Opini

Transformasi Ideologi Pasca Kongres Bali 2025 Penentu Masa Depan PDIP

Oleh: Dr. Syaifuddin, M.Si., CICS.

Channel9.id – Jakarta. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah memainkan peran krusial dalam lanskap politik Indonesia sejak reformasi 1998. Namun, tantangan era baru ini menuntut partai untuk menyesuaikan kualitas ideologinya terhadap dinamika politik, ekonomi, dan sosial global yang berubah cepat.

Kongres PDIP yang tengah berlangsung hari ini di Bali bukan sekadar momentum regenerasi kepemimpinan, melainkan titik balik yang sangat menentukan bagi kelangsungan ideologi nasionalisme kerakyatan yang menjadi fondasi dan turbolensi platform PDIP.

Transformasi ideologi menjadi keharusan ketika partai tidak hanya berhadapan dengan persoalan internal seperti deideologisasi kader, tetapi juga krisis kepercayaan publik terhadap institusi politik. Antonio Gramsci (1971), mengingatkan bahwa krisis terjadi “ketika yang lama belum mati dan yang baru belum lahir” – di sinilah fase transisional PDIP sekarang. Jika Kongres Bali gagal menjawab tantangan zaman yang membawa perubahan sedemikian cepat, maka PDIP bukan hanya akan kehilangan relevansi, tetapi juga akan kehilangan arah perjuangannya di masa depan.

Digitalisasi Global: Antara Peluang dan Ancaman

Digitalisasi global telah menciptakan peluang baru dalam komunikasi politik, tetapi sekaligus menggerus nilai-nilai ideologis partai. PDIP, yang sejak lama berakar pada massa tradisional dan mobilisasi akar rumput, kini menghadapi disrupsi narasi akibat dominasi ruang digital. Media sosial menjadi medan tempur kontestasi opini publik yang cair dan mudah dimanipulasi di tengah disorientasi sosial.

Menurut Manuel Castells (2009), kekuasaan di era informasi ditentukan oleh kemampuan aktor politik mengendalikan jaringan makna. Dalam konteks ini, ideologi tidak bisa lagi semata-mata diturunkan dari doktrin internal, tetapi harus dikomunikasikan ulang secara kreatif di ruang digital yang sangat kompetitif. Tanpa strategi digitalisasi ideologi yang terstruktur, PDIP berisiko kehilangan generasi muda sebagai basis dukungan elektoral. Data dari Katadata (2024), menunjukkan bahwa 72,3% pemilih muda (Gen Z dan milenial) mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi politik utama. Ini menegaskan bahwa transformasi ideologi tidak bisa dipisahkan dari transformasi komunikasi politik partai dan atau kader.

Supremasi Hukum yang Semakin Lemah

Pasca-reformasi, salah satu tantangan utama demokrasi Indonesia adalah penegakan supremasi hukum yang kerap tunduk pada political interest (kepentingan politik) tertentu. Kelemahan lembaga penegak hukum, serta korupsi yang sedang berpendemi dan merajalela, membuat ideologi partai menjadi kehilangan pijakan moral. PDIP sebagai partai penguasa beberapa periode belakangan ini juga tidak luput dari sorotan terkait intervensi hukum yang politis.

Dalam pandangan Habermas (Mazhab Frankfurt) (1996), legitimasi suatu sistem politik bertumpu pada konsensus rasional yang dicapai melalui diskursus yang bebas dan adil. Dari situasi seperti dimaksud memungkinkan proses komunikasi deliberatif dalam public spare yang sehat di tengah masyarakat demokratis. Kemudian ketika hukum kehilangan independensinya, diskursus ideologis pun berubah menjadi formalitas belaka, bahkan public spare didominasi oleh tindakan koruptif oleh para elite negara. Jika PDIP tidak mengambil sikap tegas terhadap penegakan hukum, maka citra ideologi partai akan tereduksi menjadi alat kekuasaan semata.

Kasus-kasus besar seperti korupsi di lingkungan kader kepala daerah dan DPR dari PDIP menjadi indikator bahwa pembenahan internal partai sangat mendesak.

