Oleh: Dr. Rahmat Edi Irawan., S.Pd., M.IKom
Channel9.id – Jakarta. Benarkah industri media massa di Indonesia, masih “sakit”? Benarkah, media massa kita akan memasuki akhir perjalanannya? Apa yang tengah terjadi di industri media massa? Bisakah media massa kita melewati masa transisi yang amat kritis ini?
Fenomena terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di banyak media massa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, menjadi gambaran kelam bagaimana kehidupan media massa Indonesia. Bukan saja pada media-media kecil atau lokal, PHK juga terjadi pada korporasi media besar di tingkat nasional. Hanya saja, jika PHK di berbagai media-media lokal atau kecil biasanya diikuti dengan penutupan atau penjualan perusahaan media massanya, maka pada PHK yang terjadi pada korporasi media besar umumnya hanya menjadi bagian dari upaya perusahaan media massa tersebut untuk tetap bertahan dalam persaingan bisnis di industri media massa kita.
PHK yang mencuat ke permukaan, tentu bukan tindakan ujug-ujug dari perusahaan media massa. Kebijakan tidak popular itu tentu menjadi pilihan yang belakangan terpaksa harus dilakukan pemilik atau pengelola media, demi mempertahankan hidup perusahaannya. Sebelumnya, pasti mereka sudah berusaha untuk melakukan efisiensi dalam operasional perusahaan medianya. Mereka juga bisa dipastikan sudah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan berbagai sumber penghasilan, agar perusahaan masih bisa menjalankan fungsi sebagai sebuah entitas media massa.
Jika kita runut hingga ke hulu, sebenarnya berbagai permasalahan dalam industri media massa, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan tekonologi komunikasi yang terjadi dalam dua dekade terakhir. Kemajuan teknologi tersebut, menyebabkan manusia menjadi lebih mudah dalam mengakses media massa. Banyak platform atau kanal baru yang bisa membuat manusia dapat lebih mudah dan murah mendapatkan informasi dan hiburan, yang bisa didapatkan dari media massa. Bahkan, tidak sampai di sana saja, teknoloi komunikasi yang baru bisa memudahkan siapa saja memproduksi dan mendistribusikan konten, yang selama ini dimonopoli pemilik atau pengelola media massa saja.
Di situlah letak perubahan besar dalam industri media massa, jika dilihat dari aspek komuninasinya. Media massa tidak lagi satu arah, dari pemilik dan pengelola media massa kepada khalayaknya. Sekarang batasan pemisahan tugas dan tanggungjawab itu sudah hampir hilang, siapapun bisa menjadi pemilik atau penglola media massa juga. Pemilik dan pengelola media massa tidak lagi bisa memonopli pesan yang akan disampaikan, karena semua orang juga bisa melakukan hal yang sama dengan pemilik atau pengelola media massa tersebut. Inilah yang disebut sebagai dua arah dalam komunikasi, karena penonton juga bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan mereka yang selama ini ada di balik sebuah perusahaan media.
Namun terbukanya siapa saja untuk bisa memproduksi dan mendistribusikan pesan, pasti akan berdampak pada ekosistem industri media massa. Bisnis model lama media massa, yang sarat modal, teknologi dan sumber daya manusia, perlu dievaluasi. Perusahaan media massa, tergopoh-gopoh saat semua fungsi media massa yang selama ini seolah-olah menjadi monopoli, ternyata bisa dilakukan oleh orang lain. Artinya, tidak harus perusahaan media massa yang akan menjadi lawan atau kompetitor mereka, tetapi sekarang seorang individu atau sekelompok kecil orang bisa menjadi pemain dalam ekosistem media massa, yang sekaligus menjadi ancaman bagi perusahaan media massa yang selama ini hadir di bisnis media massa.
