Oleh: Erik Wahyu Zaenal Qori, M.Pd
Channel9.id – Jakarta. Ketika menerima sebuah naskah Draf RUU Sisdiknas sekitar awal bulan September 2022 dan beredar di masyarakat, sebagai salah satu berita hangat dan cukup menyita perhatian semua pihak, dari PGRI menyoroti tentang TPG, juga dari P2G dengan Satriawan Salim sebagai koordinator nasional menyikapi tentang banyak terkait kepentingan dasar kesejahteraan guru, SEGI Garut yang diketuai oleh Apar Rustam Ependi, dan tentu tak ketinggalan juga IGPKhI yang digawangi oleh Agus Mulyawan. Momen ini menjadi penting dan menarik sekaligus menantang dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya organisasi profesi guru, untuk mencermati sebuah rancangan regulasi yang akan ditetapkan oleh pemerintah sebagai undang undang.
Di sisi lain hal ini menjadi sisi positif bagi berkehidupan berbangsa secara demokratis, dimana masyarakat diberika ruang untuk ikut andil menganalisa sebuah draff UU yang akan masuk Prolegnas di DPR RI dan akan disahkan sebagai UU Sisdiknas yang baru.
Sejatinya ketika draf RUU kita pelajari maka ada kesempatan kepada masyarakat termasuk dalam salah satunya IGPKhI (Ikatan Guru Pendidikan Khusus Indonesia), khususnya dalam kajian penyelengaraan pendidikan khusus, yang berupaya untuk ikut andil dalam mencermati hal yang cukup krusial ini. Ada hal yang menggelitik ketika naskah Draf RUU Sisdiknas banyak pasal pasal terkait konsep pendidikan khusus, nampak banyak perubahan dari UU Sisdiknas nomer 20 tahun 2003.
Baca juga: Kemendikbudristek “Korupsi” Pasal Tunjangan Profesi Guru, P2G: Mimpi Buruk Bagi Guru
Penulis sebagai sekretaris jenderal PP IGPKhI mencoba ikut mencermati permasalahan yang dipersoalan semua pihak. Banyak tanggapan yang masuk untuk dikuatkan menjadi wahana dialektika yang berkembang di kalangan guru pendidikan khusus. Kekuatan untuk menciptakan kondisi demokratis yang baik sehingga ada kontribusi dalam memecahkan persoalan yang berkembang atau setidaknya menjadi enter point bagi solusi alternatif yang terbaik.
SLB (Sekolah Luar Biasa) atau sekolah khusus dapat dikatakan sebagai penyelenggaraan Pendidikan berupa unit sekolah yang terdiri dari tingkat satuan Pendidikan TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB, atau bisa disebut TK Khusus, SD Khusus, SMP Khusus dan SMA Khusus. SLB itu atau sekolah khusus itu sendiri termasuk pada kategori Jenis pendidikan khusus yang terdiri dari jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur pendidikan formal.
Bagaimana selanjutnya terminologi pendidikan khusus dan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dalam pusaran regulasi yang mengakomodir perubahan dan perkembangan zaman di era disrupsi ini. Apakah dalam posisi yang cukup kurang perhatian dari pemangku kepentingan dalam penyelenggaran pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus? apakah dalam pemetaannya perlu kajian khusus tersendiri serta perlu kajian berbasis keilmuan khusus dalam mengkonstruksinya? Pertanyaan pertanyaan ini setidaknya dapat menjadi trigger untuk dikembangkan menjadi formula terbaik bagi penyelenggaraan pendidikan khusus dan Pendidikan layanan khusus ke depan.
Para pakar Pendidikan khusus diharapkan ikut mencermati persoalan yang tidak sederhana ini. Karena menyangkut eksistensi pendidikan khusus dan sangat dipertaruhkan dalam tantangan kedepan yang secara basis keilmuan belum menunjukan keajegan yang paripurna terkait istilah pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus serta dinamika tafsiran yang beraneka ragam menuju muara yang diharapkan senada, sehingga ada value baru dalam membangun Pendidikan Indonesia kedepan. Untuk itu dalam kesempatan yang baik ini, kita berusaha memberikan sumbangsih pemikiran yang secara holistic dari para pakar pendidikan khusus dan pemerhati PLB (Pendidikan Luar Biasa) di seluruh belahan bumi pertiwi yang kita cintai ini.
