WHO Rilis Pedoman Penggunaan AI di Ranah Kesehatan
Techno

WHO Rilis Pedoman Penggunaan AI di Ranah Kesehatan

Channel9.id-Jakarta. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) merilis pedoman yang menguraikan enam prinsip utama penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam kesehatan. Dua puluh ahli mengembangkan pedoman ini selama dua tahun, yang mana mereka menghasilkan laporan konsensus pertama terkait etika AI di ranah kesehatan.

Laporan tersebut menyoroti ikrar kesehatan dan potensi AI untuk membantu dokter merawat pasien—terutama di daerah yang kekurangan sumber daya. Namun, laporan juga menekankan bahwa teknologi bukanlah solusi cepat untuk menjawab tantangan di ranah kesehatan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Dengan demikian, pemerintah harus berhati-hati meneliti di mana dan bagaimana AI digunakan untuk kesehatan.

Dilansir dari The Verge (1/7), WHO berharap pedoman tersebut bisa menjadi dasar bagi pemerintah, pengembang, dan regulator dalam melakukan pendekatan dengan teknologi AI. Adapun pedoman itu menguraikan enam prinsip, yaitu: melindungi otonomi; mempromosikan keselamatan dan kesejahteraan manusia; memastikan transparansi; mendorong akuntabilitas; memastikan kesetaraan; dan mempromosikan alat yang responsif dan berkelanjutan.

Ada lusinan cara untuk menggunakan AI di ranah kesehatan. Misalnya untuk aplikasi mammogram, yang kini sedang dikembangkan ini. Aplikasi ini bisa memindai catatan kesehatan pasien dan bisa memprediksi kesehatan mereka di kemudian hari. Tentu alat ini membantu untuk pemantauan kesehatan, bahkan bisa membantu melacak wabah penyakit.

Di wilayah sulit akses ke dokter spesialis, alat semacam itu sangat membantu mengevaluasi gejala pasien. Namun, jika tak dikembangkan dan diimplementasikan dengan hati-hati, alat ini bisa saja menyebabkan kerusakan.

Setahun terakhir ini, pemanfaat AI itu kerap menemui titik gelap. Selama perjuangan melawan pandemi COVID-19, sejumlah institusi kesehatan dan pemerintah mengandalkan AI sebagai solusi. Sayangnya, WHO sering kali memberi peringatan terhadap penggunaan teknologi tersebut.

Di Singapura, pemerintah mengakui bahwa aplikasi pelacakan kontak menghimpun data yang juga bisa digunakan untuk investigasi kriminal, seperti “fungsi creep”. Ini jelas melenceng dari tujuan semula, yaitu untuk data kesehatan. Sebagian besar pemanfaatan AI yang ditujukan untuk mendeteksi COVID-19 itu berdasarkan pemindaian dada, menghasilkan data yang buruk dan akhirnya malah tak berguna berguna. Sedangkan rumah sakit di Amerika Serikat memanfaatkan algoritme untuk memprediksi pasien COVID-19 mana yang memerlukan perawatan intensif.

“Keadaan darurat tak membenarkan penggunaan teknologi yang belum terbukti (keabsahannya),” tulis laporan itu.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa banyak alat AI dikembangkan oleh perusahaan teknologi besar (seperti Google dan perusahaan China Tencent) atau oleh kemitraan antara pemerintah dan swasta. Perusahaan-perusahaan tersebut punya sumber daya dan data untuk membangun alat ini, namun fokus mereka mungkin ke arah keuntungan, bukan kepentingan publik.

“Sementara perusahaan-perusahaan ini mungkin menawarkan pendekatan inovatif, ada kekhawatiran bahwa mereka pada akhirnya menggunakan terlalu banyak kekuasaan dalam kaitannya dengan pemerintah, penyedia dan pasien,” tulis laporan itu.

Pemanfaatan AI dalam di ranah kesehataan terbilang masih baru. Saat ini banyak pemerintah, regulator, dan sistem kesehatan masih mencari cara untuk mengevaluasi dan mengelolanya. WHO mengatakan, jika AI dimanfaatkan dengan bijaksana dan terukur akan membantu menghindari potensi bahaya.

“Daya tariknya sebagai solusi bisa menyebabkan penilaian yang berlebihan, dan mengabaikan tantangan serta masalah yang bisa saja dituai oleh teknologi baru seperti AI,” tulis laporan.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3  +  2  =