Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Sebagai suatu negara, Indonesia mencatat keluar masuknya uang atau valuta asing dalam Neraca Pembayaran (Balance of Payments). Dari situ diketahui tentang kondisi surplus atau defisitnya selama periode tertentu. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dipublikasikan oleh Bank Indonesia untuk kondisi triwulanan dan tahunan.
Keluar masuk valuta asing karena transaksi yang bersifat jual beli barang dan jasa dicatat dalam bagian NPI yang disebut Transaksi Berjalan (Current Account). Dibedakan dari transaksi yang bersifat utang piutang dan investasi, yang dicatat dalam Transaksi Finansial (Financial Account).
Transaksi Berjalan mencatat ekspor barang sebagai penerimaan, sedangkan impornya sebagai pembayaran. Pada prinsipnya, transaksi jasa-jasa diperlakukan serupa. Oleh karena cakupannya luas dan memiliki karakteristik berlainan, maka transaksi jasa dicatat dalam beberapa kelompok.
Salah satu kelompok transaksi jasa adalah mengenai balas jasa atas penggunaan faktor modal dan finansial, yang dicatat dalam neraca Pendapatan Primer (Primary Income).
Contoh transaksi pendapatan primer yang berupa pembayaran (outflow) adalah: keuntungan dari investasi langsung asing, pembayaran bunga surat utang pemerintah, dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Nilainya cenderung meningkat. Mencapai US$39,58 miliar pada tahun 2018. Selama satu semester tahun 2019 telah mencapai US$20,57 miliar, dan kemungkinan akan lebih dari US$40 miliar hingga akhir tahun.
Tentu saja ada orang Indonesia yang melakukan investasi di luar negeri, dan memperoleh balas jasa yang dicatat sebagai penerimaan (inflow) dalam Neraca Pendapatan Primer. Jika penerimaan ini lebih kecil dibandingkan dengan pembayaran tadi, maka disebut defisit.

Defisit pada tahun 2018 sebesar US$ 30,42 miliar dan satu semester 2019 sebesar US$16,84 miliar. Pendapatan Primer selama ini memang selalu defisit, karena Indonesia yang lebih banyak memakai faktor produksi asing (terutama modal) dibanding sebaliknya. Nilai defisitnya cenderung bertambah, meski sesekali sedikit menurun pada tahun tertentu.
Defisit Pendapatan Primer yang makin besar memberi tekanan tambahan pada Transaksi Berjalan. Di masa lalu, defisitnya dikompensasi oleh surplus ekspor impor. Saat ini, keduanya mengalami defisit.
Apakah defisit Pendapatan Primer dapat diturunkan? Untuk menjawabnya perlu difahami dahulu bahwa perekonomian Indonesia menerima arus masuk modal dari luar secara terus menerus. Ada investasi langsung (Direct Investment), berupa pembangunan pabrik baru, usaha baru, penambahan kapasitas produksi, dan pembelian saham untuk ikut mengelola. Ada investasi portofolio (Portfolio Investment), seperti pembelian surat utang negara dan korporasi. Ada transaksi keuangan lainnya, seperti penempatan dana di perbankan nasional.
Selain mengakui kebutuhan arus masuk modal asing, Otoritas ekonomi bahkan membanggakan pertumbuhan nilainya sebagai indikasi kredibelnya perekonomian nasional. Penalarannya, tidak mungkin pihak lain mau berinvestasi atau memberi utang jika tak yakin akan ada hasil kembalian berupa keuntungan dan pembayaran bunga utang.
Faktanya, arus masuk modal asing yang dicatat dalam Transaksi Finansial itu memang penting untuk memperbaiki kondisi Neraca Pembayaran. Oleh karena Transaksi Berjalan sejak tahun 2012 selalu mengalami defisit, maka bersifat mengurangi cadangan devisa yang dimiliki Indonesia. Untuk mempertahankan, apalagi jika mau menambah jumlah cadangan devisa, maka investasi asing dibutuhkan.
Masalah itu makin serius ketika Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada tahun 2018 mengalami defisit sebesar US$ 7.131 juta. Selama satu semester 2019, NPI memang kembali mencatat surplus sebesar US$443 juta. Hingga akhir tahun 2019, NPI mungkin akan tetap surplus, namun terbilang tipis dibanding tahun-tahun terdahulu.
Kondisi dilematis tampak dalam fenomena ini. Arus masuk modal asing dibutuhkan dan langsung memperbaiki NPI serta menambah cadangan devisa pada tahun bersangkutan. Akan tetapi, akan menagkibatkan pembayaran yang lebih besar pada Pendapatan Primer pada waktu berikutnya.
Sebagai suatu negara dengan perekonomian terbuka, transaksi berutang dan kerjasama investasi dengan pihak asing adalah lazim. Kelaziman terutama dilihat dari pertimbangan atas keuntungan yang akan diperoleh pada tahun-tahun berikutnya.
Secara teoritis, keuntungan dari transaksi finansial pada tahun-tahun sebelumnya akan tampak tampak pada kinerja ekspor yang meningkat, serta suplus perdagangan pada umumnya. Wajar jika defisit Neraca Pendapatan terus meningkat, namun dapat diatasi oleh surplus perdagangan barang. Dan dapat ditambahkan dengan dampak perbaikan neraca jasa-jasa, selain pendapatan primer.
Kondisi Transaksi Berjalan yang mengalami defisit selama 9 tahun berturut-turut, dan cenderung makin besar, mengindikasikan keuntungan dimaksud tadi belum terjadi. Bagaimanapun, defisit neraca pendapatan lebih merupakan akibat, yang kondisinya dapat dibaca sebagai kita membayar jasa makin besar atas modal asing yang masuk.
Chief Economist Institut Harkat Negeri (IHN)*