Ekbis Opini

Tunda Impor Beras, Bangkitkan Sektor Pertanian

Oleh: Gede Sandra*

Bagian I

Channel9.id-Jakarta. Ada pejabat yang mengatakan bahwa impor beras adalah strategi untuk melawan “mafia”. Ini jelas mengada-ada. Sejak masa pemerintahan Bung Karno hingga saat ini, lisensi atau kuota impor pangan selalu menjadi bancakan dari para politisi pemburu rente bersama kroni pengusaha keturunan Tionghoa (Baba).

Pada era pemerintahan Gus Fur, bahkan ada pejabat di kabine dipecat karena membocorkan informasi dari dalam kabinet tentang rencana impor beras kepada pengusaha yang tak lain adalah kerabat si pejabat. Baru pertama kali dalam sejarah Indonesia ada pejabat dipecat dari kabinet karena impor beras.

Sebenarnya impor beras bagi negara yang memang belum mengalami swasembada pangan adalah normal saja. Hanya memang tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Yang terpenting adalah impor beras jangan dilakukan menjelang panen. Boleh dilakukan impor beras tapi harus setelah masa panen Maret-April). Kalau bisa sampai seluruh produksi petani Indonesia terserap, dan ternyata masih kurang, barulah kita lakukan impor beras. Perhatikan gambah di bawah tentang produksi padi tahun 2019 dan 2020.

Dapat dilihat bahwa grafik produksi padi di Ineonesia selama dua tahun terakhir membentuk suatu pola, mirip gunung dengan dua puncak (puncak pertama lebih tinggi dari puncak kedua). Produksi padi tertinggi selalu terjadi pada bulan Maret-April (puncak pertama) kemudian menurun sedikit pada Mei-Juni, naik sedikit pada Juli-Agustus (puncak kedua), melandai turun di September-Oktober, sampai menurun kembali di November-Desember ke level produksi awal tahun.

Berdasarkan pola tersebut, tergambarkan, bahwa waktu yang tepat untuk melakukan impor beras bukan pada saat di kedua puncak (Maret-April dan Juli-Agustus). Karena bila impor dilakukan pada saat puncak, yang akan terjadi adalah kejatuhan harga gabah petani. Akan lebih baik itu rencana impor ditunda hingga bulan Mei atau Juni, periode itu antar dua puncak. Atau yang lebih ideal lagi, impor ditunda hingga bulan November atau Desember.

Tidak cukup mengatakan bahwa nanti beras yang diimpor tidak akan dilepas ke pasar. Karena cukup berlandaskan berita saja, signal pemerintah sudah sampai diterima ke kalangan pedagang di penggilingan-penggilingan gabah mereka. Akhirnya yang buntung adalah petani, keuntungan mereka tergerus justru tepat pada saat panen raya.

Logika sederhana saja, bila terdapat sebuah kebijakan yang merugikan kalangan petani, artinya kebijakan tersebut adalah kebijakan yang anti rakyat banyak. Tapi ternyata, bagi kalangan pejabat dan pengusaha pemburu rente, mereka tidak peduli dengan nasib petani. Nasib petani hanya bahan kampanye setiap 5 tahun sekali saja, tidak ada urusannya dengan kebijakan pemerintah sehari-hari.

Mungkin bagi mereka, para politisi pengusaha pemburu rente, biar saja petani merugi. Kan masih ada pekerjaan menjadi ojek online, kalau gak sanggup beli motor, dan akhirnya jadi pengangguran juga tenang saja, kan masih ada Kartu Pra Kerja! Semoga kesimpulan ini tidak benar.

Nasib jutaan petani dikorbankan, masa depan Bangsa, ketahanan pangan dikorbankan. Semua ini demi rente. Tak pernah pikirkan petani yang nasibnya dari hari ke hari semakin jauh dari sejahtera. Ada pemimpin yang janjikan berantas kartel impor pangan, berjanji muliakan petani, ternyata janji itu cuma prank. Kartel impor pangan tetap awet hingga sekarang, bahkan semakin kokoh.

Bersyukurlah negara-negara tetangga di Asia, seperti Thailand, China, dan Jepang, yang pemimpinnya tidak lupa memuliakan para petani di negaranya. Sehingga para petani di sana makmur, bermartabat, punya tabungan banyak sehingga sanggup liburan ke luar negeri. Petani di sini, boro-boro mau nabung untuk bisa liburan ke luar negeri, tidak rugi pasca panen saja sudah sangat bersyukur. Akhirnya karena masa depan kehidupan petani yang suram, sangat sedikit pemuda yang mau masuk profesi ini.

