Opini

Tim Ekonomi Kabinet Jokowi II Sulit Mencegah Resesi

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Tantangan jangka pendek perekonomian Indonesia adalah mencegah resesi. Resesi telah terjadi di beberapa negara, dan diprakirakan terus menular ke banyak negara lain. Indonesia merupakan salah satu yang diperingatkan oleh berbagai pihak sebagai rawan mengalami resesi pada tahun 2020. Tim ekonomi kabinet Jokowi II tampaknya akan kesulitan mencegah resesi tersebut.

Kemungkinan resesi ekonomi Indonesia dalam waktu dekat, sedikitnya terlihat dari tujuh indikasi. Pertama, pertumbuhan sektor industri pengolahan yang melambat. Kedua, defisit transaksi berjalan yang makin besar. Ketiga, beban pembayaran utang luar negeri (debt service ratio) yang meningkat. Keempat, defisit APBN yang melebar. Kelima, pertumbuhan kredit perbankan yang melambat. Keenam, Prompt Manufacturing Index (PMI) dan indeks Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang merosot. Ketujuh, Indeks Keyakinan Konsumen yang makin turun.  

Resesi ekonomi di berbagai negara dipicu oleh pelemahan ekonomi global. Perang dagang Amerika dan China, disertai oleh berbagai ketidakpastian yang meningkat, telah menimbulkan beragam dampak buruk. Aksi reaksi telah meluas dari sekadar kebijakan perdagangan, melainkan telah meluas pada kebijakan moneter dan kebijakan lainnya dari masing-masing negara. 

Akibat langsung bagi Indonesia berupa permintaan barang ekspor yang melemah. Ditambah dengan kecenderungan harga komoditas yang turun, maka kondisi neraca perdagangan hampir dipastikan akan terus defisit.

Begitu pula dengan arus modal asing portofolio yang berpotensi menjadi lebih tidak terduga. Transaksi portofolio selama ini hampir selalu mengalami surplus atau arus modal masuk secara neto. Perekonomian Indonesia yang terbiasa mengalami surplus membuatnya akan langsung terganggu, jika terjadi defisit. Bahkan jika nilai arus masuknya turun signifikan saja, akan berdampak buruk. Dan menjadi sangat buruk jika berlangsung dalam waktu singkat, yang dikenal sebagai pembalikan mendadak (sudden reversal).  

Sebenarnya, kondisi demikian telah dialami berulang kali belakangan ini. Tidak akan membuat resesi jika tak berjalin berkelindan dengan faktor lainnya, seperti tujuh indikasi di atas.

Bisa jadi karena telah biasa, Sri Mulyani yang tetap menjadi menkeu dan menggawangi APBN 2020, tidak menyiapkannya dalam strategi mencegah resesi. APBN 2020 tak mengandung sense of crisis. Disusun sebagaimana biasanya, bahkan dengan optimisme berlebihan.

APBN 2020 belum dijalankan, tetapi satu variabel yang menjadi dasar perhitungannya telah lebih buruk dari prakiraan. Defisit APBN 2019 dalam prakiraan (outlook) pemerintah (pertengahan Agustus) hanya sekitar Rp310 triliun atau 1,93% dari PDB. Data terkini telah melampaui 2% PDB dan berpotensi meningkat hingga akhir tahun. Target defisit APBN 2020 sebesar 1,76% menjadi makin tidak realistis. Terutama karena kebutuhan persentase kenaikan pendapatannya nyaris tak masuk akal.

Upaya keras pemerintah menekan defisit tahun 2019 dalam waktu tersisa antara lain akan berupa penundaan pembayaran dana perimbangan atau transfer ke daerah. Akibatnya akan berantai, dan pasti akan menekan daya beli masyarakat.

Padahal, upaya mencegah resesi secara teknis antara lain adalah dengan menambah likuiditas perekonomian. Sederhananya, menambah daya beli masyarakat. Dalam kondisi pelemahan, dibutuhkan intervensi negara secara lebih kuat dibanding biasanya. Bank Indonesia telah mengupayakannya dengan kebijakan moneter, namun kurang diimbangi oleh kebijakan perbankan (OJK) yang dapat mendorong ekspansi perbankan dan industri keuangan.

Airlangga Hartarto yang menjabat menko perekonomian sebelumnya adalah Menteri perindustrian. Rekam jejak prestasinya tidak cemerlang. Laju pertumbuhan sektor industri justru melambat. Ekspor barang dari sektor industri pun cenderung tertahan. Gejala deindustrialisasi premature makin kentara.

Dapat dikatakan bahwa tekanan pada transaksi berjalan dan neraca perdagangan pada khususnya akan terus berlanjut. Jika terjadi pelambatan arus masuk modal portofolio, apalagi sampai terjadi pembalikan, maka resesi akan menjadi kenyataan. Resesi yang tidak dapat diatasi dan berkelindan dengan faktor lain, berpotensi menciptakan krisis.  

Dan satu hal yang perlu selalu diingat, resesi ekonomi selalu berhubungan erat dengan kondisi utang. Baik utang pemerintah, utang BUMN, maupun utang sektor swasta lainnya. Terutama dalam hal utang luar negeri. Klaim akan amannya utang dari satu dua rasio yang dikedepankan selama ini merupakan ukuran kondisi normal. Jika tekanan pada perekonomian terus berlanjut, maka soalan utang akan menjadi rawan. 

Kembali kepada tim ekonomi Kabinet Jokowi II. Nama-nama baru tampak lebih kental dengan latar belakang partai politik dibanding kompetensi atau profesionalitasnya. Sulit diharapkan adanya peran luar biasa mereka dalam jangka pendek ini untuk membantu pencegahan resesi.

Penulis tidak mengharapkan terjadinya resesi, apalagi meningkat menjadi krisis. Namun, tim ekonomi kabinet yang ditetapkan sulit diharapkan mampu mencegahnya. Semoga, penulis salah.

Chief Economist Institut Harkat Negeri (IHN)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5  +  2  =