Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa, 31 Maret 2020 mengumumkan akan menggelontorkan dana sebesar Rp.405,1 Triliun untuk menanggulangi dampak penyebaran virus korona di Indonesia melalui Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Total anggaran tersebut akan dialokasikan untuk bidang kesehatan, keamanan sosial, insentif perpajakan, hingga kredit usaha rakyat.
Langkah tersebut patut diapresiasi—dan juga diawasi—, di tengah banyaknya kritik terhadap pemerintah yang dinilai lamban dan tak punya konsep dalam menangani pagebluk ini. Tak hanya itu, situasi makin runyam, setelah sehari sebelumnya, pemerintah akan mengambil langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengarah pada darurat sipil, bukan menerapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Terlepas dari pro dan kontra pemerintah dalam menangani penyebaran virus korona, langkah pemerintah dalam memberlakukan Keppres Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ini juga dapat dianggap sebagai salah satu kemenangan masyarakat dalam menuntut dan memperjuangkan hak kebebasan dan kesejahteraan kepada negara. Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2019) menyebut langkah keberhasilan dalam memperjuangkan dua hal itu sebagai sebuah bentuk belenggu negara Leviathan (Shackled Leviathan State).
Musababnya, dalam memperjuangkan hak kebebasan dan kesejahteraan itu mengharuskan adanya keseimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat. Berpijak pada Thomas Hobbes (1651), Acemoglo dan Robinson menyepakati bahwa manusia adalah serigala di antara sesamanya. Oleh sebab itu, diperlukan negara (Hobbes membahasakan Leviathan) untuk mengatur masyarakat, memperkuat hukum, menangani konflik, menjamin kebebasan, dan menciptakan kesejahteraan.
Akan tetapi, negara sebagai representasi kelas dominan yang menguasai modal kapital dan sosial juga memiliki langkah dan tujuannya dalam mewujudkan hal-hal yang disebutkan di atas. Maka, acap kali dengan semua aparatus yang dimilikinya, negara cenderung sangat kuat dan hanya mementingkan kelompoknya.
Akibatnya, kepentingan dan kebutuhan masyarakat sering kali ditidakacuhkan. Acemoglo dan Robinson menyebut hal itu sebagai sebuah Despotic Leviathan State. Dengan kata lain, negara dapat berubah menjadi monster yang amat kuat, sedangkan masyarakat menjadi sangat lemah.
Oleh sebab itu, untuk mengimbangi negara yang semakin kuat, diperlukan masyarakat yang kuat pula. Dalam konteks ini, masyarakat dapat melakukan kontrol terbuka terhadap pemerintah. Salah satu senjata yang dimiliki oleh masyarakat adalah krtitik. Tentu saja, kritik pun harus dijamin sebagai hak dasar manusia dalam rangka kebebasan berekspresi, yang juga diatur dalam konstitusi Indonesia.
Mengkritisi langkah pemerintah untuk memberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan melalui PSBB, terlihat kuatnya peran masyarakat dalam mengisi perdebatan di ruang publik—terutama di media sosial. Hal itu sangat layak diapresiasi. Sebab, perdebatan sebagian besar pada substansi permasalahan. Meski, tak sedikit juga perdebatan yang didasari sentimen politik atau polarisasi masyarakat yang terjadi sejak pemilu 2014; pendukung atau pembenci Presiden Jokowi.
Jika saja, perdebatan yang menguat adalah berdasarkan sentimen politik. Maka, kekuatan masyarakat ini akan menjadi sia-sia. Sebab, dua kelompok tersebut hanya akan saling menguatkan kelompoknya dan merendahkan kelompok lainnya. Apa bila itu terjadi, maka yang terjadi adalah Absent Leviathan State.
Oleh sebab itu, perjuangan dalam mewujudkan kebebasan dan kesejahteraan sangat tipis batasannya. Acemoglu dan Robinson bahkan menganalogikan perjuangan mewujudkan kebebasan dan kesejahteraan bagaiakan koridor yang sangat sempit. Bila negara, sedikit lebih dominan, maka yang terjadi adalah negara despotik. Sebaliknya, jika yang kuat adalah masyarakat, maka dalam hal ini negara bisa dianggap tidak ada.
Tentu, PSBB bukan kemenangan segalanya baik masyarakat. Akan tetapi, sebagai modal awal yang sangat baik untuk membangun optimisme dalam memperjuangkan hak kebebasan dan kesejahteraan. Sebab, seperti yang kita tahu, negara selalu kuat dan selalu punya celah untuk mendominasi masyarakat. Dari hal itu kita mengingat bahwa perjuangan memperjuangkan hak kebebasan dan kesejahteraan adalah perjuangan abadi. Tak hanya itu, keberhasilan masyarakat mendesak pemerintah untuk memberlakukan PSBB juga menujukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih ada dan berfungsi.
Virdika Rizky Utama
Penulis Buku Menjerat Gus Dur