Channel9.id-Jakarta. Setelah flu babi G4 hingga Bubonic muncul, kini muncul wabah ‘tick borne’ yang juga harus diwaspadai. Baru-baru ini, Cina mencatat tubuh orang tewas dan puluhan orang terinfeksi akibat severe fever with thrombocytopenia syndrome (SFTS) karenanya.
Wabah ‘tick borne’ tidak hanya terjadi di Cina. New York pun melaporkan adanya kasus penyakit yang ditularkan secara tick borne pada Juli lalu.
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (AS) mengatakan, penyakit yang menular melalui gigitan kutu memiliki gejala mirip Covid-19. Misalnya demam, sakit kepala, menggigil, dan nyeri otot.
“Itu salah satu yang benar-benar meningkat, terutama di bagian timur laut New York,” jelas Byron Backenson, wakil direktur Biro Pengendalian Penyakit Menular Departemen Kesehatan AS, dikutip dari Fox News (10/8).
Gejala akan muncul setelah satu hingga dua minggu digigit kutu yang terinfeksi. Kendati yang terjangkit penyakit ini jarang, dampaknya bisa fatal jika tak ditangani.
Backenson mengaku kesulitan menginformasikan kepada masyarakat tentang peningkatan kasus wabah ‘tick borne’ di tengah pandemi Corona.
Di New York, penyakit ‘tick borne’ itu disebut dengan penyakit anaplasmosis. Penyakit ini sering dibayangi oleh penyakit lyme, yang ditularkan melalui kutu paling umum di New York di mana ada lebih dari 5.500 kasus baru setiap tahunnya
Tidak seperti penyakit lyme, yang penelitiannya menunjukkan bahwa tes diagnostik seringkali tidak akurat, tes untuk anaplasmosis mudah dilakukan. Penyakit ini, menurut CDC, sering diobati dengan antibiotik.
Departemen Kesehatan New York nengatakan bahwa kutu hidup di luar ruangan, di daerah berhutan, atau berumput di permukaan tanah, menurut . Sebagaimana serangga lain, mereka kerap menempel di rumput tinggi, semak-semak dan hidup di halaman rumput dan taman, khususnya di tepi hutan dan sekitar dinding batu tua.
Oleh karenanya, Anda harus waspada jika di luar ruangan. Sebisa mungkin hindari kontak dengan tanah, daun, dan tumbuhan agar terhindar dari kutu. Para ahli kesehatan menyarankan untuk memakai sepatu tertutup, celana panjang dan kemeja lengan panjang jika melewati daerah rawan kutu. Lalu seringlah memerika pakaian dan kulit yang terbuka jika berada di luar ruangan.
Sudut Pandang Indonesia
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, Msc, mengatakan bahwa perlu dicek terlebih dahulu, terkait ada atau tidaknya kutu pembawa virus tersebut di Indonesia.
“Kalau kutunya nggak ada ya kita nggak perlu khawatir. Kalau kutunya ada ya kita perlu khawatir karena virus itu baru terjadi lagi di Cina dan bisa saja sudah ada di Indonesia,” terang dr Miko, Minggu (9/8).
Sebelumnya, sebuah hasil studi di 2015 menunjukkan bahwa ada sejumlah spesies kutu yang diduga membawa virus SFTS, di antaranya H longicornis, R microplus, H campanulata dan D sinicus pada anjing, kucing, domba, dan sapi.
Kendati demikian, dr Miko mengatakan saat ini tidak usah khawatir karena jumlah kasusnya masih terbilang sedikit.
“Kalau penyakit itu banyak, seperti demam berdarah, COVID yang sudah banyak jadi takut gitu. Jadi, prevalensinya masih jarang penyakit tadi,” sambungnya.
“Karena sekarang yang ditakutkan justru demam berdarah karena lagi musim,” ucap dia.
(LH)