Terancamnya Media Mahasiswa di Indonesia
Internasional

Terancamnya Media Mahasiswa di Indonesia

Channel9.id. Pemerintah Indonesia harusnya mendukung upaya Dewan Pers nasional yang ingin melindungi outlet media universitas dan memediasi perselisihan mereka dengan otoritas pendidikan, ungkap Komnas HAM, (22/5). Lebih dari 150 jurnalis kampus akan memulai konferensi panjangnya di Solo dalam mendiskusikan persoalan intimidasi, penyerangan, dan pembubaran paksa media universitas, dan perlunya tindakan langsung dari pemerintah.

“Jurnalis mahasiswa di Indonesia telah ditindas dari aksi intimidasi dan sensorsip sampai pencemaran nama baik dan penutupan ruang redaksi, dan mereka benar-benar tak berdaya dalam serangan terhadap kebebasan press ini,” ujar Phil Robertson, wakil direktur Pengawas HAM di Asia. “Pemerintah dan Dewan Pers harus mengekspos krisis media ini dan segera bertindak dan mendukung jurnalis-jurnalis mahasiswa ini,” lanjutnya.

Antara tahun 2020 dan 2021, Asosiasi Pers Mahasiswa Indonesia mencatat 48 kasus administrasi kampus yang mengintimidasi atau menutup outlet media mahasiswa dari 185 kasus dugaan pelanggaran terkait pers di seluruh kampus Indonesia. Pelanggaran-pelanggaran ini termasuk tindakan ancaman, intimidasi, serangan fisik, penutupan outlet media, dan di-Donya mahasiswa karena tulisannya.

Kebanyakan universitas di Indonesia setidaknya memiliki satu media outlet seperti koran, majalah, atau situs berita online, dan bahkan banyak universitas tua mempunyai lebih dari satu media outlet tersebut. Sementara itu, beberapa organisasi pers mahasiswa yang sudah berdiri sejak lama juga sudah mempublikasi karyanya, diantaranya bahkan konsisten mempublikasi sejak tahun 1960an, baik dengan outlet media lama ataupun terbaru.

Menurut UU Pers Tahun 1999, yang mengatur soal Dewan Pers dalam menengahi sengketa pencemaran nama baik, mendefinisikan organisasi pers sebagai media yang mempunyai status legal independen seperti perseroan terbatas, yayasan, atau koperasi. Namun, media mahasiswa beroperasi dibawah pengawasan resmi lembaga pendidikannya, dan secara tidak langsung, ke Kementerian Pendidikan untuk universitas umum, dan Kementerian Agama untuk universitas Muslim. Atas dasar alasan ini, sistem Dewan Pers tidak mampu melindungi para jurnalis mahasiswa ini.

Walaupun organisasi media mahasiswa ini beroperasi di bawah struktur universitasnya, banyak dari mereka yang beroperasi seperti kebanyakan redaksi independen. Hal ini sering menjadi biang masalah bagi universitas dimana mereka kerap beradu kepentingan dengan organisasi media mahasiswa ini, seperti saat media mahasiswa mengekspos kasus-kasus yang menyimpang, korupsi, pelecehan seksual, dan masalah sensitif lainnya.

Dibawah memorandum kesepahaman antara Dewan Pers dan Polisi Republik Indonesia (POLRI), seluruh laporan sengketa pencemaran nama baik yang melibatkan media harus diserahkan ke Dewan Pers. POLRI sepakat bahwa mereka hanya akan memproses kasus tersebut jika kasus tersebut sudah diproses terlebih dahulu oleh Dewan Pers. Dengan begitu, pengolahan kasus di Dewan Pers ini memainkan peranan penting dalam menyelesaikan kasus tersebut selagi melindungi kebebasan pers.

Namun kasus sengketa pencemaran nama baik yang melibatkan jurnalis dan publikasi mahasiswa tidak diproses seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kasusnya akan langsung diproses oleh kantor polisi terdekat, dimana para petugasnya kebanyakan dapat disetir oleh orang-orang elit yang tak suka dengan rilis mahasiswa tersebut.

Menanggapi hal ini, Dewan Pers Nasional di Jakarta harus terus berkomunikasi dengan POLRI, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Agama, dan mencari solusi agar dapat dialihkannya kasus sengketa jurnalistik mahasiswa ke Dewan Pers.

Pada Maret 2019, Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan menutup paksa Suara USU setelah viralnya ulasan mereka soal cerita percintaan kaum lesbi, dan memerintahkan 18 jurnalis mahasiswa yang tergabung dalam media tersebut untuk mengosongkan ruangannya. Para mahasiswa tersebut kemudian menuntut universitas pada Juli 2019 namun kalah di pengadilan tata usaha Medan pada November 2019. Pada Januari 2020, mereka kemudian mendirikan situs berita Wacana yang berdiri di luar struktur kampus dengan konsekuensi tidak dapat pendanaan kampus.

Pada Maret 2022, Institut Agama Islam Ambon menutup majalah mahasiswa Lintas dan memerintahkan pihak keamanan kampus untuk menutup ruang redaksi dan menyita seluruh perlengkapan mereka setelah menuduh Lintas telah mencemarkan nama baik kampus. Cerita yang membuat marah pihak kampus ini telah mengulas cerita pelecehan seksual terhadap mahasiswa di kampus, dan kegagalan universitas dalam mengatasinya. Dalam kasus ini dilaporkan ada dua jurnalis yang diserang oleh dosen terlapor. Selain itu, Abidin Rahawarin, sang rektor, melaporkan sembilan mahasiswa lainnya ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik.

Dalam ulasan tersebut, Lintas telah menghabiskan waktu selama lima tahun dalam menginvestigasi kasus pelecehan seksual ini dan telah mewawancara 32 korban pelecehan (27 perempuan dan 5 laki-laki). Setelah dilakukannya mediasi, rektor universitas setuju untuk tidak meneruskan gugatannya, namun dengan ketentuan dirombaknya kepengurusan Lintas.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Pers Mahasiswa ditemukan bahwa aksi penindasan yang kerap dilakukan oleh pihak kampus adalah intimidasi dan ancaman. Tuntutan yang paling sering diminta oleh pihak kampus adalah sensor pasca-publikasi, biasanya untuk menghapus berita tertentu dari situs berita mahasiswa.

Jurnalisme mahasiswa mempunyai sejarah panjang di Indonesia. Beberapa tokoh pendiri Indonesia, termasuk Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, adalah tokoh jurnalistik di Belanda pada tahun 1920an. Asosiasi pers mahasiswa mempunyai setidaknya 400 anggota dari beragam organisasi media di Bali, Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Beberapa pulau lainnya juga mempunyai asosiasinya sendiri.

“Pemerintah Indonesia harus memberikan respon yang signifikan kepada para pemimpin media mahasiswa atas isu-isu serius yang sudah mereka temukan. Badan pemerintah yang vital dan Dewan Pers harus membentuk satuan tugas untuk merancang dan membuat kesepakatan dalam melindungi para jurnalis mahasiswa dan juga publikasi mereka,” sebut Robertson

(RAG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  46  =  50