Hot Topic Hukum

Alfons Loemau : Sidang Etik Baiknya Ikut Putusan Pengadilan

Channel9.id – Jakarta. Sidang etik yang dijalankan oleh Mabes Polri dalam mengungkap keterlibatan para anggota polisi dalam penanganan kasus pembunuhan Brigadir J di Duren Tiga, mengundang kritik  dari Pengamat Kepolisian, Drs Alfons Loemau, MBus.

Mantan penyidik Bareskrim Mabes Polri ini melihat sidang etik yang berlarut-larut, memberikan ketidakpastian hukum kepada para pencari keadilan.

“Kalau yang sudah jelas melakukan tindak pidana sebaiknya, sebaiknya langsung saja proses penyelidikan dan penyidikan untuk mengumpulkan bukti tindak pidananya,” ujarnya kepada media, 21/09/2022.

Sidang kode etik hanya diperlukan apabila seorang anggota organisasi ditengarai melanggar kode etik yang berlaku dalam organisasi itu sendiri, persoalan etika hanya terkait pelanggaran, bukan kejahatan.

Namun begitu ada indikasi telah terjadi dan terlanggarnya ketentuan pidana maka proses penegakan hukum tunduk pada hukum acara pidana

Dalam sidang etik putusannya hanya mengikat suatu organisasi, berbeda dengan putusan hukum dari Pengadilan yang merupakan produk hukum yang lebih tinggi dan mengikat kepada semua pihak.

Menurut Alfons Loemau, dalam berbagai kasus, seperti halnya Irjen Napoleon Bonaparte dan AKBP Brotoseno sidang pidana berjalan terlebih dahulu, tanpa ada sidang etik.  Sidang etiknya berjalan belakangan.

Putusan proses pidana dari Pengadilan akan berimplikasi kepada kode etik yang berlaku di organisasi.

“Sidang etik hanya untuk membuktikan apakah yang bersangkutan melanggar kode etik yang berlaku di dalam suatu organisasi, misalnya pelanggaran disiplin dan lain-lain,” ujarnya. Sidang etik mengadili kode etik dan tidak dikenal dalam sistem hukum pidana.

Ia melihat dalam kasus yang melibatkan Ferdy Sambo dan kawan-kawan, sidang etik yang dijalankan terkesan  tidak efisien dan efektif. Perdebatan yang muncul di media, justru malah merugikan institusi Polri. Karena adanya spekulasi dan pendapat liar yang bermunculan, terkait proses berjalannya sidang etik.

“Misalnya soal banding  Sambo yang sebelumnya tersiar kabar dikabulkan Polri, padahal faktanya kan tidak,” jelasnya. Berkembangnya spekulasi liar di masyarakat malah berdampak tidak baik, terhadap institusi kepolisian yang sedang berusaha memperbaiki kinerja dan citranya yang terdampak dari kasus Brigadir J.

Hal tersebut juga terlihat dalam kasus putusan etik yang memecat tidak hormat, AKBP Jerry Siagian, mantan wadireskrimum Polda Metro Jaya. Pernyataan Kabag Humas Polda Metro Jaya, yang akan memberikan pendampingan hukum, menunjukan adanya semacam perlawanan dari Polda. Upaya pembelaan ini menjadi tontonan yang tidak baik bagi publik.

Karena itu ia memberikan masukan agar sidang terkait kode etik di Kepolisian sebaiknya mengikuti putusan tindak pidana yang diketok oleh hakim.  Karena sudah ada keputusan hukum tetap.

“Jika sudah ada keputusan yang memiliki kekuatan hukum, dan terbukti melakukan tindak pidana, maka dengan sendirinya yang bersangkutan dipecat dengan tidak hormat,” tegasnya. Putusan pengadilan jauh lebih tinggi levelnya dibandingkan dengan putusan sidang etik.

Sementara itu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Dedi Prasetyo menegaskan Polri tidak mengulur-ulur waktu dalam menuntaskan sudang etik terhadap puluhan anggota polisi yang terlibat dalam penanganan  TKP di Duren Tiga.

Menurut Dedi ada mekanisme dalam pelaksanaan sidang etik terhadap 35 personel yang diduga kuat melanggar etik tidak professional dalam penanganan TKP pembunuhan Brigadir J di Duren Tiga.

“Semua perlu penahapan, semuanya butuh proses, tentu apabila sudah ada hasilnya akan disampaikan kepada publik,”ujarnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1  +  7  =