Channel9.id – Jakarta. Budayawan dan Sosiolog NU Zastrouw El-Ngatawi menyatakan, Islam dan kearifan lokal tidak bisa dipisahkan dalam sejarah ibadah puasa di Nusantara.
Sebelum Islam hadir, ritual puasa sudah dilaksanakan oleh berbagai macam penganut kepercayaan di Nusantara.
Tiap penganut kepercayaan tersebut, melaksanakan puasa sesuai dengan format kepercayaan masing-masing. Pun dilaksanakan sesuai dengan nilai kebajikan kerarifan lokal yang diyakini.
Kendati memiliki format berbeda, semua puasa tersebut berupaya melakukan penyucian jiwa untuk meningkatkan spiritual seseorang.
Saat Islam hadir, tidak serta merta menghilangkan nilai kearifan lokal tersebut. Justru, kehadiran Islam mempertajam pengalaman spiritual seseorang yang terkandung dalam nilai kearifan lokal.
“Ketika Islam masuk, ritual puasa tersebut bertemu dengan syariat islam. Kemudian, puasa tersebut dikontruksi ulang dalam syariat islam,” katanya dalam diskusi daring “Puasa dan Kearifan Lokal” yang diadakan ISNU Jakarta, Sabtu (2/5).
Menurut Zastrow, kontruksi itu bisa diterima lantaran Islam menggunakan pendekatan budaya dalam menyebarkan ajarannya.
“Islam menggunakan pendekatan budaya. Islam diterima dengan kesadaran hati,” kata eks Ketua Lesbumi NU ini.
Kedatangan Islam di Nusantara, juga tidak menghilangkan sejumlah tradisi berpuasa masyarakat pra-Islam.
“Islam memperbolehkan tradisi tersebut asal tidak menentang dan menyimpang,” katanya.
Lebih jauh, menggunakan analisa Bourdieu, Zastrouw menyatakan, tradisi diperbolehkan lantaran kontruksi manusia dibangun atas simbol-simbol. Simbol tersebut mampu menghubungkan interaksi antarmanusia.
“Oleh karena itu, secara sosiologi, masyarakat selalu berupaya untuk mempertahankan, menjalankan, dan mewariskan nilai-nilai yang sudah ada dalam komunitas lokal,” katanya.
Kemudian, nilai yang dipertahankan tersebut diwariskan sehingga menghasilkan berbagai macam ekspresi simbolik.
“Boudillard menyebutnya kreativitas simbolik. Masyarakat mempertahankan nilai tertentu sehingga bisa diwariskan. Pada masyarakat Indonesia, ini menjadi bentuk kreativitas simbolik untuk mencapai spirit kearifan lokal yang dimilikinya dengan nilai-nilai Islam. Kemudian, dikontruksi kreativitasnya yang menghasilkan simbol baru,” ujarnya.
Kreativitas simbolik tersebut bisa diamati dari kebiasaan masyarakat Islam dalam menjalankan ibadah puasa ramadhan.
“Buka puasa bersama, mudik, ini adalah kreativitas simbolik dari kearifan lokal nusantara,” tambahnya.
“Ini yang membuat Islam di Nusantara memiliki karakter dan sifat dalam mewujudkan unsur keberagamanya. Ajaranya sama, tapi ekspresinya beda-beda,” pungkasnya.
(Hendrik)