Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. Baik. Lupakan angka tidak-percaya rakyat terhadap pemerintah dalam menghadapi virus COVID-19. Kabar yang wajar, tentu. Bukan hanya rakyat Indonesia mencibir pemerintahnya. Rakyat Turki, Jepang, Thailand, Brazil, Amerika Serikat hingga Russia tidak-percaya kemampuan pemerintahan mereka. Jumlah yang menyatakan tidak percaya itu, termasuk Indonesia, berkisar di atas angka 60%. Survei cepat dengan dua pertanyaan kunci: percaya atau tidak percaya itu tentu sulit dipaparkan di Indonesia oleh surveyor kontestasi politik. Dalam mengais isu sepenting COVID-19, terdapat lembaga survei internasional yang bekerjasama dengan surveyor dalam negeri. Seperti juga kasus-kasus yang mendapat perhatian dunia lainnya atau demi alasan ilmu pengetahuan.
Angka 60% sangat riskan. Andai sistem parlementer berlaku, peluang oposisi mengajukan mosi tidak percaya sangat besar. Ingat saja kasus Inggris yang keluar dari Uni Eropa (Brexit), berdasarkan hasil survei yang bertemu dalam bilik suara. Beruntung, pemerintahan Indonesia belum satu semester bekerja. Sama halnya dengan Brazil yang memasuki tahun kedua, dari jatah empat tahunnya. Jepang dan Thailand berbentuk kerajaan. Russia dipimpin tokoh sangat kuat, Vladimir Putin, begitu pula Turki. Walau tak dipercaya rakyatnya sendiri, terbaca dari cuitan-cuitan di media sosial, baik Russia atau Turki masih “koar-koar” mau membantu negara lain, seperti juga Indonesia waktu awal. Amerika Serikat, baru hendak menggelar pemilu.
Sistem presidensial berbeda dengan sistem parlementer. Presidensialisme lebih terkait dengan fixed term alias waktu yang beku atau periodesasi. Tanpa mengubah konstitusi, Indonesia tak bakal bernasib seperti Malaysia yang baru berganti Perdana Menteri. Terkecuali, terjadi proses impeachment atau pemakzulan. Sesuatu yang masih terasa jauh, paling tidak sampai pikiran dalam tulisan ini ditulis. Hanya kumpulan buzzer-buzzer pandir saja yang begitu bersemangat menuduh ada pihak yang ingin menjatuhkan presiden dan wakil presiden dengan isu COVID-19. Atau untuk itulah buzzer-buzzer bekerja? Entahlah.
Sedari awal persoalan virus Novel Corona merebak, penulis sengaja memperhatikan informasi yang keluar dari mulut dan pikiran pejabat-pejabat terkait. Jakarta yang pertama kali mendapatkan sorotan. Jakarta juga yang nanti paling berpengalaman. Apabila pandemi di Jakarta bisa diatasi, sebagaimana Wuhan berhasil dinolkan, bakal muncul begitu banyak tenaga berpengalaman dalam menghalau COVID-19 di nusantara ini. Bagaimanapun, pengalaman ini sama sekali belum pernah dihadapi pemerintahan manapun di dunia, apalagi di Indonesia. Tak terduga. Sulit dipahami. Tapi bisa dipelajari dari sisi penanganan oleh pemerintahan negara lain. Informasi yang begitu banyak terhidang di dunia. Lagipula, kalangan ilmuwan kedokteran, khususnya, dan ilmuwan kesehatan masyarakat, umumnya, sangat mudah berbagi informasi. Selain jumlah mereka sedikit, mereka pun sangat menjaga jurnal-jurnal ilmiah dengan informasi terbaru.
Tak ada dokter yang tak siap dengan serangan virus semacam COVID-19. Dokter adalah perwujudan Dewa Asclepius yang membawa tongkat pengobatan kemana-mana. Tongkat yang dipanjat seekor ular yang melingkar. Ular, selain lambang kematian, pun juga obat dari anti serum (antibody) yang bisa dibuat dari bisa atau racun-nya. Sampai hari ini, pelbagai jenis ular masih menjadi hidangan sedap di kalangan pemburu kuliner. Termasuk darah ular hidup. Begitu juga empedunya. Racun ular itu yang membunuh Socrates di bawah majelis Academia. Tentu, atas “kehendak” Dewa Asclepius. Sayangnya, COVID-19 berasal dari “racun” atau “bisa” kelelawar yang terbang malam di segala cuaca.
