Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Pemerintah harus berupaya keras menghentikan pandemi Covid-19. Berapa pun biaya yang terpaksa dikeluarkan (at all cost). Dapat dibenarkan, karena menyangkut keselamatan dan nyawa seluruh rakyat Indonesia.
Namun, perhitungan dampak ekonomi serta soalan APBN terkait masih perlu diperhitungkan secara cermat. Dijelaskan kepada publik, transaparan, serta menimbang opsi atau masukan dari pihak di luar otoritas.
Salah satunya mengenai utang pemerintah. Rencana penambahan utang sejauh ini dapat dibenarkan (justified), karena keterbatasan sumber dana bagi kebijakan mitigasi dampak pandemi.
APBN 2020 semula merencanakan tambahan utang sebesar Rp 351,85 triliun. Perpres No.54/2020 tentang perubahan postur dan rincian APBN 2020 mengubahnya menjadi Rp1.006,40 triliun. Angkanya tercantum sebagai item pembiayaan utang pada kelompok pembiayaan.
Kelompok pembiayaan diletakkan di bagian bawah neraca APBN, sering disebut below the line. Kelompok Pendapatan dan Belanja tampak di bagian atas.
APBN 2020 semula menargetkan Pendapatan sebesar Rp2.233,20 triliun, Belanja sebesar Rp2.540,43 triliun), sehingga defisit diprakirakan sebesar Rp307,23 triliun.
Kelompok Pembiayaan secara konsepsi memang dimaksud bagaimana “membiayai” defisit tadi. Nilainya akan sama, namun “arah arus uang” nya berkebalikan. Defisit bertanda minus, pembiayaan bertanda positif.
Perlu diketahui bahwa dalam kelompok pembiayaan terdapat pos yang justru merupakan pengeluaran. Contohnya investasi kepada BUMN. Ini tidak dicatat dalam pos Belanja di bagian atas, karena bersifat menimbulkan hak, yaitu bertambahnya nilai “kepemilikan” pada BUMN. Belanja dapat dikatakan bersifat pengeluaran yang “habis”, meski ada barang modal yang berumur lebih dari setahun.
Kelompok pembiayaan terdiri dari beberapa item. Salah satunya, menunjukkan “nilai bersih” utang yang direncanakan untuk keseluruhan transaksi. Baik yang di atas, maupun yang di bawah garis. Posnya disebut sebagai pembiayaan utang. Seperti disebut terdahulu, nilainya dalam APBN sebesar Rp353,85 triliun dan telah diubah menjadi Rp1.006,40 triliun.
Umpama realisasi persis seperti APBN yang diubah Perpres tersebut, apakah posisi utang pemerintah akan bertambah sebesar itu? Bertambah dari posisi akhir Desember 2019 yang Rp4.779 triliun. Ada beberapa faktor lain yang turut menentukan. Yang paling berpengaruh adalah kurs rupiah pada saat nilai utang dinyatakan.
Posisi utang dinyatakan dalam rupiah. Padahal, secara rata-rata komposisi utang berdasar denominasinya saat ini: Rupiah (60%), dolar amerika (30%), valuta asing lainnya (10%). Harap diingat, utang pemerintah berupa surat berharga (SBN) dan pinjaman (loan). Ada SBN rupiah, SBN valas, dan loan valas.
Sebagai contoh, realisasi pembiayaan utang sebesar Rp359 triliun pada APBN 2019. Posisi utang bertambah lebih banyak, yakni sebesar Rp435 triliun. Selisih dari Rp4.418 triliun per akhir 2018 menjadi Rp4.779 triliun per akhir 2019. Kasus tahun 2018 lebih signifikan, pembiayaan utang sebesar Rp372 triliun, namun utang bertambah Rp480 triliun. Faktor utamanya adalah pelemahan nilai rupiah.
Kembali pada prakiraan posisi utang akhir 2020. Akan bertambah sebesar Rp1.006,4 triliun sebagai faktor pembiayaan utang APBN, serta faktor pelemahan rupiah atas nilai utang terdahulu (utang denominasi valas posisi akhir 2019). Jika kurs akhir tahun 2020 sebesar Rp17.000, maka tambahan utang dilihat secara rupiah diprakirakan sekitar Rp400 triliun. Berarti total tambahan utang sekitar Rp1.400, triliun.
Tentu jika target kurs dari Bank Indonesia terwujud, yaitu Rp15.000, maka hanya bertambah Rp135 triliun. Perlu diketahui, Pemerintah (kemenkeu) sendiri Menyusun perubahan APBN secara umum memakai asumsi rata-rata kurs Rp17.500.
Dengan memakai prakiraan utang selama tahun 2020 akan bertambah Rp1.400 triliun, maka posisi utang per akhir 2020 menjadi Rp6.179 triliun.
Berapa rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB)? Bergantung asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasinya.
Sementara ini dari paparan kemenkeu dikatakan outlook defisit APBN 2020 sebesar Rp852,9 triliun sebagai 5,07% dari PDB. Artinya, PDB nominal diasumsikan sebesar Rp16.800 triliun.
Dengan PDB sebesar itu, maka rasio utang atas PDB, mencapai 36,78%.
Sebagai informasi tambahan, ketika posisi utang diumumkan bulan Januari 2020 sebesar Rp4.779 triliun disebut memiliki rasio atas PDB sebesar 29,8%. PDB diprakirakan sebesar Rp16.040 triliun, karena belum tersedia publikasi PDB setahun dari BPS. Kemudian, PDB ternyata hanya sebesar Rp15.834 triliun, maka rasionya menjadi 30,18%.
Perppu telah memberi payung hukum untuk menambah pembiayaan utang lagi, jika diperlukan akibat perkembangan kondisi nanti. Kurs rupiah juga belum terlalu aman untuk dipastikan akan menguat.
Terlepas dari keterpaksaan menambah utang karena pandemi Covid-19, faktanya utang pemerintah akan meroket pada tahun 2020. Dapat saja pembiayaan utang mencapai Rp1.300 triliun dan kurs menyentuh Rp20.000. Artinya posisi utang mencapai Rp6.800 triliun dengan rasio 40% atas PDB.
Pengalaman buruk dampak krisis 1997/1998 pada lonjakan utang pemerintah patut diwaspadai. Utang Pemerintah terus melaju kencang, secara nominal dan rasio, hingga tahun 2000. Biaya utangnya masih dirasakan hingga belasan tahun kemudian.
Penulis tidak berpandangan bahwa utang tidak perlu ditambah. Melainkan perlu diperhitungkan secara cermat, dan dijelaskan lebih terbuka kepada publik.
Semoga yang terjadi tidak terlampau buruk. Semoga para pengambil kebijakan tetap amanah dan mampu memutuskan yang terbaik bagi negeri. Bagi rakyat negeri, lintas generasi.
*Chief Economist Institut Harkat Negeri