Seburuk-buruknya ingatan kita tentang otoriternya rezim Orde Baru, tapi harus diakui hanya pada masa inilah kehidupan petani Indonesia paling sejahtera. Harga-harga bahan pangan murah. Nasib petani diperhatikan. Pupuk bersubsidi tersedia cukup. Pabrik-pabrik pupuk dibangun. Produksi padi pun melimpah, kelebihannya bisa diekspor ke negara-negara sahabat yang membutuhkan. Indonesia pun diakui FAO sebagai negara yang telah sukses berswasembada pangan.

Sebenarnya apakah rahasia dari kesuksesan Orde Baru di sektor pertanian? Mengapa Suharto yang tidak pernah bersekolah tinggi mampu secemerlang itu?

Menjaga Rasio Harga Gabah/Harga Pupuk = 3:2

Selama Pemerintahan Orde Baru, rasio harga gabah/harga pupuk dijaga di atas 3:2 demi menjamin keuntungan petani. Rasio 3:2 ini adalah “rule of thumb” yang dianjurkan oleh seorang profesor dari Harvard yang juga penasehat Suharto untuk urusan pertanian. Sebenarnya tujuannya dari rasio ini sederhana, yaitu untuk menjamin petani masih mendapatkan keuntungan yang layak setiap panen. Penerapan rasio 3:2 sangat berkontribusi meningkatkan kesejahteraan petani pada masa Orde Baru sehingga saat itu Indonesia sempat mengalami swasembada beras.

Untuk menjaga rasio agar tetap di atas 3:2 tentu harus menjaga salah satu dari komponen harga gabah atau harga pupuk. Apakah dengan menaikkan harga pembelian gabah, atau apakah dengan menurunkan harga pupuk. Kita akan lihat yang mana yang paling memungkinkan.

HARGA GABAH

Harga gabah (GKG) sepanjang tahun 2018, 2019, dan 2020 adalah seperti grafik di bawah ini. Dapat dilihat bahwa harga gabah pada tahun 2018 dan 2019 memiliki pergerakan yang mirip. Menyambut musim panen Maret-April, harga gabah turun hingga level Rp5.000-5.200/kg, kemudian akan naik melandai hingga mencapai Rp5.000 di ahir tahun. Sementara, pada tahun 2020 pola pergerakan harga gabah berbeda. Pada Maret-April harga tidak terlalu jauh, melandai di Rp 5.700/kg, lalu menurun hingga Rp5.300/kg di akhir tahun.

Sementara, pada awal tahun 2021 diketahui harga gabah (GKG) pada bulan Januari adalah Rp5.317/kg dan bulan Februari sebesar Rp5.319/kg. Berbeda dari pergerakan harga tahun 2018, 2019, dan 2020 yang harga gabah di awal tahunnya berada di kisaran Rp5.800-6.000/kg. Artinya tahun 2021 dimulai dari harga gabah yang rendah, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Pada bulan Maret 2021, harga gabah di beberapa daerah bahkan ada yang jatuh hingga di bawah Rp5.000/kg. Artinya harga gabah di level penggilingan sudah terlalu rendah.

Dengan ramainya kabar rencana impor beras 1 juta ton oleh Pemerintah, yang justru dilakukan menjelang panen raya, dapat dipastikan harga gabah akan sulit naik ke level yang menguntungkan petani, kecuali pemerintah membatalkan rencana impor beras 1 juta ton, mungkin harga dapat naik. Sehingga petani Indonesia pun dapat tersenyum.

Namun apakah Pemerintah rela membatalkan renana impor beras yang sangat menggiurkan ini? Ya, menggiurkan. Bagaimana tidak menggiurkan, margin harga beras impor dan harga beras di pasaran Indonesia masih sangat tingi. Di bawah ini adalah grafik perbandingan harga beras dalam negeri dengan harga beras internasional tahun 2010 hingga 2020.

