Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. Kian banyak barisan negara yang bersiap menjadi negara terasing di dunia. Negara pertapa. Inggris, kampiun negara yang paling banyak punya koloni (jajahan, dalam bahasa awam), bersiap keluar dari Uni Eropa. Tentu dengan konsekuensi yang tak sedikit. Berbeda dengan negara-negara Uni Eropa yang masih akomodatif terhadap kaum migran, India malah meniru China dan Myanmar dalam menghadapi kaum muslim.
Jepang pernah merantai negaranya selama lebih dari dua abad, yaitu menerapkan politik pintu tertutup. Dari 1633 – 1868, warga asing tidak boleh masuk ke Jepang. Warga Jepang pun dilarang bepergian ke negara lain. Mulai banyak negara meniru cara Jepang yang dibuka secara paksa dengan tembakan meriam oleh Komodor Mathew Perry pada tahun 1853 itu. Hampir seabad setelah kedatangan Perry, Jepang memicu Perang Pasifik dengan mengirim balatentara ke negara-negara lain.
Seperempat abad lagi, yakni tahun 2045, Bank Dunia memperkirakan terdapat lima negara yang paling sejahtera di muka bumi. Indonesia termasuk di dalamnya, bersama China, India, Amerika Serikat dan Brazil. Tiga negara di benua Asia dan dua negara di benua Amerika. Eropa, Afrika dan Australia tidak memiliki wakil dalam kelompok lima besar. Walau, proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk di negara Afrika, seperti Nigeria, juga membesar dan bakal mampu mengalahkan jumlah penduduk Indonesia.
Hanya saja, seiring dengan proyeksi yang prestisius itu, terjadi gejolak yang serius di dalam Panca Negara itu. Perang dagang berlangsung sengit antara China versus Amerika Serikat. Pengaruhnya sampai ke seluruh muka bumi. Gejolak internal juga terjadi. Bukan saja menyangkut nasib Hongkong (China), tembok perbatasan dengan Mexico (Amerika Serikat), namun juga belakangan pengesahan Undang-Undang Kewarganegaraan di India yang berdampak kepada minoritas Muslim. Kemenangan besar Partai Baratiya Janata (Hindu puritan) membawa konsekuensi terhadap regulasi. Supremasi kewarganegaraan ditegakkan berbasis agama yang memiliki sekitar tiga juta dewa itu.
Donald Trump? Ia menjadi presiden Amerika Serikat ketiga setelah Andrew Johnson dan Bill Clinton yang dimakzulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat. Walau Trump bakal mengalami nasib yang sama dengan Clinton, yakni ditolak oleh Senat (Dewan Perwakilan Daerah alias Majelis Tinggi Amerika Serikat), tetap saja cacat historis sudah tercatat. Clinton diselidiki dengan alat bukti pemeriksaan berkontainer, terkait skandal seks dengan Monica Lewinsky. Trump? Menggunakan kekuasaan guna menekan Presiden Ukraina dalam mendapatkan informasi menyangkut bisnis putra Joe Biden, bakal calon Presiden Partai Demokrat.
Berbeda dengan Trump yang menghadapi rival kuat Partai Demokrat, Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan yang diajukan Perdana Menteri Narendra Modi sudah diratifikasi Presiden Ram Nath Kovind. Ketika masalah pelanggaran hak asasi manusia mencuat atas perlakuan kejam rezim Beijing atas muslim Uyghur makin membahana, gelombang aksi penolakan atas UU Kewarganegaraan makin meningkat di India. Massa aksi bukan saja berasal dari kalangan muslim, tapi juga kalangan aktivis dan kelompok terpelajar Hindu. Dengan pembatasan – bahkan peniadaan – pemberian hak kewarganegaraan baru terhadap kaum (migran) muslim, India seakan sedang menghapus sejarahnya yang panjang.
Kita mencatat bahwa India pernah memiliki sejumlah presiden dari kalangan muslim, bukan hanya Hindu atau Sikh. Sebut saja Zakir Huzain (13 Mei 1967 – 3 Mei 1969), Mohammad Hidayatullah (20 Juli 1969 – 24 Agustus 1969), Fakhruddin Ali Ahmed (24 Agustus 1974 – 11 Februari 1977), hingga Abdul Kalam (25 Juli 2002 – 25 Juli 2007). Apabila Pakistan membalas dengan undang-undang serupa, yakni memberangus minoritas Hindu, pun negara-negara mayoritas muslim di Asia Tengah, betapa pertikaian agama atau antar agama makin membara.
China, India dan Amerika Serikat dikenal sebagai negara yang memiliki hulu ledak nuklir. Indonesia? Sama sekali tak memiliki alutsista sehebat itu. Teknologi perang Indonesia tergantung kepada negara-negara asal impor senjata canggih itu. Diluar persoalan Timor Leste, nasionalisme Indonesia sama sekali tidak bersifat ofensif. Walau tanpa senjata canggih itu, dari sisi historis dan geostrategis, Indonesia sulit ditaklukkan negara lain.
