Channel9.id, Jakarta. Maraknya praktik thrifting ilegal atau impor pakaian bekas secara melanggar hukum dinilai telah menjadi ancaman serius bagi kelangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor tekstil dan pakaian jadi. Para pakar perkoperasian dan penggerak UMKM mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas demi melindungi industri dalam negeri.
Pakar hukum dan perkoperasian Dr. Dewi Tenty, S.H., M.H., menyatakan keprihatinan mendalam atas masifnya peredaran pakaian bekas impor ilegal di pasar Indonesia.
“Ini bukan lagi persoalan tren, melainkan sudah menjadi ancaman eksistensial bagi UMKM lokal,” tegasnya dalam wawancara khusus, Senin (24/3/2025).
Menurutnya, praktik thrifting ilegal berdampak langsung terhadap kehancuran UMKM lokal dan mematikan daya saing industri dalam negeri.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lonjakan signifikan impor pakaian bekas dari US$44.000 (8 ton) pada 2021 menjadi US$272.146 (26,22 ton) pada 2022. Meski sempat menurun pada 2023, dampaknya masih dirasakan oleh pelaku usaha di berbagai daerah.
“Yang memprihatinkan, dengan harga Rp100.000 saja konsumen sudah bisa mendapatkan tiga potong pakaian thrifting. Produk UMKM dengan kualitas setara mustahil bisa menyaingi harga tersebut,” jelas Dr. Dewi.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (Apsyfi) mencatat, peredaran pakaian bekas impor ilegal telah menggerus konsumsi produk tekstil lokal hingga 432 ribu ton pada 2022, atau setara dengan 22,73% pangsa pasar industri tekstil nasional.
Ironisnya, di beberapa daerah justru muncul kebijakan yang memberi ruang bagi praktik thrifting ilegal. Fenomena ini, menurut Dr. Dewi, merupakan kebijakan kontraproduktif yang justru meminggirkan pelaku UMKM.
Ia juga menyoroti peran sejumlah influencer yang mengampanyekan thrifting dengan tagline “serunya berburu barang thrifting” tanpa mempertimbangkan dampak sistemiknya terhadap perekonomian lokal.
Di balik klaim “ramah lingkungan”, Dr. Dewi mengingatkan bahwa praktik thrifting ilegal justru menimbulkan masalah baru.
“Pakaian bekas yang dijual di thrift shop merupakan barang impor yang sebelumnya adalah sampah di negara asalnya. Tumbuhnya tren thrifting menggenjot permintaan pasokan, yang berarti semakin banyak sampah tekstil yang diimpor ke Indonesia,” paparnya
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya membedakan antara thrifting ilegal dan pasar preloved lokal.
“Thrifting ilegal merujuk pada barang bekas impor dalam jumlah besar dengan asal-usul tidak jelas, sementara preloved adalah barang pribadi yang dijual langsung oleh pemiliknya dengan kondisi yang lebih terjamin,” jelasnya.
Dr. Dewi juga membantah klaim bahwa thrifting berkontribusi pada kelestarian lingkungan.
“Faktanya, kita justru menjadi tempat pembuangan sampah tekstil negara maju. Alih-alih mengurangi limbah, praktik ini malah menambah beban lingkungan baru,” ujarnya.
Ia mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas semua pihak yang terlibat dalam praktik impor ilegal pakaian bekas.
“Kami meminta Kementerian Perdagangan, Bea Cukai, dan pihak berwenang lainnya untuk bersinergi memberantas mafia impor pakaian bekas ini,” tegasnya.
Dr. Dewi juga mengajak masyarakat untuk beralih ke produk UMKM lokal.
“Setiap pembelian produk UMKM bukan sekadar transaksi, tetapi bukti cinta tanah air dan dukungan nyata bagi kemandirian ekonomi bangsa,” ujarnya.
Menurutnya, dukungan terhadap produk lokal bukan hanya tentang melindungi industri dalam negeri, tetapi juga tentang memastikan masa depan perekonomian Indonesia yang berdaulat dan berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan konsumen, Indonesia diyakini mampu membangun ekosistem fesyen yang tidak hanya modis, tetapi juga beretika dan ramah lingkungan.
“Meski harga produk UMKM mungkin sedikit lebih mahal, dari sini kita bisa mengedukasi masyarakat, memberikan semangat, dan dorongan kepada pelaku UMKM untuk terus berproduksi. Yang lebih penting adalah mencintai produk dari negeri sendiri,” pungkasnya.





