Riset Sebut BMI Tidak Akurat Dalam Mengukur Obesitas
Lifestyle & Sport

Riset Sebut BMI Tidak Akurat Dalam Mengukur Obesitas

Channel9.id-Jakarta. Penggunaan Body Mass Index (BMI) sebagai alat ukur obesitas dinilai tidak akurat. Namun masih dapat digunakan secara terbatas.

Centers for Disease Control and Prevention, Lembaga kesehatan Amerika Serikat, menyebut bahwa ada hubungan erat antara minuman manis berkalori tinggi dengan penyakit yang berkaitan dengan obesitas. Data Kementrian Kesehatan 2018 mencatat bahwa konsumsi produk Gula Garam Lemak mencapai 28,7% di masyarakat. Sedangkan konsumsi minuman manis lebih dari sekali per hari mencapai 61,27%.

Kendati demikian, kesadaran mengenai konsumsi kalori disebut meningkat. Hal ini berkaitan dengan upaya pemerintah di berbagai negara untuk membuat regulasi terkait produk pangan dengan pemanis. Beberapa pemerintah dan pemangku kepentingan telah mengambil langkah untuk penanggulangan masalah obesitas.

Di tingkat individu gaya hidup sehat dan menghindari produk dengan pemanis adalah salah satu hal yang dapat dicapai. Setelah itu penggunaan skala BMI disebut sebagai salah satu metode untuk mengukur obesitas diri.

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), BMI dihitung dengan membagi berat badan dengan tinggi badan. Jika hasilnya 25-30, maka dianggap mengalami obesitas. Menurut WHO, standar BMI ideal adalah setidaknya 30 dan untuk orang Asia berada di 25. Pengukuran mandiri dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat kalkulator BMI secara daring.

Namun metode BMI untuk mengukur kecenderungan obesitas kurang tepat. Hal tersebut diungkapkan pada riset baru pada ENDO 2023 di Chicago. Perhelatan termukan merupakan pertemuan tahunan Endocrine society. Dilansir dari NBCnews, orang dengan BMI normal masih dapat berpotensi obesitas.

Pada riset terbaru, BMI disebut tidak mencakup banyak kasus obesitas. Penelitian tersebut menggunakan data 10.000 orang dewasa di Amerika dengan jangka waktu 2011 sampai 2018. Menggunakan BMI data 10.000 orang hanya mencapai 36% namun dengan metode pengukuran lain body fat percentage angka itu naik jadi 74%.

Dr Jaime Almandoz, medical director dari the Weight Wellness program di UT Southwestren medical center, menyebut bahwa berat yang diukur lewat BMI tidak memperhitungkan banyak faktor. Hal tersebut terdiri dari tulang, massa otot, air, dan organ.

Meskipun begitu, pengukuran body fat percentage membutuhkan peralatan khusus. Tidak seperti BMI yang dapat mudah dihitung secara mandiri. Body far percentage dapat diukur menggunakan Dexa scan yang dapat membedakan antara tulang dan lapisan yang lunak seperti lemak.

Baca juga: Riset Sebut Hubungan Penyakit Obesitas dan Minuman Manis

Walau BMI tidak sempurna dalam mengukur potensi obesitas yang dialami seseorang, Dr. Almandoz menyebut metode ini tidak perlu dibuang begitu saja. Pengukur BMI harus dapat mempertimbangkan jenis kelamin, umur dan ras seseorang. “Pasalnya alternative BMI harus diakui cukup sulit dalam lingkungan dengan akses sumber daya terbatas,” ucap nya. Sehingga penting untuk memahami keterbatasan BMI dalam konteks medis.

(FB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

10  +    =  12