Hot Topic Internasional

Sputnik V, Vaksin Corona Milik Rusia Diragukan Khasiatnya

Channel9.id-Jakarta. Beberapa pihak dikabarkan ragu kemujaraban vaksin corona Rusia, Sputnik V, diantaranya guru dan tenaga kesehatan Rusia yang akan segera mendapatkan suntikan vaksin tersebut.

Dilansir CNNIndonesia (09/09) serikat guru Rusia, Uchitel, memulai petisi daring yang meminta anggotanya untuk menolak vaksinasi secara langsung atas dasar keamanan, dan menyatakan keprihatinan bahwa vaksinasi – yang saat ini bersifat sukarela – tidak boleh dijadikan wajib kecuali uji klinis selesai.

Salah satu ketua Uchitel, Marina Balouyeva, mengatakan petisi menentang vaksinasi wajib bagi guru lebih merupakan tindakan pencegahan. Dia waspada terhadap Sputnik-V karena beberapa alasan. Pertama, secara umum diketahui kualitas vaksin Rusia lebih buruk dibandingkan produksi luar negeri.

Kedua, vaksin itu dibuat dengan kilat yang sudah menimbulkan kekhawatiran. Dia menilai vaksin itu dibuat dengan tergesa-gesa.

Selain itu, kritikus seperti Anastasia Vasilyeva, seorang dokter Rusia yang menjadi juru kampanye terkemuka dan sekutu pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny, contohnya.

Dia mengatakan dorongan Rusia untuk melakukan vaksinasi Covid-19 akibat tekanan politik dari Kremlin, yang ingin mencitrakan Rusia sebagai kekuatan ilmiah global.

“Saya pikir ini untuk menunjukkan Rusia adalah negara yang sangat kuat, bahwa Putin adalah presiden yang sangat kuat,” kata dia.

Baca juga: Kabar Gembira, Vaksin Corona Buatan Rusia Hasilkan Respon Antibodi

Sementara, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pun angkat bicara terkait kemujaraban vaksin Covid-19 Sputnik V milik Rusia.

Peneliti LIPI Wien Kusharyoto mengatakan vaksin Rusia Sputnik V memiliki tingkat antibodi penetralisir virus corona yang cukup rendah meski diklaim mampu memicu respons antibodi.

“Tingkat antibodi penetral cukup rendah dipaparkan dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet. Tingkat antibodi ini rendah dibandingkan dengan uji coba vaksin lain yang diterbitkan. Begitu juga respons sel T (T cell) yang minim meski vaksin juga memicu respons sel T,” tuturnya, Selasa (08/09).

Akan tetapi, Wien juga menyinggung bahwa para peneliti independen kesulitan untuk membandingkan hasil respon imun dari berbagai vaksin Covid-19.

Tiap kelompok penelitian mungkin menggunakan metode uji yang berbeda dalam mengukur konsentrasi antibodi, termasuk antibodi penetralisir virus. Terdapat pula perbedaan level antibodi dalam plasma konvalesen digunakan sebagai acuan.

Oleh karena itu, Wien menambahkan uji klinis tahap I dan II harus diikuti dengan tahap III untuk membuktikan secara gamblang terkait kemanjuran dan keamanan vaksin.

Untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas kombinasi kedua vaksin tersebut dalam mencegah penyakit Covid-19, tetap harus dilakukan uji klinis tahap III.

“Karena itu hasil uji klinis tahap I/II tidak banyak berarti tanpa diikuti oleh uji klinis tahap III terhadap ribuan relawan yang berupaya mengevaluasi secara gamblang efektivitas dan keamanan vaksin,” kata Wien.

Wien mengungkap nyatanya peneliti di Rusia menetapkan ambang batas yang tinggi untuk uji netralisasi. Dosis virus yang digunakan tinggi dan tidak diperbolehkan timbulnya kerusakan sel akibat infeksi virus.

Dengan ambang batas yang tinggi, hal tersebut sesungguhnya meningkatkan risiko kegagalan yang lebih besar. Beruntung, kegagalan itu tidak terjadi.

“Sebetulnya mereka mengambil risiko yang besar dalam hal ini terkait kemungkinan vaksin tersebut gagal dalam pengujian. Namun tidak demikian yang terjadi,” ujar Wien.

IG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  57  =  63