Channel9.id – Jakarta. Pengamat sepak bola sekaligus Legal Officer Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI), Mohammad Agus Riza Hufaida, mengatakan, banyak pemain Arema dan Persebaya yang mengalami trauma akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang pada 1 Oktober 2022.
Trauma itu membuat para pemain harus didampingi oleh psikolog. Mereka butuh memulihkan kondisi psikologis mereka, apalagi bagi pemain Arema yang terguncang karena ikut membantu mengurus jenazah parah korban.
“Paginya setelah peristiwa Kanjuruhan, kami (APPI) mendengarkan cerita mereka termasuk dari pemain Arema dan Persebaya yang memang terlibat langsung. Kami mencatat, para pemain Arema yang saat itu ada di ruang ganti benar-benar menerima mayat. Mereka bantu menggotong dan berbaur dengan suporter. Nah itu buat pemain Arema sangat traumatis,” kata Agus Riza saat dihubungi, Minggu 30 Oktober 2022
“Ketika sharing, mereka menangis, engga bisa berkata-kata. Ini pasti kejadiannya traumatis untuk pemain Arema. Kami sudah sampaikan pemain Arema juga perlu didampingi psikolog agar bisa bermain lagi,” lanjutnya.
Riza mengatakan, proses pemulihan para pemain Arema mungkin membutuhkan waktu lama. Namun, pendampingan psikologi tetap harus dilakukan sebelum kompetisi kembali berlangsung.
“Menurut saya itu butuh waktu lama. Tapi itu benar-benar bisa menyembuhkan trauma mereka sebelum kompetisi lagi,” ujar Agus Riza.
Pengalaman pahit juga dialami para pemain Persebaya. Mereka mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari sikap brutal suporter Aremania.
“Persebaya juga. Mereka langsung digiring masuk ruang ganti. Dalam perjalanan ke ruang ganti ada lemparan-lemparan,” kata Agus Riza.
Penyerangan tidak selesai sampai di situ. Setelah keluar dari stadion, Kendaraan taktis (Rantis)yang membawa para pemain dan kru Persebaya diserang massa.
“Mereka juga tertahan 1 sampai 1,5 jam dalam kondisi dikepung massa. Mereka juga dilempari benda -benda seperti botol air, batu paving blok. Mereka merasakan kejadian mencekam yang luar biasa. Sampai akhirnya 1,5 jam baru bisa dievakuasi. Dan evakuasinya itu tidak langsung ke hotel tapi ke Surabaya,” kata Agus Riza.
Menurut Riza, kejadian ini perlu menjadi pelajaran bahwa pentingnya keamanan, keselamatan, dan kenyamanan para pemain.
“Kejadian ini membuka mata publik bahwa pemain juga perlu diperhatikan. Dalam konteks bahwa seharusnya pemain ketika bermain sebelum dan pasca pertandingan harus mendapatkan jaminan keamanan dan kenyamanan. Selama ini yang terjadi tidak begitu,” ujar Agus Riza.
Menurut Agus Riza, prosedur pengamanan pemain selama ini tidak ideal. Apalagi prosedur pengamanan untuk pertandingan bertensi panas.
Karena itu Riza sepakat jika penyelesaian kasus Kanjuruhan harus dilakukan secara menyeluruh. Ia menegaskan, rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) sudah cukup baik dan perlu ditindaklanjuti semua pihak.
“Saya melihat TGIPF sudah tepat. semuanya harus dibenahi, termasuk federasi (PSSI), klub, dan supporter,” ujarnya.
Menurut Agus Riza, Federasi tidak bisa lepas tangan begitu saja. Mereka adalah penyelenggara kompetisi. Begitu juga klub. “Di seluruh dunia, klub bertanggung jawab atas perilaku supporternya,” ujar Agus Riza.
Riza meminta Federasi membantu aparat polisi dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya pengamanan pertandingan sepakbola. Selain itu, polisi bisa melakukan pendekatan ke suppoter untuk terciptanya perilaku tertib di stadion.
Bagaimana cara polisi mendekati supporter? Yang paling efektif, ujar Agus Riza, melalui para pemain. “Hanya pemain yang didengar oleh supporter,” katanya.
Tapi, itu proses yang harus berjalan terus-menerus dalam jangka menengah-panjang. “Sekarang, jalani saja dulu rekomendasi TGIPF. semua harus bertanggung jawab,” ujarnya menandaskan.
HY