Opini

Urgensi Rekonstruksi Regulasi Ketenagakerjaan Berbasiskan Keadilan Pancasila

Oleh: Dr. Subiyanto Pudin,S.Sos.,SH.,MKn,CLA*

Channel9.id-Jakarta. Pada 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait gugatan Partai Buruh, DPP KSPSI pimpinan Andi Gani Nena Wea, KSPI, dan FSPMI. Gugatan tersebut adalah uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan ini tertuang dalam Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023.

Putusan MK ini mengabulkan 21 gugatan pemohon dan menolak satu gugatan lainnya. Dari 21 poin yang dikabulkan, banyak yang terkait dengan kebijakan ketenagakerjaan, seperti penetapan upah, tenaga kerja asing (TKA), tanggung jawab Menteri Ketenagakerjaan, hubungan kerja (PKWT dan alih daya), waktu istirahat mingguan, cuti besar, hingga hak pekerja dalam situasi perusahaan pailit. Selain itu, tiga poin lainnya mengatur perlindungan pekerja dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), di mana PHK baru sah jika ada putusan hukum tetap. Hak dan kewajiban para pihak dalam sengketa PHK juga harus tetap berjalan sampai perselisihan diselesaikan secara hukum. Ketentuan pesangon juga mengalami perubahan, dengan mengembalikan frasa “paling sedikit” sesuai dengan Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003.

Secara hukum, 21 poin yang dikabulkan ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini mempertegas bahwa UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan filosofi Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal menarik lainnya adalah fakta bahwa undang-undang ketenagakerjaan sudah 37 kali diuji konstitusionalitasnya di MK, dengan 12 permohonan dikabulkan. Hal ini menunjukkan bahwa UU Ketenagakerjaan, baik UU 13/2003 maupun UU 6/2023, tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

UU 13/2003 dan UU 6/2023 sebagai hukum positif (ius constitutum) yang berlaku saat ini masih jauh dari hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Dampak putusan MK ini sangat mungkin menimbulkan benturan norma hukum pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Benturan ini dapat mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, berpotensi merugikan pekerja, buruh, dan pengusaha, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham negara kesejahteraan (welfare state) dan anggota ILO telah meratifikasi 18 konvensi dan 2 rekomendasi ILO dalam regulasi ketenagakerjaan yang ada. Namun, regulasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh hukum heteronom yang berasal dari luar.

Dalam disertasi penulis yang berjudul “Rekonstruksi Regulasi Ketenagakerjaan yang Integral dalam Mewujudkan Hubungan Industrial Berbasiskan Keadilan Pancasila”, konsep rekonstruksi ini dilihat dari tiga aspek sistem hukum yang disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, yaitu: 1) Struktur hukum (structure of law), 2) Substansi hukum (substance of the law), dan 3) Budaya hukum (legal culture).

Dari sudut pandang substansi hukum, regulasi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini mengandung delapan undang-undang, yang enam di antaranya merupakan hukum materiil dan dua lainnya hukum formil. Namun, hanya 37,5% dari undang-undang tersebut yang sudah mengandung nilai-nilai Pancasila sebagai landasan ideal, dan tidak ada satupun yang mengandung Pancasila sebagai landasan operasional. Dengan kondisi ini, budaya hukum dalam proses interaksi dialog sosial ketenagakerjaan terlepas dari nilai-nilai keadilan Pancasila, terutama nilai itikad baik dan gotong royong. Akibatnya, tiga pelaku utama hubungan industrial, yaitu pemerintah, pengusaha, dan pekerja, tanpa sadar terseret ke dalam arus nilai liberal dengan sikap individualistis. Interaksi sosial ketenagakerjaan diwarnai dengan budaya menang-kalah (win and lose), bukan semangat gotong royong.

Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini seharusnya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk memperbaiki regulasi ketenagakerjaan yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan Pancasila. Rekonstruksi regulasi ketenagakerjaan ini diperlukan agar undang-undang yang ada benar-benar mencerminkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Dengan regulasi ketenagakerjaan yang berbasiskan keadilan Pancasila, diharapkan dapat tercipta hubungan industrial yang sehat, di mana pemerintah, pengusaha, dan pekerja dapat saling mendukung dalam semangat gotong royong dan kebersamaan.

Dalam mewujudkan regulasi ketenagakerjaan yang berlandaskan Pancasila, perlu ada upaya komprehensif dari semua pihak. Pemerintah perlu memastikan bahwa undang-undang yang disusun tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga memperhatikan kepentingan semua pihak. Pengusaha perlu memahami bahwa pekerja adalah bagian penting dari perusahaan yang harus dilindungi hak-haknya. Pekerja juga harus memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya serta bersedia bekerja sama dalam membangun hubungan yang harmonis dengan pengusaha.

Regulasi ketenagakerjaan yang berbasiskan keadilan Pancasila juga diharapkan dapat menjadi landasan bagi Indonesia dalam mencapai visi sebagai negara industri maju. Dengan regulasi yang lebih adil, hubungan industrial di Indonesia akan berubah dari pola menang-kalah menjadi pola saling menguntungkan (win-win solution). Semua pihak, baik pemerintah, pengusaha, maupun pekerja, diharapkan dapat mengaktualisasikan nilai-nilai keadilan Pancasila, yaitu sikap saling memberi, saling menerima, dan memastikan bahwa semua pihak merasa diuntungkan.

Untuk merealisasikan visi ini, pemerintah perlu melakukan reformasi regulasi ketenagakerjaan secara menyeluruh. Pemerintah juga harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses pembuatan undang-undang agar undang-undang yang dihasilkan benar-benar mewakili kepentingan semua pihak. Selain itu, perlu ada program pendidikan dan sosialisasi bagi masyarakat mengenai nilai-nilai Pancasila dalam hubungan industrial agar budaya hukum yang berlandaskan Pancasila dapat tertanam kuat di masyarakat.

Putusan MK ini menjadi pengingat penting bagi bangsa Indonesia bahwa undang-undang ketenagakerjaan yang ada saat ini belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, rekonstruksi regulasi ketenagakerjaan yang lebih adil, komprehensif, dan terintegrasi sangat diperlukan. Dengan demikian, Indonesia dapat memiliki regulasi ketenagakerjaan yang lebih sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai panduan hidup bangsa.

Baca juga: Memikirkan Lagi Pentingnya Jaminan Sosial

*Lulusan PDIH UNISSULA-Semarang, Dosen STIH Gunung Jati Kota Tangerang, Fungsionaris KSPSI, Anggota P3HKI, Anggota DJSN-Unsur Pekerja Periode 2014-2024, Advokat Peradi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2  +  7  =