Channel9.id – Jakarta. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). MK menilai gugatan dengan Nomor Perkara 54/PUU-XXI/2023 tersebut tak beralasan menurut hukum.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, (2/10/2023).
Dalam dalil gugatannya, pemohon menilai penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU oleh DPR melanggar konstitusi karena dilakukan pada masa sidang keempat. Padahal, menurut pemohon, Perppu itu diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada masa sidang kedua.
Mahkamah menganggap wajar jika DPR membutuhkan waktu lama untuk menetapkan Perppu tersebut menjadi undang-undang. Sebab, Perppu Ciptaker bersifat omnibus yang mencakup 78 undang-undang lintas sektor.
Selain itu, pemohon menilai penerbitan Perppu Ciptaker tidak memenuhi unsur ‘kegentingan yang memaksa’. Namun, MK mengatakan pertimbangan ‘kegentingan yang memaksa’ merupakan kewenangan DPR untuk menilainya.
MK menilai lahirnya Perppu Ciptaker karena dampak perang Rusia-Ukraina sehingga bisa dipahami sebagai kegentingan yang memaksa. Apalagi situasi ekonomi baru saja dihantam oleh pandemi COVID-19.
“Hal ihwal kegentingan yang memaksa sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar hakim MK Daniel membacakan pertimbangan MK.
Perdebatan soal kegentingan yang memaksa itu, menurut Mahkamah, sudah selesai ketika DPR menyetujui penetapan Perppu Ciptaker menjadi undang-undang.
Kemudian, terkait gugatan ketiadaan partisipasi bermakna publik dalam pembentukan UU Ciptaker, MK juga menilainya tak beralasan menurut hukum. Menurut majelis hakim, partisipasi publik yang bermakna tidak berlaku pada undang-undang yang sifatnya menetapkan Perppu. Sebab, Perppu membutuhkan waktu cepat untuk diundangkan karena kegentingan yang memaksa.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar hakim konstitusi Guntur Hamzah membacakan pertimbangan putusan. “Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 6 Tahun 22023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” lanjutnya.
Sidang pembacaan putusan yang digugat 43 elemen ini dihadiri sembilan hakim konstitusi. Empat di antaranya tidak sependapat dan membuat dissenting opinion, yaitu Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams.
Diketahui, hari ini terdapat lima gugatan soal UU Ciptaker, selain nomor perkara 54/PUU-XXI/2023. Di antaranya nomor perkara 41/PUU-XXI/2023 digugat oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto. 46/PUU-XXI/2023 oleh Agus Ruli Ardiansyah, Mansuetus Alsy Hanu dan Dewi Kartika.
Kemudian, Nomor Perkara 50/PUU-XXI/2023 oleh Said Iqbal dan Ferri Nuzarli. Serta nomor perkara 40/PUU-XXI/2023 digugat 43 elemen.
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu, 31 Mei 2023, pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerjayang semula merupakan Perppu Cipta Kerja disahkan dalam masa reses.
Pemohon juga mendalilkan bahwa Perppu Ciptaker ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon menyebut ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja merupakan alasan yang sangat tidak beralasan.
Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.
Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati.
Baca juga: Sidang Uji Materi Perppu Cipta Kerja Hari Ini, Ratusan Buruh Geruduk MK
Baca juga: MK Tolak Gugatan Nikah Beda Agama
HT