Channel9.id, Jakarta – Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) mengecam putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang hanya menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam kasus penggunaan jet pribadi dengan pembiayaan negara senilai lebih dari Rp 90 miliar. Putusan ini dinilai terlalu ringan dan tidak sebanding dengan beratnya pelanggaran etik yang telah terbukti di sidang DKPP.
Menurut Koordinator TePI Indonesia, Jeirry Sumampow, fakta-fakta pelanggaran yang diakui para pihak dalam sidang menunjukkan bahwa sanksi peringatan keras tidak mencerminkan keadilan.
“Publik berhak mempertanyakan dasar moral dan rasionalitas DKPP. Jika dibandingkan dengan kasus sebelumnya, pelanggaran etik yang lebih ringan justru mendapat sanksi lebih berat, bahkan pemberhentian. Putusan ini janggal dan tidak proporsional,” tegas Jeirry, Senin (27/10/2025).
Putusan ringan ini memunculkan persepsi bahwa DKPP telah kehilangan independensi sebagai penjaga kehormatan penyelenggara pemilu. “DKPP tampak kompromistis dan berpotensi dipengaruhi kepentingan politik, sehingga sulit diharapkan menjadi benteng moral demokrasi elektoral Indonesia,” lanjutnya.
Meski langkah Komisi II DPR memanggil komisioner KPU diapresiasi, TePI Indonesia menilai pemanggilan saja tidak cukup. Komisi II diminta mengambil tindakan tegas dengan memanfaatkan kewenangan politik dan administratifnya, seperti:
- Merekomendasikan evaluasi kinerja dan integritas komisioner KPU kepada Presiden.
- Menunda atau membatasi pembahasan anggaran KPU hingga ada perbaikan transparansi dan akuntabilitas.
- Membentuk Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki potensi pelanggaran hukum dalam kasus ini.
- Memanggil DKPP untuk menjelaskan dasar pertimbangan putusan ringan tersebut.
Jeirry menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya pelanggaran individu, tetapi juga merusak kredibilitas kelembagaan KPU. “Jika DPR hanya berhenti pada pemanggilan tanpa tindakan konkret, kepercayaan publik terhadap arsitektur kelembagaan pemilu akan semakin tergerus,” ujarnya.
TePI Indonesia mendesak Komisi II DPR untuk bertindak tegas, terbuka, dan konsisten agar kasus ini menjadi momentum pemulihan integritas penyelenggara pemilu. “Demokrasi Indonesia tidak boleh dikendalikan oleh lembaga yang mengabaikan tanggung jawab etik dan moral,” tutup Jeirry.





