Hukum

Siswa MTs Dibully Hingga Tewas, KPAI Minta Proses Hukum yang Adil

Channel9.id – Jakarta. Viral di media sosial, seorang siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) berinisial BT diduga di aniaya oleh 9 temannya hingga tewas. Peristiwa tersebut diduga terjadi di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara (Sulut).

KPAI menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya BT siswa salah satu Madrasah Tsanawiyah di Kota Kotamobagu, Sulut itu.

“Semoga keluarga korban diberikan kekuatan dalam menghadapi musibah ini,” ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti, Rabu, 15 Juni 2022.

KPAI mengapresiasi pihak kepolisan yang sudah melakukan pemeriksaan kepada 9 anak terduga pelaku. Namun, KPAI mengingatkan agar pihak kepolisian menggunakan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terhadap 9 anak terduga pelaku, sehingga dalam proses pemeriksaan 9 terduga pelaku harus didampingi orangtuanya dan juga psikolog/pekerja social.

Dalam UU SPPA, anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dapat diproses hukum dengan klasifikasi berdasarkan usia, artinya 9 anak yang diduga melakukan penganiayaan tersebut, jika terbukti dapat dilakukan proses hukum.

Tuntutan hukuman bagi anak dibawah umur menurut UU SPPA tidak boleh dituntut hukuman seumur hidup, tuntutan hukuman penjara pun maksimal 10 tahun. Namun, jika anak terduga pelaku berusia di bawah 14 tahun, maka ada ketentuan tentang sanksi tindakan.

“Mari hormati polisi yang sedang bekerja menangani kasus ini, Kami yakin polisi agar bekerja sesuai ketentuan perundangan, yaitu UU SPPA dan UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI.

KPAI mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk melakukan pendampingan psikologis kepada 9 anak terduga pelaku, karena dalam UU PA ke-9 anak tersebut juga berhak mendapatkan rehabilitasi psikologis agar anak-anak pelaku menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulangi perbuatannya.

“Kesalahan anak tidak berdiri sendiri, namun dipengaruhi kuat oleh lingkungannya, baik dalam pengasuhan dalam keluarga maupun pergaulan dalam lingkungan sekolah dan masyarakat,” ujarnya.

Jika ke-9 anak terduga pelaku bersekolah di tempat yang sama dengan korban, maka wajib bagi Kantor Kementerian Agama Kota Kotamobagu untuk melakukan evaluasi terhadap MTs tersebut. Karena perundungan/kekerasan fisik semacam ini umumnya tidak terjadi tiba-tiba, namun proses yang panjang, biasanya didahului dengan bully verbal, kemudian terus meningkat sampai terjadi kekerasan fisik sebagaimana dalam kasus ini. Oleh karena itu, perlu ada kepekaan orang dewasa di sekitar anak, baik oleh para guru dan walikelas maupun kepekaan orangtua, karena biasanya anak-anak yang mengalami perundungan secara terus menerus akan menunjukkan perubahan besar yang seharusnya dikenali oleh lingkungannya, terutama orang-orang dewasa di sekitar anak.

“Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi Kementerian Agama untuk membuat PERATURAN KEMENTERIAN AGAMA RI terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di lingungan satuan pendidikan,” pungkas Retno.

HY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

79  +    =  85