Oleh: Irwan D Makdoerah*
Channel9.id-Jakarta. “Pak, saya positif Covid, “ suster saya berkata lirih dengan mata agak sembab. Dia baru saja mendapatkan hasil antigen dan dinyatakan reaktif.
“Wah, kalau begitu segera kamu PCR untuk memastikan.“ Saya berusaha tenang walau sesungguhnya tidak siap mendapatkan kabar reaktifnya tes antigen suster.
Saya hanya berpikir, ini anak saya pasti terpaparnya. Lebih dari 3 hari suster selalu bersama anak. Memang dia menggunakan masker, tetapi sangat berdekatan jika memberikan makanan atau bermain.
Singkatnya, benar anak saya terpapar. Tidak saja anak, tetapi juga istri dan ART lainnya yang berada di rumah. Hanya saya yang hingga saat ini masih negatif. Fisik saya pun tidak mengalami gangguan seperti dialami oleh istri, anak, suster maupun ART. Tidak ada panas, tidak sakit tenggorokan, bahkan tidak ada sesak napas. Walau di saat kecil hingga kelas 5 SD, saya adalah penderita asma kronis.
Hari berlalu. Pengakuan suster pada hari Rabu hingga Kamis mengalami sesak napas. Dia tidak bisa bekerja. Tidak ada pula keinginan untuk keluar dari kamarnya. Tindakan cepat harus saya lakukan. Demi kemanusiaan.
Kamis malam akhirnya saya membawa suster ke RS di wilayah Bekasi Timur. Saya mengenakan APD lengkap. Dari mulai tutup kepala, masker 3 lapis, face shield, sarung tangan latex 2 lapis, baju APD sampai sarung penutup sepatu saya. Sangat panas memang. Keringat tidak pernah berhenti selama saya menyetir. Padahal AC sudah full dan tempratur di low.
Tugas membawa suster selesai. Kembali ke rumah dengan rasa was-was pun ada. Takut tertular. Saya pasrahkan kepada yang Di Atas saja.
Tiba di rumah, saya kaget. Motor kebanggan milik ART beserta ART-nya tidak ada di rumah. Padahal seharian di hari Kamis itu, ART dalam kondisi panas dan tidur terus menerus. Malah seharusnya di Jumat besoknya, dia sudah disiapkan untuk dipindahkan ke Wisma Atlet.
Kesal. Marah. Tak percaya. Itu yang ada dalam benak emosi saya. WA saya tak dibalas. Telepon saya pun dibiarkan bagaikan dia lagi tuli. SMS apalagi. Tak dihiraukan bagaikan saya ini tukang jualan produk.
Jumat pagi saya berketetapan. Dia artinya sudah minggat dari rumah sebagai orang positif Covid-19. Ini bahaya. Jangan sampai dia tak memberitahukan kepada siapa pun bahwa dia tengah terpapar Covid-19. Saya lapor pak RT dan beliau akan meneruskan laporan saya ke Satgas Covid-19 Kelurahan. Saya berharap ada tindak lanjutnya. ART saya sudah berpotensi menyebarkan virus. Ekstrimnya jika saya emosional, sebaik-baiknya dia ditemukan dan diberikan sanksi sosial. Sayangnya, saya tidak berhasil melaporkan ke Satgas Nasional. Terlalu susah untuk dihubungi lewat telpon.
Inilah wajah nyata sketsa sosial di indonesia. Nyata sekali. Ada lapisan tertentu yang menganggap enteng. Atau bahkan tidak percaya. Bahkan menganggap dirumahsakitkan adalah pemaksaan kehendak dan membatasi ruang gerak mereka. Lapisan masyarakat dengan stereotype seperti ini bukannya tidak ada. Pasti ada. Padahal saat si ART ini mendengar suster terpapar, dia terlihat sigap dengan menggunakan double masker, jaga jarak, dan mengurangi interaksi.
Sekali lagi, tak heran kalau penyebaran Covid-19 ini disebabkan adanya social judgement oleh orang-orang seperti ART di rumah. Penegakan kedisplinan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan ada artinya jika masih ada orang-orang seperti ART di rumah. Binalah orang-orang seperti itu. Jangan dibiarkan. Mereka lah perusak sistematika tatanan kedisplinan.
Berbeda dengan suster. Entah apa yang merasuki pikiran dia, tetapi bagi saya ini sama halnya dengan ART tadi. Cara berpikir mereka sama. Sebelas duabelas istilahnya.
“Saya sudah tidak sesak lagi, pak. Apakah besok saya boleh pulang dari rumah sakit?“ tanya suster. Saya hanya bisa bergumam, ini sangat luar biasa pemikirannya, ujar saya dalam hati. Sesak napas adalah akibat virusnya. Tidak sesak napas, bukan berarti virus sudah hilang.
Memang dia sudah minta izin tidak akan bekerja kembali di rumah manakala selesai dari rumah sakit. “Saya pulang kampung saja karena takutnya kalau kembali ke rumah bapak, saya terkena Covid lagi, “katanya. Alasan yang enteng. Bagaikan dia menyalahkan kami. Dia lupa kalau si pembawa virus Covid-19 ke dalam rumah kami, yah dirinya.
Inilah contoh perspektif budaya lapisan sosial tertentu. Tidak percaya bahwa dirinya atau diri mereka dapat dihinggapi Covid-19. Mereka yakin dirinya kebal akan Covid-19. Atau setidaknya diri mereka tidak tereksploitasi oleh public health issues-nya pemerintah.
Menganggap enteng, menganggap diri mereka “sakti”, dan tidak percaya Covid-19 itu nyata adanya. Itulah penyakit sosial di dalam struktur budaya di lapisan sosial tertentu. Penyakit sosial yang ditularkan akibat social knowledge yang secara prakteknya mengabaikan kepentingan bersama.
Ketegasan pemerintah baik pusat maupun daerah tidak akan berarti kalau lapisan sosial ini masih ada. Walau kecil mungkin secara populasinya, namun sangat rentan dalam sketsa sosial di tengah wabah pandemi. Mereka harus dibina. Mereka harus diberikan pemahaman yang mendalam akan tanggung jawab sosial mereka.
*Ketua Dewan Etik Forum Budaya Jakarta Pesisir