Setiap dokter tentu sudah siap dengan kematian dan kehidupan, ketika “bala tentara” COVID-19 datang. Mau dokter umum atau dokter spesialis, sudah pasti bersiap dengan tongkat Asclepius dalam berhadapan dengan resiko penyakit apapun. Spesialis apa saja, tak terkecuali dokter gigi atau penyakit wasir. Pada barisan terdepan itulah dokter – dan perawat – menjadi kelompok yang paling rentan. Tak heran, kalau jumlah kematian dokter dan perawat begitu tinggi, dibandingkan dengan profesi manapun, ketika pandemi COVID-19 menyelimuti planet bumi. Tatkala politisi masih beradu jurus lihai dan licik, satu demi satu dokter dan petugas kesehatan ini bertumbangan, terjangkit, hingga tewas.
Kebetulan juga, dokter adalah profesi numero uno alias paling puncak di Indonesia. Profesi yang berpengaruh sejak usia kanak-kanak. Kalau ada yang finalis tetap, tentu profesi insinyur. Dokter dan insinyur semacam dua sisi dalam satu mata uang yang sama. Penulis yang bukan dokter dan gagal menjadi insinyur tentu wajib akui ini. Silakan saja survei di kalangan dunia kanak-kanak, dua profesi ini masih bakal tetap merajai.
Sejarawan, apalagi sastrawan?
Bahkan kalangan artis yang viral-viral kinipun mungkin tidak tahu apa beda sejarawan dengan sastrawan. Sebagaimana sejarawan tak tahu beda antara buzzer dengan influencer. Barangkali, akibat kesadaran diri kalangan sejarawan dan sastrawan begitu tinggi atas nama humanisme universal, tak ada masalah ketika puncak-puncak kuasa tak dihuni “profesi” mereka. Itupun kalau sejarawan dan sastrawan dianggap sebagai profesi. Seberdaulat dan serutin apapun Seminar Sejarah dan Kolokium Sastra diadakan, bahkan sejak sebelum kemerdekaan, tak penting lagi.
Untuk bicara kepada para pengambil keputusan, tidak sulit lagi sekarang. Tinggal ribut saja di media sosial, atau mention akun-akun para pejabat beserta staf mereka. Begitu pula dengan mengirimkan pesan langsung ke nomor smartphone yang mereka punya. Beruntung, penulis punya puluhan ribu nomor smartphone. Tentu, hasil dari kerja bertahun dalam membaca piramida kekuasaan dan orang-orang berkuasa, dalam mata rantai keyman (orang-orang kunci). Mau dibaca atau diblokir, hendak ditindaklanjuti atau masuk recycle bin, tidak ada masalah. Apalagi penulis sengaja menggunakan bahasa-bahasa yang khas, sesuai dengan signature dalam komunikasi. Penulis percaya, untaian kalimat di dalam media sosial, ataupun chat dalam kanal-kanal komunikasi, punya genetikanya juga.
Sampai hari ini, tidak ada yang luar biasa. Dokter dan insinyur masih berada di barisan depan, dalam menghadapi serbuan paling mematikan ini. Sejak pemetaan terduga (suspect), penanganan pasien, pengorganisasian orang, hingga penyiapan tempat dan peralatan perang (amunisi) yang sesuai dengan standar yang sudah disusun oleh World Health Organization.
Tentu terdapat sejumlah jenderal dalam rantai komando, misalnya Doni Monardo. Tour of duty Doni banyak bertugas pada posisi-posisi non militer yang langsung bersentuhan dengan publik. Kebetulan, penulis pernah aktif dalam Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) sebelum era Doni menjadi Sekretaris Jenderalnya. Wantannas terbiasa diskusi tema-tema yang out of the box, misalnya pembangkit nuklir. Yang diundang adalah pemikir-pemikir paling liar sekalipun dari kalangan sipil, bersama perwira-perwira militer, polisi, pun intelijen yang berpikiran terbuka Doni tak lagi sekadar combatan yang bertugas di bagian infanteri. Plusnya lagi, sebagai jenderal berdarah Minang, Doni tentu tahu raso jo pareso, alue jo patuik, serta ereng jo gendeang. Jenderal pemikir yang berhati-hati bicara.
Dokter, insinyur dan tentara. Trisula yang tak bakal lengkap tanpa ada aparat kepolisian yang menjaga rust en orde, hukum dan ketenteraman. Begitupula aparatur sipil negara yang terlihat kesulitan dalam mengambil posisi. Justru yang berada dalam arus deras adalah para jurnalis. Mereka berada di garis batas yang hampir sama dengan para dokter. Ketika mendapatkan informasi yang kontroversial dan belum tentu layak hidang, hati nurani yang multidimensi yang bicara. Freedom of the press tak bisa diterapkan begitu saja keadaan darurat kesehatan yang berdimensi global bagi manusia seperti sekarang. Manusia yang punya segalanya guna membela diri, atau melawan, dari rasionalitas, irrasionalitas, hantu hingga Tuhan.
