Channel9.id-Jakarta. Dua tersangka peretasan situs resmi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) ditangkap Direktorat Siber Bareskrim Polri. Adapun tersangka yakni CA alias Yusa (24) dan AY alias Konslet (22).
Kombes Reinhard Hutagaol, Kasubdit II Direktorat Siber Bareskrim Polri, membeberkan bahwa pelaku meretas website milik PN Jakpus karena merasa simpati dengan seorang siswa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Luthfi Alfiandi, yakni terdakwa kerusuhan saat demonstrasi di DPR 30 September 2019 lalu.
Diketahui sebelumnya, Luthfi ialah seorang demonstran yang membawa bendera merah putih saat aksi di DPR. Saat ini, kasusnya sedang bersidang di PN Jakpus.
“AY merasa simpati kasus Luthfi sedang disidang PN Jakpus. AY meminta bantuan ke CA karena AY tak temukan titik lemah pada situs PN Jakpus,” ungkap Reinhard saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (13/1/2020).
Selain simpati terhadap Luthfi, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan, pelaku mengaku mengaktualisasi diri dan melakukan kejahatan perbankan berupa kartu kredit.
“Motifnya adalah aktualisasi diri. Ada motivasi ekonomi dengan kemampuannya melakukan kejahatan siber di kartu kredit. Pelaku hidupnya mewah, dan dapatkan keuntungan besar,” imbuh Asep.
Berdasarkan penyelidikan, CA merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD). Sementara, AY lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Di lain sisi, Ketua PN Jakpus Yanto mengatakan pihaknya mendapatkan banyak kerugian dari peretasan tersebut. Namun, kata dia, data Sistem Informasi Penerusan Perkara (SIPP) tidak berpengaruh.
“Saya dapat kabar kemarin sore. Dua orang pelaku sudah tertangkap. Ternyata pendidikannya SD, tapi ternyata jenius,” sambungnya.
Sebagai informasi, website Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diduga diretas, pada Kamis 19 Desember 2019 silam. Halaman muka situs tersebut menampilkan gambar orang yang membawa bendera merah putih saat aksi beberapa waktu lalu.
Karena tindakannya, CA dan AY pun dijerat Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3), Jo Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 48 ayat (1) Jo Pasal 32 ayat (1), (2), dan Pasal 49 Jo Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik, dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara.
(LH)