Mencermati draf RUU Sisdiknas yang beredar di masyarakat tahun 2022 nampak SLB/sekolah khusus tidak muncul dalam peristilahan yang dikembangkan di draf tersebut, dalam Pasal 31 draf RUU Sisdiknas berbunyi ;
“…(1) Satuan Pendidikan pada Jenjang Pendidikan anak usia dini, Jenjang Pendidikan dasar, dan Jenjang Pendidikan menengah pada Jalur Pendidikan formal berbentuk satuan Pendidikan anak usia dini, sekolah, madrasah, pesantren, dan Satuan Pendidikan keagamaan.”
Jadi SLB/sekolah khusus yang merupakan satuan pendidikan tidak dicantumkan dalam pasal 31 yang menjelaskan posisi bentuk satuan pendidikan dalam jalur Pendidikan formal pada jenjang pendidikan. Padahal ada penjelsan lebih teknis di PP nomer 17 Tahun 2010 Pasal 132 yang tertulis bahwa; “Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jalur formal diselenggarakan melalui satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah.”
Begitu pula peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) tidak muncul, yang ada adalah pelajar dengan kondisi khusus (pasal 63 Draf UU Sisdiknas). Dengan segala penjelasannya tentang pelajar dengan kondisi khusus, bagi pemerhati pendidikan khusus nampak sulit untuk dimaknai sebagai kajian berbasis ilmu. Apakah ini pertanda bahwa hal tersebut menjadi sesuatu yang asing bahkan termarjinalkan dalam kancah pendidikan nasional?
Istilah Pendidikan Khusus dan pendidikan layanan khusus (PKPLK) menjadi poin tersendiri di draf UU Sisdiknas ini. Dan kita bisa mencermati pasal per pasal terkait penyelenggaraan PKPLK. Dalam beberapa pasal muncul istilah layanan khusus , misalnya di pasal 66 muncul istilah layanan pendidikan, dan yang dimaksud dengan layanan pendidikan adalah layanan khusus dan mempunyai pengertian bahwa layana khsusus itu dapat berupa a. penerapan standar capaian dan/atau kurikulum yang disesuaikan untuk kondisi bencana; b. penyesuaian tugas dan tanggung jawab Pendidik; c. penyesuaian mekanisme penilaian Pelajar; dan/atau d. penyesuaian lain sesuai kebutuhan Pembelajaran Pelajar.
Dari penjelasan di atas agak membingungkan tentang definisi layanan khusus yang dapat dikatakan sebagai penjawantahan layanan pendidikan. Narasi ini bisa jadi sangat tidak berdasarkan basis ilmu yang memadai. Dengan demikian maka penulis mencoba tidak mencermati dulu pasal per pasal yang ada di draf RUU Sisdiknas, akan tetapi mencoba mencermatinya dan mendalami konten dari Naskah Akademik RUU Sisdiknas yang beredar di masyarakat. Terkait naskah akademik berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 201, naskah akademik merupakan naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
Upaya ini tidak lepas dari kajian khusus mengenai konsep Pendidikan khusus dan Pendidikan layanan khusus yang selama ini tertuang jelas di UU Sisdiknas Nomer 20 Tahun 2003 pasal 32 (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Pengertian dan cakupan PK PLK di UU Sisdikana Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 32 ayat 1 tentang PK dan 2 tentang PLK sudah sangat tergambar, akan tetapi dalam NA Draf RUU yang beredar menerangkan bahwa ada ketidakjelasan dua pengertian tersebut. Kita bisa menyimak kajian tersebut pada halaman 173 rancangan draf RUU Sisdiknas muncul narasi dipenjelasan nomor empat tentang pelajar dengan kondisi kusus, yaitu; “Konstruksi pengaturan yang demikian tentu menimbulkan tafsir adanya inkonsistensi pengaturan cakupan penerima pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Oleh karena itu, perlu konsistensi dan harmonisasi pengaturan terkait kedua pasal tersebut”. (Bersambung)
Penulis adalah Sekretaris Jenderal PP IGPKhI