channel9.id – Denpasar. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Provinsi Bali (Walhi Bali) mendorong pemerintah untuk memperhatikan kondisi nelayan Tanjung Benoa yang saat ini kesulitan mencari ikan akibat reklamasi oleh Pelindo III. Menurut Walhi, aktivitas pengerukan, pendalaman, dan pengeboran laut, membuat kerusakan lingkungan sehingga nelayan kesulitan mencari ikan.
“Pendapat kami terkait dengan Nelayan Tanjung Benoa yang kesulitan mencari ikan karena kondisi lingkungan yang rusak akibat dari aktivitas pengerukan dan reklamasi oleh Pelindo, seharusnya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata.
Sebagaimana diketahui, pengerukan alur dan karang yang dijalankan oleh PT Pelindo Sub Regional Bali dan Nusra ini dilakukan untuk pengembangan Pelabuhan Benoa dalam rangka membangun Bali Maritime Tourism Hub (BMTH).
Namun, dibalik itu, proyek ini dinilai telah membuat air laut keruh sehingga mengganggu pendapatan nelayan sekitaran Tanjung Benoa. Mega proyek yang memakan kawasan seluas 132,9 hektar itu disinyalir berdampak terhadap kerusakan lingkungan, perubahan ekosistem pesisir, dan menimbulkan kerugian negara. Bahkan, selain diduga sangat mencemari lingkungan, aktivitas dari Pelindo III Benoa juga telah merusak hektaran lahan mangrove.
Menurut Made Krisna , Pemprov Bali seharusnya melakukan upaya untuk menyelamatkan nelayan dari aktivitas pengerukan dan reklamasi yang telah menyebabkan lingkungan sekitarnya rusak. Sehingga, lanjutnya, hal ini berdampak terhadap nelayan – nelayan yang setiap harinya mengandalkan mata pencahariannya dari mencari ikan.
Tak hanya itu, Walhi melihat selain berdampak pada mata pencaharian nelayan, pengerukan dan reklamasi ini juga membunuh tanaman mangrove seluas 17 hektar.
“Tentunya kami Walhi dalam kesempatan ini sangat menyayangkan adanya aktivitas pembangunan berupa pengerukan dan reklamasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan,” ungkap Made.
Ia menilai, Pemprov Bali tentu mengetahui bahwa seluas 17 hektar lahan mangrove telah rusak akibat reklamasi di Tanjung Benoa. Namun sampai saat ini, kata Made, tidak ada tindakan tegas untuk memberikan efek jera terhadap pelaku yang merusak mangrove seluas 17 hektar tersebut.
“Karena kami khawatir, jika hal seperti ini dibiarkan, ini menjadi preseden buruk dan pelaku perusak mangrove terus menerus akan merusak mangrove karena tidak ada sanksi yang memberikan efek jera,” ujarnya.
Made mengakui, Walhi Bali mengantongi dokumen-dokumen kegiatan reklamasi Pelindo III berupa Izin Lokasi, Izin Pelaksanaan Kegiatan Reklamasi, Izin Lingkungan, dan AMDAL. Dokumen-dokumen ini, terang Made, diperoleh dengan bersengketa dengan Pelindo terlebih dahulu di Komisi Informasi (KI) Bali.
“Meski putusan KI Bali telah memenangkan gugatan Walhi Bali terkait informasi yang dimohonkan Walhi Bali dan Pelindo wajib membukanya ke publik, namun pihak Pelindo tidak mau memberikan dokumen tersebut secara lengkap,” ungkap Made. Ia menerangkan, dokumen-dokumen itu justru didapat dari instansi Kementerian Perhubungan dan KLHK tanpa penyangkalan dan bukan dari Pelindo 3.
Seperti diketahui nelayan Tanjung Benoa, terutama adalah nelayan tradisonal yang mencari ikan dengan cara menyelam, mengeluh sulit mendapatkan ikan karena air laut keruh. Keruhnya air laut diduga berasal dari pengerukan yang dilakukan oleh Pelindo 3, yang melakukan pendalaman di sekitar lokasi pelabuhan.
“Proses pengerukan ini dilakukan secara terus menerus, entah sampai kapan, kami tidak ada sosialiasi dan kompensasi akibat tidak bisa mencari ikan,”jelas Abdu Latif, Nelayan Tanjung Benoa yang menjadi Ketua Perkumpulan Nelayan Satu Napas.
Baca Juga : Menengok Kembali Reklamasi Pulau Serangan, Menyisakan Tangis Nelayan
Baca Juga : Nasib Pilu Nelayan Tanjung Benoa: Bertarung Melawan Keruhnya Air Laut Akibat Pengerukan