Oleh: Didik J Rachbini*
Channel9.id-Jakarta. Pertama, APBN sejatinya adalah kebijakan politik atau tepatnya politik ekonomi. Jika ada masalah dengan kebijakan defisit yang besar dan berlebihan karena diputuskan sembrono dan diubah semaunya dari 2 persen terhadap PDB menjadi 3 persen, kemudian dengan gampang diubah menjadi 6 persen lebih maka yang salah adalah kebijakan politik ekonominya. Jadi, kebijakan politik ekonomi anggaran usulan presiden dan keputusan di DPR itulah yang menjadi penyebab utang yang sangat besar sekarang dan defisit menjadi sangat lebar. Di masa presiden sebelumnya, politik anggaran dijalankan dengan hati-hati, perubahan defisit dari 1 persen terhadap PDB menjadi 2 persen begitu susah. Tetapi sekarang perubahan defisit dari 2 persen menjadi 6 persen dilakukan dengan gampang dan sembrono karena alasan untuk penanganan Covid-19.
Kedua, sementara itu, penanganan Covid-19 sudah kocar kacir karena tidak ada strategi yang baik karena kepemimpinan kurang memadai. Dalam perjalanan penanganan Covid-19 selama setahun ini, pertikaian pemerintah pusat dan daerah justru terjadi dalam keadaan dimana seharusnya bersatu. Kebijakan, kepemimpinan dan penanganan awal sangat denial, tidak rasional, dan gagap sehingga tahap selanjutnya berat. Jadi, pelebaran defisit untuk mengatasi Covid-19 tidak benar. Yang masuk akal adalah lobi politik yang kuat terhadap pemerintahan dan DPR karena di masa kritis ini peluang korupsi lebih besar dengan memanfaatkan krisis seperti kasus Bansos.
Ketiga, masalah utang yang bersamaan dengan krisis pandemi ini akan menjadi beban berat dan lebih berat lagi pada periode berikutnya. Beban berat utang sekarang sekarang ini akan terus bertambah dan kemudian diwariskan pada pemimpin berikutnya, kecuali ada keinginan untuk mengerahkan kekuatan politik dan publik untuk menjadi tiga periode dengan mengubah undang-undang dasar.
Keempat, karena mesin politik ekonomi cacat, rusak, dan demokrasi sudah mengalami kemunduran serta menjadi otoriter, maka kebijakan anggaran menjadi otoriter pula. Pelobi yang dekat dengan kekuasaan dapat dengan leluasa meningkatkan defisit dengan sengaja, keputusan dilakukan dengan mudah, sembrono, dan salah kaprah seperti sekarang ini tanpa pertimbangan teknokratis dan rasional. Jadi, kita mesti bersiap menghadapi masalah berat dalam utang pemerintah yang meningkat pesat dalam 2 tahun terakhir ini. Krisis ekonomi yang lebih luas sangat bisa masuk lewat krisis APBN, yang sudah sulit untuk membayar utang di tahun-tahun mendatang. Gejala krisis ekonomi sudah mulai berawal dari krisis anggaran dan utang, yang bisa menyebar ke sektor ekonomi lainnya. Investor mulai tidak percaya, luar negeri berhenti masuk ke dalam negeri, dan akhirnya masuk ke tahap paling dalam “Vote of no convidence”. Jika sudah sampai tahap ini, maka krisis tiga dimensi bisa terjadi, krisis pandemi, krisis ekonomi, dan krisis sosial politik.
Kelima, bagaimana dengan parlemen? Parlemen sekarang sudah lebih rendah kapasitasnya dengan parlemen masa Orde Baru, yang dalam kondisi otoriter tetap memiliki kapasitas teknokratis. Tetapi parlemen sekarang tidak memilikinya. Karena demokrasi sudah terganti otoriter, maka anggota-anggota DPR cuma pasif nurut, mau defisit dilebarkan dengan alasan pandemi, monggo. Hak budget-nya dipotong sehingga tidak punya wewenang menentukan APBN. Itu akar masalah karena demokrasinya rontok maka politik ekonomi angggaran memakai kekuasaan politik minus kapasitas teknokratios, minus rasionalitas akal sehat.
Keenam, saran untuk mengatasi utang sejatinya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi di atas moderat dalam waktu cukup lama dengan strategi ekspor, daya saing, dan penyesuaian struktural. Tapi itu tidak mudah karena sekarang krisis pandemi, yang juga penangannya tidak cekatan karena ada masalah kapasitas kepemimpinan dan problem relasi politik yang rusak. Jadi, masyarakat akan menerima konsekuensi utang yang berat di masa mendatang. Lebih komplikasi lagi karena ada akrobat politk yang dibiarkan, dianggap indah dan dimainkan terus, banyak oknum yang mendorong tiga periode. Energi politik habis untuk akrobat politik seperti ini, bukan untuk solusi kegentingan pandemi dan ekonomi. Akrobat politik presiden tiga periode tersebut jika dibiarkan semakin besar kekuatannya, akan menimulkan resistensi dan bahkan benturan politik lebih berat. Politik rusak ekonomi rusak sehingga seorang Soekarno pun tidak mampu menahan kerusakan entropis tersebut, apalagi cuma pemimpin dengan kelas jauh di bawahnya.
Ketujuh, jadi saya setuju dengan langkah BPK yang mengingatkan pemerintah karena tugasnya memang harus begitu. Jangan malah kritik dinafikan atau bahkan yang kritis diberangus, seperti yang dilakukan sekarang terhadap aktivis. Ada lagi sedikit koreksi terhadap nilai utang yang menjadi tanggungan pemerintah. semestinya nilai utang itu mencakup utang pemerintah sebesar 6.527 trilyun rupiah (lihat Grafik 1), dan juga utang BUMN sebesar 2.143 trilyun rupiah (Grafik 2). Utang BUMN keuangan sebesar 1053,18 triliun rupiah dan BUMN non-keuangan sebesar 1089,96 triliun rupiah. Jadi total utang yang harus dikelola pemerintah pada masa Jokowi sekarang sebesar 8.670 triliun rupiah. BUMN juga diminta dan dibebani tugas untuk pembangunan infrastruktur. Kalau gagal bayar atau bangkrut harus ditanggung APBN, sehingga menjadi bagian dari utang pemerintah. Warisan utang Presiden Jokowi kepada presiden berikutnya bisa lebih 10 ribu triliun rupiah.
Kedelapan, apa konsekuensinya jika utang yang berat ini dibiarkan? APBN akan lumpuh terkena beban utang ini dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar. APBN bisa menjadi pemicu krisis ekonomi. Kalau 20 tahun lalu krisis 1998 dipicu oleh nilai tukar, maka sekarang bisa dipicu oleh APBN yang berat digabung dengan krisis pandemi karena penanganan yang salah kaprah sejak awal. Jadi, gabungan dari kedua faktor itu potensial memicu krisis.
Kesembilan, jika dalam jangka pendek ini peningkatan kasus tidak bisa ditekan dan Amerika jadi menaikkan suku bunganya, maka posisi ekonomi Indonesia akan sangat sulit. Suku bunga utang akan terdorong naik, mesti bersaing sama obligasi USA. Sementara pajak kita masih rendah dan pembiayaan dari obligasi. Kalau tidak bisa bayar dalam jangka pendek kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia merosot. Jika masih dipercaya bisa mungkin masih bisa profiling utang, minta penangguhan utang, tetapi itu berarti bunganya berarti numpuk.
*Ekonom Senior INDEF