Sebenarnya, pemilik dan pengelola media massa, sudah melakukan banyak cara untuk tidak kehilangan khalayak medianya. Mereka sadar, bahwa kehilangan konsumen media massa tersebut akan berdampak pada kehilangan sebagian revenue yang selama ini mereka dapatkan karena besarnya minat masyarakat terhadap informasi maupun hiburan yang dihadirkan media massa. Media massa sudah berusaha untuk mencoba menerapkan teknologi komunikasi yang baru dalam lingkup bisnis mereka. Beberapa perusahaan media massa, sudah hadir di beberapa platform atau yang kita kenal sebagai multiplatform atau konvergensi media massa. Banyaknya khalayak media yang tidak lagi mengakses media massa dari satu kanal saja, membuat perusahaan media massa berusaha hadir di berbagai platform yang ada.
Tentu saja, upaya hadir di banyak platform bukan hal yang mudah dan murah. Butuh investasi atau modal baru membangun sarana dan prasaran untuk tampil di banyak kanal. Belum lagi mereka juga butuh sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dengan teknologi komunikasi yang baru. Mereka harus menyelaraskan dengan karakteristik di berbagai platform dan tentu saja termasuk mempelajari siapa khalayak yang ada di masing-masing platform tersebut. Hal itu dilakukan agar produksi konten yang mereka buat, memang bisa dilirik atau dinikmati para khalayak di platform tersebut. Hal lain yang juga perlu mereka siapkan adalah mempelajari aturan main yang terkadang belum jelas atau belum ada di ekosistem tertentu di platform-platform yang ada.
Satu kesulitan lain yang juga tidak mudah bagi pemilik atau pengelola media massa lama dalam ekosistem industri media massa yang baru adalah mengenal peta persaingan di industri tersebut. Selain berkompetisi dengan para pemain yang sama-sama memproduksi konten, baik dalam wujud perusahaan media massa atau mereka yang berasal dari content creator, bisnis media massa kini juga diwarnai dengan kehadiran pemilik-pemilik platform, yang kebanyakan justru adalah perusahaan multinasional. Mereka inilah yang merupakan pemilik platform Youtube, Instagram, Twitter, Tik Tok dan lainnya, yang memang bukan perusahaaan kaleng-kaleng. Secara kebetulan juga, nyaris tidak ada pemain lokal di penyedia lapak atau platform tersebut.
Kini, dengan kondisi yang sedang “tidak baik-baik” saja, tentu pemilik dan pengelola media massa, harus memutar otak untuk bisa bertahan. Jika pada akhirnya mereka melakukan PHK, seperti yang disampaikan di awal tulisan, tentu itu adalah langkah atau opsi terakhir yang harus mereka lakukan. Bahkan, itu saja masih belum cukup, karena masih banyak yang harus dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan mereka masing-masing. Salah satu kewajiban yang tetap harus dilakukan adalah bagaimana menyesuaikan bisnis model perusahaan media massa dengan bagaimana sebenarnya interaksi antara khalayak media massa dengan media massa itu sendiri.
Saat ini, tidak mungkin hanya bisa bertahan dengan melakukan bisnis model media yang lama, seperti platform yang tunggal, teknologi komunikasi yang simpel namun efektif, dan mengandalkan pendapatkan dari iklan dan pemasukan dari khalayak media massa saja. Perusahaan media massa, harus mampu membuat bisnisnya lebih hemat dan kompetitif, dengan tim yang tidak terlalu banyak, namun tetap bisa diakses di banyak platform.
Perusahaan media massa saat ini juga harus mengembangkan engagement, sehingga menguatkan hubungan antara media massa dengan khalayaknya. Justru di sanalah nanti akan ada sumber penghasilan baru bagi media massa, melalui berbagai macam “jualan” yang bisa dilakukan media massa sebagai sumber revenue mereka.
Bukan tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin. Masih banyak jalan menuju Roma, masih banyak usaha yang dilakukan untuk menyelematkan industri media massa kita. Bahkan, saat ini perusahaan media massa yang awalnya dibangun para content creator, seperti RANS, Close the Door dan lainnya, menggeliat menjadi perusahaan media massa yang baru dan kuat. Lima atau sepuluh tahun mendatang, kita barangkali akan melihat bagaimana bisnis media massa yang lebih stabil, dengan menyisakan pemain yang kembali kuat dan mampu memberikan informasi dan hiburan yang dibutuhkan khalayaknya.
Penulis adalah Dosen Mass Communication Binus University