Tentu, kita tidak bicara era kolonialisme pelaut-pelaut (sewaan) Eropa, seperti Portugis, Inggris, Perancis, Spanyol hingga Belanda. China, India, pun Amerika Serikat dan Brazil, juga menjadi koloni dari pelaut-pelaut yang di usia tua mereka adalah kaum borjuis yang berjuang menciptakan demokrasi di negara asal mereka. Parameter yang dipakai adalah pascaperang dunia kedua. Lomba persenjataan memang terjadi, begitu juga perebutan ruang untuk dihuni satelit di angkasa. Lagi-lagi, Indonesia belum berada dalam skala persaingan hebat itu. Indonesia tak punya rudal nuklir, Indonesia juga tak punya lokasi peluncuran satelit (baik atas nama ilmu, spionase, hingga bisa digunakan sebagai senjata) di lokasi tanah dan airnya sendiri.
Trump sama sekali tidak dimakzulkan atas watak ultranasionalisnya, dengan cara membangun tembok di perbatasan. Trump tak dimaki atas bully-annya terhadap Greta Thunberg, Person of the Year 2019 versi majalah Time.
Pemakzulan atas Trump lebih tampak sebagai langkah ‘kuda Troya’ yang dilakukan Partai Demokrat guna menghadapi Pemilihan Presiden tahun depan. Yang dibela oleh DPR Amerika Serikat yang dikuasai Partai Demokrat adalah sesama marwah partai. Joe Biden apalagi menjadi kandidat yang paling diperhitungkan lolos dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat. Selain senior, Joe Biden adalah simbol yang paling pas dalam menghadapi Trump. Ketika pemimpin-pemimpin formal negara China, India, hingga Malaysia dan Philipina dihuni oleh sosok-sosok berkepala enam atau lebih, Biden versus Trump adalah skenario yang paling bisa dikemas menjadi heroik.
Alih generasi? Biar itu urusan Indonesia saja yang makin sibuk dengan program millenial ini hingga millenial itu. Dunia pun belum heboh-heboh amat dengan kehadiran sejumlah Generasi Z dalam lingkar dalam Istana Negara.
Selama ini, dalam fora internasional, Jokowi jarang hadir. Sosok yang paling sering diutus adalah Jusuf Kalla, dalam periode lalu. Pun kini, Ma’ruf Amin turut diberi tugas pertama ke luar negeri, yakni Jepang. Buat apa Jokowi sering hadir dalam acara-acara kenegaraan itu, jika harus ‘ewuh pakewuh’ terhadap sosok-sosok senior yang sering bertengkar: Trump, Erdogan, Mahathir, hingga Xi Jinping. Sungguh tak elok juga kakek-kakek itu jelalatan memandang Bu Iriana dalam jamuan makan malam.
Di luar Ma’ruf? Tentu ada Prabowo Subianto. Sosok jenius yang memiliki lingkungan pergaulan internasional yang luas. Tak hanya akrab dengan bule-bule jangkung berhidung mancung, tapi juga dengan raja-raja dari padang pasir yang kaya minyak. Ketika Jokowi sibuk dengan kunjungan ke daerah-daerah guna percepatan pembangunan, agenda Prabowo dipenuhi dengan kunjungan pejabat-pejabat hingga diplomat asing. Bukan saja menerima tamu di kantornya, pun dalam konferensi atau pertemuan antar negara yang dihelat di dalam dan luar negeri.
Chinapun sudah didatangi Prabowo, dengan sambutan megah dan berkelas. Sosok yang selama ini dianggap mewakili kaum nasionalis garis keras – termasuk kedekatan dengan massa aksi kaum Muslim – dan kritis terhadap kekuatan asing, kini mulai menginjak karpet merah negara-negara kuat dengan defile pasukan dan tembakan salvo ke udara, sebagaimana sambutan terhadap tamu-tamu agung. Walaupun termasuk hard liner dalam ide-ide kebangsaan, tentu Prabowo tidak bisa disamakan dengan Vladimir Zhirinovsky, sosok ultra nasionalis Russia yang juga memimpin Partai Liberal Demokrat Russia yang dikagumi kawan saya Fadli Zon.
Waktu yang tersisa tinggal 25 tahun lagi. Setelah Jokowi? Bisa saja muncul pemimpin-pemimpin yang berusia kian muda. Dari Generasi X. Kuat dalam gerakan dan studi anti negara totaliter selama era 1990an. Ada banyak nama. Rata-rata kini memimpin provinsi-provinsi penting. Juga jabatan lain, baik sipil atau militer. Dengan disain menghadapkan singa-singa podium yang membawa isu-isu nasionalis ke pelbagai fora internasional, sebut saja Ma’ruf ke negara-negara Asia (khususnya Timur Tengah), Afrika dan Australia, lalu Prabowo ke negara-negara Eropa dan Amerika (terkhusus ke Amerika Latin yang pernah dikendalikan junta militer), Indonesia secara tidak langsung sedang meluaskan garis (maya) demarkasinya. Upaya memperbanyak jumlah mahasiswa dengan beasiswa Indonesia (Indonesian Aid) sendiri yang belajar di negara-negara lain tentu menjadi “pendengung” intelegensianya.
Apakah disain atau skema itu yang sedang berjalan? Atau Indonesia tetap mendayung di antara dua karang, tak hendak berbangga diri, negara soft power dan soft nationalism. Negara yang bebas, tapi aktif. Negara yang aktif, tapi bebas.
Mumpung Trump (yang hendak dimakzulkan), Modi (yang hadapi massa aksi, pun Xinping (yang diserbu demonstran berbulan-bulan di Hongkong) sedang punya masalah di negara masing-masing, mari kita menjadi pemadam kebakaran akibat residu-residu politik jangka pendek di nusantara ini. Tentu dengan mentalitas utama: kritis, bebas dan aktif.
*Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara