Transisi Energi Harus Berpihak pada Petani
Opini

Transisi Energi Harus Berpihak pada Petani

Oleh: Rudi Andries*

Channel9.id-Jakarta. Ketika pemerintah kembali menggulirkan kebijakan biofuel berbasis etanol melalui program E5–E10, publik mungkin mengira inilah momentum baru bagi kemandirian energi nasional. Namun, di balik jargon “transisi hijau” dan “kedaulatan energi”, tersimpan satu pertanyaan mendasar: untuk siapa sesungguhnya kebijakan ini dijalankan?

Sejak 2008, gagasan bioetanol sudah menjadi bagian dari agenda besar diversifikasi energi. Tetapi hampir dua dekade berlalu, implementasinya tetap tersendat. Program yang sejatinya bisa membuka ruang ekonomi bagi petani justru terjebak dalam lingkaran birokrasi, kepentingan sektoral, dan koordinasi yang lemah antar kementerian dan BUMN.

Fakta di lapangan berbicara lain. Hingga kini, kapasitas produksi fuel grade ethanol (99,8 persen) nasional masih berkisar 40 ribu kiloliter per tahun—jauh dari kebutuhan yang diperlukan untuk mendukung target E5 di kota-kota besar. Pertamina dan Kementerian ESDM memang telah memulai uji coba terbatas, tetapi tanpa dukungan rantai pasok dan infrastruktur produksi yang kokoh, program ini hanya menjadi etalase kebijakan, bukan gerakan energi nasional yang berakar di tanah sendiri.

Di atas kertas, Indonesia memiliki semua bahan dasar untuk menjadi raksasa bioetanol. Tebu, singkong, dan aren tumbuh di mana-mana, dari pesisir hingga dataran tinggi. Tetapi ironi muncul ketika bahan bakar yang mengusung semangat “energi rakyat” justru berpotensi dikendalikan oleh korporasi besar.

Kelemahan koordinasi antar kementerian dan BUMN membuat kebijakan ini kehilangan ruh sosialnya. Pertamina berjalan di bawah holding Danantara tanpa keterpaduan dengan BUMN agro seperti Rajawali II, Energi Agro Nusantara (Enero), dan Sinergi Gula Nusantara. Swasta pun lebih banyak bergerak sendiri-sendiri. Akibatnya, muncul kesenjangan besar antara visi dan implementasi.

Tanpa tata kelola yang adil, program bioetanol bisa menjadi ladang baru bagi ketimpangan ekonomi. Petani kecil, yang mestinya menjadi tulang punggung rantai pasok, justru tersingkir oleh mekanisme pasar yang tidak berpihak. Nilai tambah dari komoditas lokal akhirnya lebih banyak dinikmati oleh korporasi dan importir bahan bakar campuran.

Padahal, di balik kebijakan energi terdapat peluang sosial besar: menciptakan lapangan kerja, memperkuat ekonomi desa, dan menumbuhkan koperasi lokal. Inilah yang selama ini terlewat dalam kerangka kebijakan energi nasional—yakni dimensi kesejahteraan sosial.

Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) memandang perlu perubahan paradigma dalam menjalankan transisi energi. Bioetanol tidak boleh hanya dilihat sebagai proyek teknokratik yang mengejar angka emisi atau target bauran energi. Ia harus dilihat sebagai kebijakan sosial yang menyentuh kehidupan nyata masyarakat.

Karena itu, DNIKS merekomendasikan pembentukan Satgas Nasional Bioetanol lintas kementerian dan BUMN, yang bertugas memastikan koordinasi kebijakan dari hulu ke hilir. Satgas ini harus menjadi ruang dialog antarsektor—antara energi, pertanian, keuangan, dan kesejahteraan sosial—agar program berjalan dalam satu visi.

Selain itu, perlu reformulasi kebijakan harga dan cukai. Selama etanol domestik dikenai beban fiskal yang tinggi, sementara impor mendapat insentif, industri lokal tidak akan tumbuh. Pemerintah perlu menciptakan struktur harga yang adil dan memberikan kepastian pasar bagi produsen dalam negeri.

Tak kalah penting adalah transparansi. Rantai pasok bioetanol harus diaudit secara terbuka—mulai dari sumber bahan baku hingga proses distribusi BBM campuran. Tanpa pengawasan publik, potensi konflik kepentingan dan praktik rente akan sulit dihindari.

DNIKS juga menilai pentingnya keterlibatan organisasi petani seperti HKTI untuk memantau aspek sosial dan kesejahteraan petani dalam program ini. Bioetanol harus menjadi bagian dari social contract baru antara negara dan rakyatnya dalam transisi energi: energi yang tidak hanya bersih, tetapi juga adil.

Transisi energi yang sejati bukan sekadar mengganti minyak fosil dengan energi terbarukan, melainkan mengubah cara pandang terhadap energi itu sendiri—dari komoditas menjadi hak sosial. Energi bukan hanya urusan teknis, tetapi juga urusan moral.

Bila kebijakan bioetanol dijalankan tanpa keberpihakan, maka “energi hijau” hanya akan menjadi kosmetika lingkungan. Produksi etanol mungkin meningkat, emisi mungkin berkurang, tetapi jurang sosial bisa melebar. Petani tetap miskin, desa tetap tertinggal, dan kemandirian energi hanya menjadi mitos.

Namun, bila dijalankan dengan kemitraan sejati, bioetanol bisa menjadi motor perubahan. Setiap liter etanol yang diproduksi di pabrik lokal bisa berarti tambahan penghasilan bagi petani singkong di Wonogiri, penyerapan tenaga kerja di pabrik Rajawali II, dan penurunan impor bahan bakar di pelabuhan Tanjung Priok. Inilah yang dimaksud dengan transisi energi yang berkeadilan—energi yang tidak hanya efisien, tetapi juga menyejahterakan.

DNIKS siap menjadi mitra strategis pemerintah untuk memastikan transisi energi ini berpijak pada prinsip keadilan sosial. Karena kedaulatan energi sejati bukan hanya soal sumber daya, tetapi tentang siapa yang berdaulat atasnya. Bioetanol harus menjadi energi rakyat, bukan hanya proyek elite.

Pemerintah perlu mengambil langkah tegas dan menyeluruh: membangun industri berbasis kemitraan petani, menata ulang kebijakan harga, dan menghapus regulasi yang melemahkan produksi lokal. Hanya dengan itu, energi hijau bisa benar-benar menjadi energi merah putih—lahir dari bumi sendiri, diolah oleh rakyat sendiri, dan digunakan untuk kemakmuran bersama.

Transisi energi bukan semata perubahan teknologi, tetapi perubahan arah sejarah. Indonesia bisa memilih jalan yang cepat namun timpang, atau jalan yang adil meski menantang. DNIKS percaya, arah yang benar adalah yang berpihak pada kesejahteraan sosial. Sebab, tanpa keadilan, energi sebesar apa pun tak akan mampu menggerakkan bangsa.

Baca juga: Negara ASEAN Kaji Pemanfaatan Bahan Bakar Biofuel

*Wakil Ketua Umum DNIKS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8  +  2  =