi. Depok: Departemen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
- Kusriyah, S. 2019. Politik Hukum Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Dalam Perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semarang: Unissula Press.
- Tempo.co. 2021. JATAM Nasional Catat ada 45 Konflik Tambang Sepanjang 2020. https://nasional.tempo.co/read/1426234/jatam-nasional-catat-ada-45-konflik-tambang-sepanjang-2020.
- Walhi. 2021. Menyoal 4 Masalah UU Minerba yang Merugikan Masyarakat Luas. https://www.walhi.or.id/menyoal-4-masalah-uu-minerba-yang-merugikan-masyarakat-luas.
*Dini Anggraini saat ini menjabat sebagai Analis Kebijakan Ahli Madya Subdit Fasilitasi Bimbingan Kemasyarakatan Desa, Ditjen Bina Pemdes Kemendagri