Dapat dilihat, pada 2020 selisih harga beras dalam negeri dan beras internasional (dengan kualitas yang sama) hampir mencapai Rp7.000/kg. artinya bila kelak jadi dilakukan impor sebanyak 1 juta ton, maka terdapat margin keuntungan kotor yang mencapai Rp7 triliun! Sebuah nilai keuntungan yang sangat besar. Ada kawan yang berseloroh, nilai Rp7 triliun tersebut sudah lebih dari cukup untuk modal politik menjadi calon presiden dalam sistem demokrasi berbiaya tinggi seperti di Indonesia!

Jadi, apabila yang memimpin rencana impor beras 1 juta ton adalah seorang Menko Perekonomian yang sekaligus Ketua Umum Partai Politik, yang dirinya sudah mulai digadang-gadang menjadi calon presiden tahun 2024, saya ragu kebijakan ini akan batal. Bila kecil harapan harga gabah bisa naik, kita bisa bergeser ke harga pupuk.

HARGA PUPUK

Produksi pupuk Grup Pupuk Indonesia tahun 2020 adalah sebesar 12 juta ton (dari kapasitas terpasang 13,9 juta ton/tahun). Dari 12 juta tersebut, yang dialokasikan untuk pupuk subsidi adalah 8,9 juta ton (naik 1 juta ton dari yang ditetapkan di awal 2020, sebesar 7,9 juta ton). Impor pupuk tahun 2020 adalah sebesar 6,24 juta ton. Berdasarkan usulan yang terdapat dalam e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompoktani), kebuthan pupuk nasional adalah sebesar 26,18 juta ton. Artinya berdasarkan e-RDKK, sebenarnya petani Indonesia masih kekurangan pupuk, jumlah kekurangannya adalah 7,94 juta ton.

Kita kembali ke masalah pupuk subsidi. Diasumsikan serapan pupuk bersubsidi secara nasional tahun 2020 adalah sama dengan angka serapan pupuk bersubsidi di DIY sebesar 70% (Kementan belum umumkan angka serapan nasional). Artinya pupuk bersubsidi yang sampai ke petani adalah 70% x 8,9 juta ton. Sehingga sebanyak 5,77 juta ton (12 juta ton – 6,23 juta ton) pupuk masuk kategori pupuk non subsidi.

Kemudian diasumsikan 12 juta ton pupuk (subsidi dan non-subsidi) terbagi secara merata ke petani. Artinya ada 51,2% petani yang beruntung mendapatkan pupuk bersubsidi. Dan ada 48,8% petani yang terpaksa membeli pupuk non subsidi.

Sehingga hanya 51,2% petani yang dapat menikmati rasio harga gabah/harga pupuk yang bagus (2,1:1). Sementara 48,8% petani harus gigit jari karena rasio harga gabah/harga pupuk yang sangat buruk (0,7:1)/ di bawah ini adalah grafik yang menggambarkan besar rasio harga gabah/harga pupuk sepanjang tahun 2020 hingga awal tahun 2021.

Karena hampir separuh (48,8%) petani bisa dikatakan merugi karena tidak mendapat pupuk subsidi, maka wajar bila indeks nilai tukar petani (NTP) selama tahun 2020 turun dari 104,46 (Desember 2019) ke 101,49 (Desember 2020). Seiring, nilai tukar usaha rumah tangga pertanian (NTUP) juga ikut turun, bahkan lebih dalam, dari 114,04 (Desember 2019) ke 104,0 (Desember 2020).

Padahal sektor pertanian menjadi sektor yang selama tahun 2020 mengalami pertumbuhan 2,59%. Produksi gabah (GKG) tahun 2020 juga sedikit meningkat ke 54,65 juta ton dari produksi tahun sebelumnya 54,6 juta ton (meningkat 45 ribu ton). Dan Bank Indonesia juga mencatat terjadi pertumbuhan kredit UMKM sektor pertanian tahun 2020 yang sangat fantastis sebesar 16,7% (di tengah pertumbuhan kredit perbankan 2020 yang minus 2,41%).

Jadi, meskipun sepanjang tahun 2020 sektor pertanian tumbuh positif, produksi gabah sedikit meningkat, dan pertumbuhan kredit sektor pertanian tumbuh double digit, tetap saja petani tidak menjadi untung. Bila petaninya buntung, sangat mungkin pertumbuhan positif dinikmati oleh para disttibutor pupuk di seluruh Indonesia yang menjadi makmur karena menjual pupuk non subsidi.

*Analis Ekonomi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

52  +    =  62