Terlibat Bisnis Pengadaan PCR, Tanggung Jawab Pejabat Dipertanyakan
Nasional

Terlibat Bisnis Pengadaan PCR, Tanggung Jawab Pejabat Dipertanyakan

Channel9.id-Jakarta. Direktur Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan bahwa tanggung jawab pemerintah ialah memberi perlindungan terhadap masyarakat, termasuk saat penanganan hingga pemulihan pandemi COVID-19. Namun, ia mempertanyakan kinerja pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab ini. Terlebih baru-baru ini muncul laporan bahwa dua menteri terlibat dalam bisnis pengadaan alat tes COVID-19 polymerase chain reaction (PCR).

“Sejauh mana kinerja pemerintah? Itu ada banyak kekurangan; tak hanya dalam konteks penanganan masalah kesehatan di masa pandemi, tetapi masalah ekonomi juga,” ujar Roy di diskusi daring bertajuk ”Politik Bisnis Elit di PCR: Siapa Meraup Untung?”, yang digelar oleh Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD), Jumat (5/11).

Baca juga: Pengamat Dorong Pengusutan Bisnis PCR yang Melibatkan Pejabat

Ia juga berpendapat bahwa alih-alih melindungi masyarakat di masa pandemi, pemerintah justru membebani mereka. “Misalnya, pemerintah bikin regulasi yang mewajibkan PCR dalam melaksanakan aktivitas, tetapi masyarakat sendiri yang harus tanggung biaya PCR-nya. Kemudian jadi muncul pertanyaan: PCR ini barang publik atau swasta? Jadi peran pemerintah ini tak jelas,” kata dia.

Menurut Roy, ketidakjelasan peran pemerintah dalam pengadaan PCR itu menciptakan ruangan yang tak jelas atau abu-abu, yang memungkinkan pihak tertentu—termasuk pejabat—meraup keuntungan.

“Apakah pemerintah hanya bikin regulasi untuk mengatur pengadaan PCR yang dilakukan oleh swasta, atau pemerintah menjadikan PCR sebagai barang publik sehingga masyarakat tak perlu bayar? Nah, ketidakjelasan peran ini jadi ruang mafia untuk cari untung dan merugikan masyarakat. Sehingga kemudian muncul masalah-masalah yang berkaitan dengan pengadaan PCR, termasuk beban harga yang harus dibayar masyarakat yang ingin melakukan perjalanan. Praktik ini bisa juga melibatkan pejabat dan korupsi,” jelas dia.

Sementara itu, Koordinator Nasional TePi Indonesia Jeirry Sumampow meyakini bahwa negara hanya sebatas fasilitator dan regulator semata.

“Saya bertanya-tanya, apa sih kontribusi negara? Kita lihat harga tes PCR. Masyarakat sendiri harus bayar mahal tes PCR, padahal idealnya mereka diberi kemudahan. Di lain sisi, regulasi yang dibuat malah memperlancar bisnis pengadaan PCR,” pungkasnya.

Jeirry juga mengatakan, yang jadi masalah adalah kepentingan pejabat dalam bisnis pengadaan PCR selama pandemi. “Para pejabat ini, meski tak terlibat langsung dalam bisnis secara legal, mereka bisa saja mempermudah akses perusahaan dalam pengadaan PCR. Atau, mungkin ada penyalahgunaan kekuasaan juga,” tutur dia.

Selain itu, lanjut Jeirry, jika memang ada keuntungan finansial dari proyek itu, ada kemungkinan ini berkaitan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. “Bisa saja keuntungan finansial dari tes PCR digunakan pejabat untuk modal berlaga Pemilu 2024,” imbuh dia.

Ia mengatakan bahwa selama pandemi, banyak sektor yang keuntungannya menurun sehingga ada kemungkinan mereka yang punya ambisi untuk maju mengalami penurunan modal. “Nah, setahun terakhir ini ada banyak bisnis yang berkaitan dengan COVID-19 ya, misalnya bisnis vaksin dan sebagainya. Saya pikir, ini mesti dicurigai,” lanjutnya.

Berangkat dari masalah itu, Jeirry turut mendorong partisipasi masyarakat dalam mengontrol jalannya pemerintahan. “Publik bisa menggunggat atau melaporkan kejanggalan penggunaan dana negara untuk penanganan pandemi, termasuk bisnis PCR yang melibatkan pejabat ini,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir diduga terlibat dalam bisnis PCR. Keduanya disebut sebagai pendiri perusahaan penyedia alat tes tersebut.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

60  +    =  66