Rahmawati Mohd Yusoff
Opini

Wakaf Hijau Nusantara: Kolaborasi Malaysia–Indonesia Menuju Lingkungan Lestari

Oleh: Rahmawati Mohd Yusoff*

Channel9.id-Jakarta. Hari Bumi yang diperingati setiap 22 April menjadi pengingat bahwa krisis iklim yang semakin akut menuntut inovasi dalam pendanaan proyek-proyek lingkungan, termasuk menggabungkan instrumen keuangan alternatif dengan nilai-nilai spiritual dan sosial. Pendekatan tersebut semakin relevan  di tengah keterbatasan dana publik dan meningkatnya kebutuhan investasi hijau. Salah satu yang laik dijalankan adalah waqf crowdfunding untuk green finance—yaitu penggalangan dana berbasis wakaf secara digital untuk mendanai proyek-proyek yang mendukung keberlanjutan lingkungan.

Malaysia dan Indonesia, sebagai dua negara dengan populasi Muslim terbesar dan memiliki sistem perwakafan yang aktif, berpotensi luar biasa untuk menjadi pelopor inisiatif ini. Namun, untuk mencapai efektivitas dan dampak yang optimal, diperlukan suatu kerangka manajemen yang terstruktur dan sesuai konteks.

Wakaf adalah aset atau harta yang ditahan kepemilikannya dan manfaatnya disalurkan untuk kepentingan umum. Crowdfunding, di sisi lain, adalah metode pengumpulan dana dari sejumlah besar individu, umumnya melalui platform digital. Waqf crowdfunding menggabungkan dua konsep ini dalam konteks teknologi digital dan filantropi Islam.

Keuangan hijau (green finance) merujuk pada investasi yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan mitigasi perubahan iklim. Dengan demikian, waqf crowdfunding for green finance adalah upaya menggalang dana wakaf dari masyarakat untuk mendanai proyek-proyek berwawasan lingkungan seperti energi terbarukan, pertanian organik, konservasi air, dan pengelolaan sampah.

Skenario Terkini di Malaysia dan Indonesia

Malaysia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam digitalisasi perwakafan. Lembaga seperti Perbadanan Wakaf Selangor, MAIWP, dan Johor Corporation melalui Waqaf An-Nur Corporation telah aktif dalam mengembangkan berbagai proyek wakaf produktif. Namun, implementasi wakaf untuk proyek lingkungan masih relatif terbatas.

Salah satu inisiatif yang patut dicatat adalah pengembangan wakaf pertanian dan eco-tourism di negeri Perak dan Selangor yang didanai sebagian melalui kanal digital. Malaysia juga sedang mengeksplorasi Green Sukuk Wakaf dan Cash Waqf Linked Green Projects, namun masih belum tersedia kerangka manajemen spesifik yang menghubungkan sistem crowdfunding dengan proyek hijau berbasis wakaf secara sistematis.

Adopsi teknologi blockchain dan smart contracts juga mulai dibahas, meskipun belum banyak diterapkan secara luas. Tantangan regulasi dan keterbatasan kesadaran masyarakat menjadi hambatan utama dalam akselerasi inisiatif ini.

Sementara itu, Indonesia juga memiliki potensi luar biasa dalam hal wakaf. Berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia (BWI), potensi wakaf nasional mencapai lebih dari Rp 180 triliun per tahun, namun yang terealisasi masih jauh dari angka tersebut. Indonesia juga telah meluncurkan platform Wakaf Produktif dan Digital Wakaf seperti GoWakaf, Wakaf Salman, dan KitaBisa yang telah mulai mengarah pada pembiayaan proyek-proyek hijau.

Contoh nyata adalah proyek wakaf sumur bor dan sanitasi ramah lingkungan di daerah-daerah rawan air bersih serta pembangunan kebun wakaf organik di pesantren-pesantren. BWI bersama Kementerian Agama juga mulai mendorong penggunaan dana wakaf untuk pengelolaan lahan produktif berbasis agroekologi dan energi terbarukan.

