Channel9.id, Jakarta. Presiden Prabowo Subianto mulai menata ulang kebijakan infrastruktur besar warisan pemerintahan sebelumnya. Salah satu fokus utamanya adalah restrukturisasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh, yang kini menjadi sorotan publik karena beban finansialnya mencapai ratusan triliun rupiah.
Pada Senin (3/11/2025), Prabowo memanggil Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Direktur Utama PT KAI Bobby Rasyidin, serta mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan ke Istana Negara. Pertemuan ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah sedang menyiapkan langkah korektif terhadap proyek infrastruktur berisiko tinggi tersebut.
Menko AHY mengonfirmasi bahwa pertemuan tersebut membahas skema restrukturisasi utang KCJB.
“Kita ingin mencari solusi terbaik untuk berbagai isu, termasuk proyek KCIC Jakarta–Bandung. Beberapa opsi sedang kami kaji bersama,” ujar AHY di Kompleks Istana.
Langkah ini menyusul pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan pada akhir Oktober lalu, yang menyebutkan bahwa pemerintah China telah menyetujui skema restrukturisasi utang dengan perpanjangan tenor hingga 60 tahun, atau sampai 2085.
Meski demikian, belum ada keputusan resmi yang diumumkan terkait penyelesaian total kewajiban proyek senilai US$7,26 miliar (sekitar Rp119,8 triliun).
Sementara itu, Ignasius Jonan, yang pernah menyoroti kajian lahan proyek saat menjabat Menhub (2014–2016), hadir atas undangan Sekretariat Kabinet. “Hanya diskusi biasa, mungkin juga soal Whoosh,” ujarnya singkat.
Di sisi lain, Dirut KAI Bobby Rasyidin mengaku pertemuannya dengan Presiden lebih banyak membahas layanan transportasi perkotaan, terutama KRL Jabodetabek. Namun, ia membenarkan bahwa Presiden menyinggung perlunya pembahasan serius mengenai proyek kereta cepat.
“Beliau hanya menyinggung secara singkat bahwa pembahasan KCJB akan segera digelar secara khusus,” tutur Bobby.
Pernyataan Bobby ini senada dengan komentarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR pada Agustus 2025, di mana ia menyebut proyek KCJB sebagai “bom waktu” yang perlu segera ditangani karena menimbulkan beban keuangan besar bagi konsorsium BUMN.
Proyek KCJB dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), perusahaan patungan antara konsorsium BUMN Indonesia (melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian China (Beijing Yawan HSR Co. Ltd).
Pembiayaan proyek ini tidak menggunakan dana APBN, melainkan pinjaman dari China Development Bank (CDB) sebesar 75% dari total biaya proyek. Sisanya merupakan setoran modal dari pemegang saham, dengan komposisi PSBI 60% dan Beijing Yawan 40%.
Dari sisi BUMN Indonesia, PT KAI memegang saham mayoritas 58,53%, diikuti PT Wijaya Karya 33,36%, PT Perkebunan Nusantara I 1,03%, dan PT Jasa Marga 7,08%.
Adapun di pihak China, pemegang saham terdiri atas CREC (42,88%), Sinohydro (30%), CRRC (12%), CRSC (10,12%), dan CRIC (5%).
Total pinjaman PSBI ke CDB mencapai sekitar US$2,72 miliar (setara Rp44,9 triliun), belum termasuk beban bunga tahunan sekitar US$120–130 juta atau hampir Rp2 triliun per tahun hanya untuk pembayaran bunga.
Sebagai langkah mitigasi, pemerintah sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 89/2023 tentang Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan KCJB.
Aturan ini memungkinkan dukungan keuangan terbatas tanpa membebani APBN langsung, dengan Dana Cadangan Penjaminan sebesar Rp11,51 triliun.
Namun hingga kini, pemerintahan Prabowo belum menetapkan mekanisme final penyelesaian utang ratusan triliun tersebut — apakah melalui restrukturisasi penuh, penambahan tenor baru, atau skema pembiayaan ulang.
Langkah cepat Presiden memanggil para pemangku kepentingan kunci menunjukkan bahwa proyek Whoosh kini berada di bawah sorotan langsung Istana. Di tengah tekanan keuangan dan kritik publik terhadap manfaat ekonominya, restrukturisasi KCJB akan menjadi ujian awal kebijakan infrastruktur era Prabowo-AHY — apakah mampu menyeimbangkan ambisi pembangunan dengan disiplin fiskal.