Survei LSI 2024 menunjukkan penurunan kepercayaan publik terhadap partai politik sebesar 12% dibanding tahun sebelumnya, di mana isu integritas menjadi sorotan utama.

Ancaman Kapitalisme Global

Globalisasi ekonomi yang membawa serta kapitalisme neoliberal telah berdampak besar pada tatanan sosial dan budaya bangsa. Privatisasi dan eksploitasi sumber daya alam secara masif, ekspansi korporasi asing, dan liberalisasi perdagangan kian kontras bertentangan dengan semangat Trisakti yang diusung PDIP – berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam budaya, dan berdaulat dalam politik.

Richard Peet (2003), mengkritik kapitalisme global sebagai sistem yang tidak hanya eksploitatif secara ekonomi, tetapi juga destruktif terhadap identitas lokal dan solidaritas sosial. Tantangan bagi PDIP adalah bagaimana tetap menjadi partai nasionalis kerakyatan di tengah tekanan pasar bebas yang menstandarisasi nilai dan norma global. Program-program pro-rakyat seperti reforma agraria, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan perlindungan tenaga kerja lokal harus kembali menjadi agenda prioritas ideologis. Jika PDIP gagal melakukan penyesuaian ideologis terhadap realitas seperti ini, maka partai ini akan kehilangan pijakan di masyarakat kelas bawah yang selama ini menjadi basis ideologi dan kantong massanya.

Akselerasi Konsolidasi Ideologi Partai

Kegagalan PDIP dalam menyikapi dinamika politik era Jokowi menjadi pelajaran penting. Banyak analis menilai bahwa mekanisme rekrutmen kader dalam tubuh PDIP selama dua dekade terakhir terlalu pragmatis, sehingga melahirkan kader-kader yang lemah dalam komitmen ideologis. Salah satu contohnya adalah relasi ambigu PDIP dengan Presiden Joko Widodo yang pada akhirnya berujung pada fragmentasi internal.

Menurut Michels dalam Iron Law of Oligarchy (1911), partai politik cenderung berubah dari organisasi ideologis menjadi alat kekuasaan elit jika tidak diimbangi oleh mekanisme konsolidasi ideologis yang kuat. Oleh karena itu, PDIP harus menjadikan transformasi ideologi sebagai program strategis yang terukur dan sustainable (berkelanjutan). Ini mencakup penataan ulang pendekatan pendidikan politik, rekrutmen kader berbasis merit dan integritas, serta internalisasi nilai-nilai dasar partai sejak dini. Tanpa langkah radikal ini, regenerasi partai pasca Kongres Bali 2025 hanya akan menjadi perubahan kosmetik tanpa substansi ideologis yang jelas.

Belajar dari Mekanisme Rekrutmen Kasus Jokowi

Kisah perjalanan politik Joko Widodo – dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden Republik Indonesia – menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah hidup PDIP. Namun, pengalaman ini juga menunjukkan lemahnya mekanisme penyaringan kader dalam tubuh partai. Jokowi memang diusung dan didukung penuh oleh PDIP. Tetapi pada periode kedua kekuasaannya, relasi politik antara Presiden dan DPP PDIP mengalami distorsi, bahkan dalam banyak kasus tampak antagonistik. Setelah Jokowi menjabat, relasi politik antara Presiden dan struktur resmi PDIP justru mengalami banyak ketegangan dan divergensi. Salah satu contohnya adalah Jokowi membangun koalisi kekuasaan ultra-pragmatis yang melibatkan partai-partai lama yang dulunya berseberangan secara ideologis dengan PDIP. Ia berhasil membentuk koalisi besar lintas partai di luar kendali PDIP menjelang Pilpres 2024 serta pengangkatan sejumlah tokoh non-partai yang tidak sejalan dengan garis ideologi PDIP.

Fenomena ini menunjukkan bahwa keberhasilan elektoral tidak otomatis mencerminkan keberhasilan ideologis. Seperti yang dikatakan oleh Hans Kelsen (1945), keberlangsungan sebuah sistem politik ditentukan oleh the alignment between constitutional norms and political practices.