Hingga hari ini, Presiden baru mengeluarkan Keppres Nomor 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) beserta revisinya. Keppres masih berada di bawah konstitusi dan undang-undang. Belum ada undang-undang baru, termasuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Biasa-biasa saja. Polisi pun menggunakan maklumat, walau tetap bersandar kepada undang-undang terkait bencana. Sehingga, sejumlah penggiat kesehatan percaya bahwa Indonesia sedang menghapi pembiaran jumlah orang yang menular, hingga mencapai angka populasi tertinggi. Ada istilah-istilah teknis yang dipakai. Sebagai aktivis kelompok studi mahasiswa dan berkiprah dalam sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri, jika terdapat istilah yang bikin puyeng itu, penulis langsung menghubungi sejumlah kawan yang punya keahlian di bidang itu.
Dr Dono Widiatmoko, kawan dan sekaligus big boss bagi aktivis mahasiswa UI era 1990an, dosen bidang kesehatan masyarakat di Univercity of Derby, Inggris, adalah salah satu yang sering mendapatkan pertanyaan itu dalam grup-grup percakapan alumni mahasiswa UI. Diskusi yang terjadi masih pakai istilah-istilah kampus, serasa berada di Pusat Kegiatan Mahasiswa UI dalam pelbagai bentuk acara, siang maupun malam. Diskusi terbatas hingga mimbar bebas. Dono tahu sedang berhadapan dengan aktivis sayap kanan, sayap kiri atau sayap tengah, atau pelempar bola. Soalnya, ada nama Budi Arie Setiadi yang kini menjadi Wakil Menteri dan Fadli Zon yang kini menjadi anggota DPR RI, dalam grup percakapan kami. Pun sebarisan profesional, aparatur sipil negara, militer, dosen dan profesional lain.
Komponen masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terlibat dalam menghadapi ancaman COVID-19 ini. Dari tingkat pusat, provinsi, hingga daerah dan desa. Kalaulah grup-grup alumni kampus dikasih kesempatan untuk memberikan masukan, sekaranglah saatnya. Zulkieflimansyah yang kini menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa UI periode 1994-1995. Bukan hanya Anies Baswedan yang pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM.
Generasi yang pertama sekali menikmati kelonggaran, pascanormalisasi kehidupan kampus era 1980an yang menghasilkan banyak demonstran dan kelompok pemberang. Sesama alumni tentu bisa bicara dengan suara tenang, karena sudah tahu juga siapa yang bisa berbuat lantang. Gemeinschaft dan gesellschaft dalam diri masih sangat berimbang. Guyup, tapi tetap profesional. Argumentatif, walau punya kepentingan berdasarkan posisi hari ini. Solid dalam tindakan yang disetujui bersama dalam panggung demokrasi. Besok? Bisa berubah lagi.
Kini sudah terdapat sejumlah desa yang melakukan karantina, selain kabupaten, kota ataupun provinsi. Inisiatif-inisiatif dalam bentuk donasi dan relawan, sudah dilakukan komponen masyarakat. Namun belum masif. Pelibatan organisasi yang sama sekali kuat dari sisi perkawanan, seperti alumni sekolah, ikatan keilmuan sejak mahasiswa, organisasi cendekiawan atau ilmuwan, hingga alumnus kampus, bisa jadi mampu menjangkau kalangan yang lebih plural, lalu saling kenal mengenal. Tak perlu lagi mencari jarum di dalam jerami, jika ada nama yang ingin diketahui riwayat dan kiprahnya.
Slagorde alternatif, diluar gugus tugas resmi, dari kalangan Generasi X. Dalam simulasi dan hasil studi, Generasi X ini termasuk kelompok yang setengah rentan dan setengah kebal dalam menghadapi COVID-19. Berbeda dengan Generasi Z dan Y yang positif sebagai pembawa, namun tingkat kesembuhan yang tinggi pula. Bisa jadi, Generasi Z dan Y lebih imun, akibat sering makan junk food sambil mendengarkan musik. Bisa jadi makanan yang mengandung timbal dan mercury. Sementara Generasi X lebih banyak makan dari sumber-sumber alami.
Begitupun alumnus unit-unit kegiatan mahasiswa, seperti mahasiswa pencinta alam, resimen mahasiswa, pramuka, pers kampus, seni bela diri, pelukis, penari, hingga klub penonton film. Tentu, ketimbang pelibatan kalangan pengusaha saja, ataupun selebritas saja, pemanfaatan kelompok seperti ini lebih managable dan organisasional. Walau followers sedikit, tapi jelas lebih intim dan lekat, tanpa perlu saling hujat.
Silakan, bagi pihak-pihak yang memang ingin mencari pasukan yang sudah terlatih dalam hubungan antar manusia, manfaatkanlah. Slagorde dari mereka yang pernah berkecimpung dalam saat-saat rawan, minimal dalam suasana kampus atau organisasi kala muda. Mulailah daftarkan nama-nama organisasi itu!
*Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara