Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Ada dua konsep tentang ukhuwah (persaudaraan), yaitu ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan umat manusia).
Pentingnya tanah air dapat kita lihat dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Nabi ingin mempunyai tanah air (negara) sehingga dakwah Islam bisa berkembang dengan baik. Ini pula mengapa al-Quran masih menyebut-nyebut tentang kisah Fir’aun serta kisah-kisah para nabi lainnya. Sebabnya kisah-kisah tersebut menyingkapkan adanya sejarah tentang tanah air atau daerah yang pernah dihuni oleh raja-raja terdahulu dan para nabi dalam menjalankan roda pemerintahan maupun misi kenabiannya. Dalam pepatah Arab dikatakan,”barangsiapa yang tidak memiliki tanah air, maka ia tidak memiliki sejarah. Dan barangsiapa yang tidak memiliki sejarah, maka akan terlupakan”. Contoh nyata adalah bangsa Kurdi yang tidak memiliki tanah air sehingga terceraiberai hidup berdiaspora di Turki, Iraq dan Syiria.
Identitas yang Mengeras
Anehnya, di lingkungan keagamaan, muncul pandangan yang memperlawankan antara nasionalisme dengan agama. Bahkan banyak kelompok-kelompok keagamaan yang menolak nasionalisme dan malah menyebutnya sebagai ‘kafir’ atau ‘thoghut’. Seperti kita simak, Abu Bakar Ba’asyir setelah bebas masih saja ‘ngeprank’ dengan menggelar upacara HUT RI, namun setelahnya justru tetap menggelorakan militansi penegakan syariat di NKRI dengan tetap menyebut NKRI sebagai thoghut.
Baca juga: Ekologi dan Bioterorisme
Jangan heran bila di negeri-negeri dimana mayoritasnya umat Islam seringkali terjadi pertumpahan darah. Lihatlah Afghanistan, Somalia, Iraq, Yaman atau Syiria. Konflik di negeri-negeri muslim ini tampak sudah berada di ambang batas kemanusiaan. Apalagi dengan kemunculan ISIS.
Kejadian di Timur Tengah tersebut menunjukkan bahwa ternyata kesamaan dalam agama belum atau tidak mampu menyatukan masyarakatnya. Islam di Timur Tengah ternyata berpotensi menimbulkan konflik akibat salah tafsir yang kebablasan. Somalia atau Afghanistan misalnya, seratus persen rakyatnya memeluk Islam. Tapi, yang terjadi adalah perang saudara, saling rebut kekuasaan serta penindasan oleh rezim yang berkuasa.
Inilah fakta mengerasnya identitas. Disini yang terbangun dan bermunculan di banyak negeri termasuk wilayah di Indonesia memperlihatkan kecenderungan dua pola, yaitu positif dan negatif atau bahkan destruktif. Untuk pola yang kedua tampak pada kelompok-kelompok keagamaan yang mengukuhkan identitasnya dengan menafikan, menyingkirkan, dan memberantas yang lain. Logika seperti ini dikembangkan berdasarkan apa yang disebut Jacques Derrida sebagai prinsip ”oposisi biner” atau Michel Foucault sebagai ”logika strategis” seperti modern-tradisional, superior-inferior, mayorita-sminoritas, Barat-Timur, dan Islam-kafir (sesat).
Tak pelak, terjadilah pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian. Fakta ini sesungguhnya adalah salah satu permasalahan kebudayaan yang mengemuka hampir merata di tiap wilayah negeri. Seingkali dimana-mana merebak konflik sosial berbasis etnis, keagamaan atau perbedaan cara dan orientasi hidup. Konflik-konflik itu kerapkali juga diwarnai oleh sentimen yang menolak kepentingan kebangsaan dan lebih mengunggulkan kepentingan kelompok atau golongan sendiri.
Dakwah Nusantara
Merujuk pada cara berpikir khas Nusantara, kita bisa menunjukkan teks-teks sastra Jawa pada abad ke-11-12 M, atau bahkan pada mitos-mitos yang kita tidak tahu persis dari abad berapa muncul di Bumi Pertiwi. Dalam khazanah nusantara kita menyebutkan adanya “individu-individu hebat”semisal Mpu Kanwa dengan Arjunawiwaha-nya di abad ke-11, Mpu Sedah dan Panuluh dengan Bharatayudha-nya di abad ke-12, Mpu Tantular dengan Arjunawijaya-nya di abad ke-13, Yosodipura yang menyadur Dewaruci di abad ke-18, serta Mangkunegara IV dengan Pakem Pedalangan dan Ronggowarsito dengan Serat Pustaka Rajapurwa-nya.
Dari banyak kajian keindonesiaan sepintas ini, fakta-fakta menguatnya sektarian dan identitas sejatinya berbalik fakta dengan apa yang terjadi di Indonesia. Semenjak dahulu kala, dalam konteks Islam di Nusantara sudah memperlihatkan wajah yang arif dan damai. Pertikaian memang terjadi, namun hanya lokal dan regional yang tidak menimbulkan tragedi nasional seperti yang terjadi di Iraq atau Syiria dewasa ini. Dan konflik-konflik yang pernah terjadi di nusantara tersebut justru menumbuhkan sikap dewasa dan matang seperti secara khusus kita lihat dalam perjalanan dakwah keislaman di bumi nusantara ini.
Para pendakwah Islam sejak dulu tidak sertamerta melakukan ‘pembumihangusan’ terhadap kearifan-kearifan lokal yang sudah lama berserakan di bumi nusantara. Artinya, mereka tidak menganggap bahwa ‘warisan nasional’ yang ada di bumi nusantara ini perlu dihancurkan lantas diganti secara frontal dengan simbol-simbol keislaman yang literalis. Ini jelas jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ISIS, Boko Haram atau Asysyabab saat menguasai suatu daerah, lalu melakukan penghancuran terhadap warisan-warisan sejarah yang ada bahkan kuburanpun menjadi sasaran penghancuran.
Kita tahu negeri kita kaya dengan tradisi budaya dan kearifan lokal seperti tercermin dalam ratusan suku dengan beranekaragam bahasa, tradisi dan budaya. Dari setiap suku itu dapat dipastikan akan memiliki nilai-nilai (values) positif dalam kehidupan mereka yang telah diwarisi beratus tahun.
Nah, dari perjalanan pendakwah Islam di bumi nusantara ini membuktikan tidak adanya pertentangan antara nasionalisme dengan ajaran Islam. Mereka menyadari betul bahwa untuk bisa berdakwah, maka dibutuhkan tanah air yang kondusif.
Para ulama di nusantara dikenal sebagai cendekiawan yang berwawasan luas, penulis yang kreatif dan produktif serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, budaya dan spiritualitas. Mereka adalah agen-agen perubahan. Contohnya Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauha, Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri atau Abdul Rauf al-Singkili. Mereka bukan saja telah meletakkan fondasi dakwah yang moderat, tetapi juga mampu memberikan bukti nyata bagi perjalanan historiografi dakwah Islam di nusantara yang menampakkan wajah Islam yang jauh dari sikap dan tindakan radikal.
Hasilnya, bisa kita lihat hingga sekarang, misalnya nama-nama pesantren yang justru dikenal karena nama desa atau daerahnya seperti Pesantren Tebuireng, Pesantren Krapyak, Pesantren Lirboyo, Pesantren Sarang, Pesantren Termas, Pesantren Langitan, Pesantren Buntet, Pesantren Suralaya, Pesantren Cipasung, dan masih banyak lainnya. Ini jelas berbeda dengan munculnya pesantren-pesantren dadakan yang dibangun oleh kelompok-kelompok radikal-puritan yang menonjolkan nama dan identitas kearaban. Bahkan sama sekali tidak menghiraukan nama desa atau daerahnya, karena anggapan yang terpenting buat mereka adalah nama-nama yang dipandang ‘Islami’. Daerah tempat berpijak tidaklah penting. Yang terlihat di kalangan kelompok model kalap seperti ini adalah penonjolan ukhuwan Islamiyah semata, serta meniadakan ukhuwan wathoniyah dan ukhuwah insaniyah.
Beranjak dari sinilah, kita bisa simpulkan bahwa sesungguhnya Islam di Indonesia tidak mempunyai akar radikal. Munculnya radikalisme dan terorisme merupakan hasil adopsi kultur keagamaan yang datang dari luar. Katakanlah, Islam yang radikal lebih merupakan “produk impor” laiknya sebuah produk yang diimpor dari luar negeri dan kemudian dijajakan di dalam negeri. Arus komunikasi global dewasa ini yang memungkinkan orang begitu mudahnya menyerap faham-faham luaran menjadi fakta adanya pergulatan “model baru” dalam memaknai dan menindaki ajaran Islam. Kasus pemblokiran situs radikal menjadi potret ketegasan untuk mempertahankan tanah air dari serbuan informasi yang merusak.
Ini kembali menegaskan para ulama di nusantara sedari dulu menyadari sepenuhnya bahwa setiap sistem perubahan tampak mesti selalu berangkat dari ruang lokalitas. Meminjam istilah intelektual muslim asal Maroko, Muhammad Abed Al-Jabiri, perlu adanya “al-tajdidu min al-dhakhil”, yakni perubahan yang berangkat dari tradisi kita, bukan dengan meminjam tradisi orang lain.
Militansi Nusantara
Sikap moderat ala Islam Indonesia ini sudah saatnya pula diekspor ke manca negara khususnya ke Timur Tengah. Kita lihat di Timur Tengah menunjukan ketidakberimbangan peranan ulama antara ilmu yang dimiliki dengan peranannya kepada kemaslahatan orang banyak. Akibatnya, ulama tidak bisa memberikan kontribusinya disaat terjadi konflik di tengah masyarakat. Ulama di Timur Tengah hebat-hebat. Namun, kiprah mereka biasa-biasa saja, bahkan terlihat ibarat ‘macan kertas’, karena hanya lihai berkhotbah atau menulis berjilid-jilid kitab, namun lembek di lapangan.
Inilah pembuktian bahwa para ulama kita punya peran yang jauh lebih baik. Semangat dan peranan ini yang ingin kita tularkan. Ulama-ulama di negeri kita mampu meredam konflik yang terjadi di daerahnya seperti banyak kasus konflik baiik horisontal maupun vertikal yang pernah mewarnai di beberapa daerah Indonesia. Kiai-kiai di negeri kita ini mempunyai modal semangat pengabdian yang tinggi tanpa harus bertakik-takik dengan retorika keilmuan seperti ulama di Timur Tengah. Dengan bekal ilmu yang kadang biasa-biasa saja, tidak seperti jika dibandingkan dengan ulama di Timur Tengah dan juga dengan militansi bermatair kearifan warisan leluhur jaringan keulamaan nusantara, para kiai kita sigap tergerak untuk mendirikan pesantren yang manfaatnya dapat dirasakan masyarakat dan negara.
Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)