Opini

Stop Pertengkaran, Krisis di Depan Mata

Oleh: M.S. Ridho*

Channel9.id-Jakarta. Turbulensi ekonomi-politik global sedang melanda jagat perekomian maupun perpolitikan di ranah dunia. Hari ini dengan telanjang mata kita dapat saksikan perang dagang AS-China, ekonomi Eropa pasca Brexit, hingga gejolak geopolitik makin membuat situasi ekonomi dunia tidak menentu dan menyurutkan harapan akan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan.

Layaknya sebuah turbulensi, kondisi ekonomi global bergerak secara tidak stabil dan cenderung menurun. Akibatnya dapat menjadi resesi dunia, sebuah kata ekonomi yang hendak dijauhi oleh setiap negara, resesi telah menjadi momok menyeramkan bagi negara manapun, apalagi para pelaku bisnis maupun dunia usaha.

Dua triwulan terakhir laju pertumbuhan ekonomi kita melambat. Berdasar rilis Badan Pusat Statistik Oktober lalu, pada kuartal III 2019 ini hanya 5,02 persen, makin menurun dibanding kuartal sebelumnya yaitu 5,17 persen. Angka 5,02 persen ini merupakan angka terendah dalam laju pertumbuhan ekonomi kita dua tahun terakhir. Dilantiknya para menteri sebagai pembantu presiden belum menunjukkan dampak signifikan mengingat baru dilantik satu bulan yang lalu.  

Kondisi Ekonomi dan Kerumitan Regulasi

Sementara itu oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) Indonesia diproyeksikan pertumbuhan ekonominya pada 2020 akan tertahan di angka 5 persen. Hal ini terlihat dari OECD Economic Outlook November 2019. Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi IMF dan World Bank yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,1 persen, adapun Asian Development Bank (ADB) yang memproyeksikan di angka 5,2 persen. Bahkan lembaga ekonomi INDEF memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya 4,8 persen, padahal pemerintah dalam APBN 2020 menargetkan 5,3 persen, sebuah target yang tidak mudah direalisasikan kecuali adanya stabilitas politik di dalam negeri serta terobosan-terobosan dari tim ekonomi didukung dengan dunia usaha dan bisnis.

OECD memprediksikan kondisi ekonomi akan membaik seiring dengan masuknya investor pasca berakhirnya tahun politik, lalu berlanjutnya proyek infrastruktur, serta kondisi finansial yang suportif, sekiranya tidak ada badai politik di dalam negeri.

Repotnya pertumbuhan ekonomi nasional ini hanya bergantung pada kekuatan sektor konsumsi rumah tangga, mengingat sektor investasi dan perdagangan internasional belum berperan dominan, karena struktur ekspor yang tidak berdaya saing serta kebergantungan impor sangat tinggi, terutama untuk bahan baku dan penolong untuk industri. Hal ini bukan tanpa sebab, harapan Presiden Jokowi terkait investasi besar yang masuk kedalam negeri dihadapkan dengan iklim investasi yang belum kondusif.

Kerumitan regulasi menjadikan Indonesia tidak menarik bagi investor asing. Hal ini terkonfirmasi dengan peringkat kita di Competitiveness Global Index 2019 yang menempati nomor 50, tertinggal jauh dari Singapura (1), Hongkong (3), Jepang (6), Malaysia (27), Thailand (40), sebagai pelipur lara Indonesia hanya unggul dari Brunei Darussalam (56), dan Filipina (64). Indeks Daya Saing Global di era revolusi industri 4.0 yang turun tajam dari tahun sebelumnya merupakan alarm keras bagi seluruh bangsa. 

Situasi makin parah dengan ambyarnya asuransi Jiwasraya dan Bumiputera serta Bank Muamalat belakangan ini, makin menambah hantu resesi di dalam negeri mendekati kenyataan. Runyamnya situasi ekonomi ini tentu tidak ada yang mengharapkan bakal terjadi. 

Langkah Konkrit

Penunjukkan wajah baru di tim ekonomi oleh Presiden menunjukkan ia paham benar situasi itu sehingga berusaha menurunkan tensi ketegangan. Demikian pula penunjukkan Prabowo memperlihatkan kebesaran jiwanya, sehingga menuntun seorang Jokowi “berdamai” dengam kelompok oposan yang selama hampir setahun menyerang secara brutal dengan isu-isu recehan.

Di sinilah perlunya semua pejabat meningkatkan sense of crisis. Misalnya tak perlu membuat pernyataan yang dapat memicu konflik dan tak perlu buang anggaran untuk hal-hal yang tak penting seperti pembangunan kolam renang di rumah dinas dan balap formula e. Ada banyak alokasi anggaran ke hal-hal produktif lainnya yang dapat dilakukan bagi rakyat.

Demikian pula penanganan terhadap organisasi macam FPI, yang sudah disorot sebagai organisasi minim faedah melihat sepak terjangnya selama ini, toh tidak lantas selesai dengan cara dibubarkan sebagaimana desakan dari beragam kelompok civil society di negeri ini. Sementara aktor-aktornya masih bergentayangan di ibukota maupun di beberapa wilayah yang menjadi die hardnya FPI, sekiranya hendak ditangkap pun belum ada delik aduan hukum yang dapat menjeratnya secara pasti. Memang terkesan selesai jika dibubarkan, akan tetapi esoknya mereka dapat mendeklarasikan kembali ormas baru dengn menebar propaganda dan sentimen merasa dizalimi oleh pemerintah. Hal ini justru akan menambah keriweuhan yang jauh lebih susah lagi menangkalnya.

Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sedang diuji dengan situasi ekonomi global yang lesu mengarah pada resesi sehingga membuat langkah-langkah catur politiknya jauh kata memuaskan, termasuk para pendukung setianya di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk di Eropa yang pada pilpres kemarin meraup 80% kemenangan. 

Situasi ini tentu saja tidak ideal bagi sebuah pemerintahan yang kurang dari dua bulan dilantik namun terkesan minim dukungan konkrit dari partai koalisisnya maupun kelompok-kelompok relawan setianya. Belum lagi serangan dari kelompok oposan yang memang menjadi tugas mereka. 

Tidak mudah memang untuk mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, di tengah turbulensi ekonomi-politik global. Harapannya di dalam negeri tidak terjadi goncangan politik maupun pertengkaran-pertengkaran yang dipicu karena perbedaan afiliasi politik maupun perbedaan identitas agama/keyakinan, ras, etnis, dan lainnya.

Di sini perlu kiranya seluruh elemen bangsa menjaga stabilitas politik, krisis ekonomi dapat berkembang jadi krisis politik bahkan krisis kebangsaan jika kita hanya mempertajam pertengkaran bukan persatuan. Pemerintah perlu kita kritisi bersama sehingga tidak keluar dari rel yang sesungguhnya. Negara lain sudah memperlihatkan pada kita, krisis politik yang terjadi di Chile dan Lebanon misalnya hanya dipicu soal kecil dan akibatnya sangat buruk bagi kedua negara tersebut.

*Intelektual Muhammadiyah dan Pengamat Keamanan Publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

19  +    =  26