Namun, sama seperti Malaysia, tantangan utama di Indonesia adalah fragmentasi sistem, kurangnya standardisasi, dan minimnya integrasi antara lembaga wakaf, sektor swasta, dan regulator keuangan hijau seperti OJK dan BI.

Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan suatu kerangka manajemen yang dapat memastikan efektivitas, akuntabilitas, dan keberlanjutan waqf crowdfunding untuk keuangan hijau. Kerangka ini dapat mencakup lima komponen utama antaranya identifikasi proyek hijau yang layak, platform digital transparan dan terverifikasi, model investasi wakaf berkelanjutan, kemitraan multipihak, dan indikator dampak lingkungan dan sosial.

Pertama, lembaga wakaf harus melakukan seleksi terhadap proyek lingkungan yang memiliki dampak nyata, berbasis komunitas, dan memiliki kelayakan dari sisi syariah dan keberlanjutan. Selanjutnya, penggunaan fintech berbasis syariah dan teknologi blockchain dapat memastikan transparansi donasi, pelacakan real-time, dan keamanan transaksi. Perlu diketahui, alih-alih hanya berfokus pada sedekah langsung, model ini mendorong wakaf sebagai endowment fund yang diinvestasikan dalam proyek hijau dengan keuntungan berkelanjutan (misalnya, melalui green sukuk atau saham energi bersih).

Selanjutnya, kerangka ini harus melibatkan kolaborasi antara lembaga wakaf, pemerintah (khususnya lembaga perubahan iklim dan pertanahan), lembaga keuangan syariah, dan LSM lingkungan. Terakhir, setiap proyek wakaf harus memiliki sistem evaluasi berbasis key performance indicators (KPIs) terkait dampak lingkungan, pengurangan emisi karbon, kesejahteraan penerima manfaat, dan keberlanjutan ekonomi proyek.

Peluang dan Tantangan ke Depan

Potensi implementasi waqf crowdfunding untuk keuangan hijau sangat besar, terutama di kawasan Asia Tenggara. Malaysia dengan ekosistem keuangan Islam yang matang dan Indonesia dengan populasi Muslim yang besar menjadi laboratorium alami untuk model ini.

Namun, lemahnya literasi wakaf di kalangan muda, belum adanya regulasi spesifik tentang wakaf hijau, serta keraguan terhadap keamanan digital, masih menjadi tantangan yang serius. Perlu intervensi kebijakan yang lebih strategik, antara lain penyusunan regulasi khusus tentang wakaf lingkungan hidup, penyediaan insentif pajak dan CSR bagi perusahaan yang mendukung wakaf hijau, pengembangan kurikulum literasi wakaf digital di pesantren dan universitas, penelitian kolaboratif antara akademisi, regulator, dan praktisi dalam mengembangkan model hybrid waqf-investasi hijau.

Waqf crowdfunding for green finance bukan hanya gagasan idealistik, melainkan solusi praktis yang menyatukan spiritualitas, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Di era perubahan iklim dan transformasi digital ini, kita dituntut untuk mengembangkan instrumen keuangan yang tidak hanya efisien, tetapi juga etis dan berdampak jangka panjang.

Malaysia dan Indonesia memiliki semua komponen dasar—kerangka hukum, teknologi, dan kesadaran spiritual—untuk mewujudkan gagasan itu. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk menyatukan semua elemen tersebut dalam satu sistem manajemen yang berkelanjutan, inklusif, dan adaptif terhadap tantangan zaman. Dengan demikian, kita dapat menghadapi tantangan global dengan solusi lokal yang inovatif dan berdampak luas.

Baca juga: Inginkan Akselerasi Gerakan Wakaf Ma’ruf Amin Potensi Nilainya Rp18 Triliun 

*Dosen University Teknologi Mara, Johor, Malaysia | Mahasiswa Doktoral Manajemen Berkelanjutan Perbanas Institute, Jakarta

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  28  =  32