Dalam kasus Jokowi, terdapat jurang antara nilai-nilai ideologis PDIP dan arah kebijakan pemerintahan yang dijalankannya. Kegagalan ini bersumber dari mekanisme rekrutmen kader yang lebih mengutamakan popularitas dan elektabilitas ketimbang kesetiaan ideologis dan pemahaman historis terhadap cita-cita partai.

Fenomena tersebut menunjukkan adanya kegagalan partai dalam memastikan bahwa kader yang diusungnya memiliki kesetiaan ideologis yang sejalan dan konsisten dengan nilai-nilai dasar partai. Dalam banyak hal, Jokowi sering kali mengambil langkah-langkah politik yang dianggap keluar dari garis ideologi kerakyatan yang diusung PDIP, seperti membangun koalisi kekuasaan ultra-pragmatis yang melibatkan partai-partai lama yang dulunya berseberangan secara ideologis. Bahkan, proses pengambilan keputusan strategis banyak dilakukan di luar kanal formal partai.

Jika pola rekrutmen seperti ini terus dipertahankan, besar kemungkinan PDIP akan terus melahirkan pemimpin yang lepas dari kontrol ideologis partai. Ini bukan hanya ancaman internal, tetapi juga ancaman terhadap keutuhan orientasi politik jangka panjang partai, dan pada akhirnya akan menimbukan daya merusak terhadap character building generasi bangsa di masa depan.

Pentingnya Transformasi Ideologi

Transformasi ideologi dalam tubuh partai politik tidak bisa dilakukan secara parsial dan sesaat. Ia harus menjadi bagian dari desain besar pembangunan kelembagaan partai yang sistematis, holistik, dan sustainable. PDIP tidak cukup hanya menggelar sekolah partai sesekali atau menerbitkan doktrin formal; yang dibutuhkan adalah integrasi nilai-nilai ideologi partai dalam seluruh struktur dan proses politik internal – dari kaderisasi, pendidikan politik, seleksi calon legislatif, hingga pengambilan keputusan strategis.

Menurut Klaus von Beyme (1985), partai politik modern harus memadukan tiga fungsi utama: artikulasi kepentingan, pendidikan politik, dan seleksi elite. Transformasi ideologi PDIP masa depan harus menyasar ketiganya. Tidak boleh lagi ada kesenjangan antara nilai-nilai Marhaenisme dan kebijakan konkret yang diambil oleh para pejabat publik yang berasal dari PDIP.

Pendidikan ideologis bukan hanya untuk menghafal sila Trisakti atau platform perjuangan partai, tetapi juga untuk melatih sensitivitas bathiniah kader yang mengakar pada nilai-nilai ideologis terhadap semua problem sosial di masyarakat seperti ketimpangan sosial, marginalisasi, ketidakadilan struktural, dan segudang problem sosial lainnya.

Oleh karena itu, PDIP harus menempatkan transformasi ideologi sebagai core agenda yang dapat berdampak langsung dan komprehensif pada proses pembangunan partai ke depan. Hal ini bisa dimulai misalnya dengan jalan pembentukan Badan Ideologi dan Kaderisasi yang bekerja secara independen dan lintas struktural dalam partai. Jika langkah ini dilakukan dengan serius, diyakini PDIP akan mampu memperkuat fondasi ideologisnya dan tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan zaman yang terus berubah secara cepat.

Kesimpulan

Transformasi ideologi pasca Kongres Bali 2025 merupakan momen kritis bagi PDIP untuk merevitalisasi jati dirinya sebagai partai nasionalis kerakyatan. Di tengah tantangan digitalisasi warga, lemahnya supremasi hukum, dan arus kapitalisme global yang semakin menguat, PDIP harus memperkuat konsolidasi internal dan melakukan reorientasi ideologis secara berkelanjutan.

Masa depan PDIP tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memimpin, tetapi juga oleh sejauh mana partai mampu merumuskan ulang ideologinya agar tetap relevan dan berpihak kepada rakyat dan masa depan negara.

Penulis adalah dosen dan analis komunikasi politik dan kebijakan publik, Pascasarjana Universitas Mercu Buana Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

64  +    =  66