Australia Catat Cuaca Terpanas Dalam 62 Tahun Terakhir
Internasional

Australia Catat Cuaca Terpanas Dalam 62 Tahun Terakhir

Channel9.id-Australia. Otoritas Australia memperingatkan warganya untuk tetap di rumah pada hari Jumat dikarenakan gelombang panas dari arah barat laut dan membuat temperatur di Australia mencapai 50.7 derajat Celsius, rekor tertinggi sejak 62 tahun lalu, Jumat (14/1/2022).

Peniliti iklim dan aktivis telah menyerukan peringatan adanya pemanasan global yang didorong oleh gas rumah kaca, terutama bahan bakar fosil, yang hampir tak dapat dikendalikan lagi.

Tahun-tahun terpanas di Bumi telah terjadi dalam dekade terakhir ini, dengan 2021 sebagai tahun terpanas keenamnya, ungkap data dari Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS pada pekan ini.

Sebuah daerah pertambangan besi di daerah barat laut Australia, Pilbara, dimana temperatur cuaca mencapai tingkat tertingginya pada hari Kamis, dikenal sebagai daerah panas dan kering. Biasanya temperatur disana mencapai diatas 30 derajat Celcius setiap awal tahun.

Australia merupakan salah satu penghasil karbon terbesar di dunia per kapita, namun pemerintah menolak untuk mengalihkan ketergantungannya dari batu bara dan industri-industri bahan bakar fosil lainnya, berdalih kalau itu akan menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan.

Para peniliti telah menemukan kalau kenaikan temperatur tersebut dapat memberikan dampak kesehatan dan produktivitas ketenagakerjaan, yang berujung membuat kerugian sampai miliaran dolar.

Menurut studi global yang dirilis pekan ini oleh para peneliti di Universitas Duke, Australia telah mengalami kerugian sampai sekitar 7.48 juta dolar dan 218 jam produktif setiap tahunnya selama dua dekade lalu karena cuaca panas yang ekstrim. Kerugian ini bisa kian membengkak dalam beberapa dekade ke depan saat dunia menuju pemanasan global di atas 1.5 dejarat celcius.

“Hasil ini membuktikan kalau kita tak perlu menunggu 1.5 derajat Celcius untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap tenaga kerja dan ekonomi kita … Jika pemanasan ini terus berlanjut, dampak yang diberikan juga akan membesar,” ungkap penulis utama penelitian dari Universitas Duke, Luke Parsons.

(RAG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  82  =  91