Opini

Potret Polisi di Era Demokrasi Digital

Oleh: M.S. Ridho*

Channel9.id-Jakarta. Pasca reformasi berkembang studi-studi tentang demokrasi dan pemolisian. Hal ini dilandasi praktik demokrasi yang sejak dua dekade lalu sudah berjalan baik, meskipun masih ada ruang yang mesti diperbaiki dibeberapa celah yang masih bocor; seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan permasalahan etika publik. Dua hal ini nampaknya masih menjadi permasalahan yang memerlukan perhatian lebih oleh pemerintah dan masyarakat luas.

Kembali pada permasalahan pemolisian demokratik –meminjam istilah Samsu Rizal Panggabean–, kepolisian sebagai institusi negara yang bertugas untuk melayani, tugas pokok dan fungsi polisi antara lain pengaturan lalu lintas, penegakan hukum, menyidik perkara, memelihara keamanan dan ketertiban, serta melindungi keselamatan warga negara.  

Polisi sendiri termasuk institusi yang melakukan reformasi internal di berbagai bidang. Sekurang-kurangnya dalam reformasi polisi terdapat lima prinsip yang dapat kita cermati; 1) rule of law, 2) legitimasi, 3) transparansi, 4) akuntabilitas, 5) tunduk pada otoritas sipil (Pino 2006).    

Penegakan hukum (rule of law), ini menjadi kerangka acuan polisi karena ia bertindak berdasarkan undang-undang, dan undang-undang  tersebut dibuat secara demokratis. Artinya prinsip demokrasi mesti dijunjung tinggi dalam rangka penegakan hukum oleh polisi, tidak dapat bertindak semena-mena, kesemuanya dilakukan dalam koridor nilai-nilai demokrasi. Kaitannya dengan ini, polisi mesti menjamin keselamatan warga pada saat terjadi penyampaian kebebasan berbicara, berkumpul, berekspresi beragama dan berkeyakinan di muka umum.

Telah ada aturannya yang mengatur tentang kebebasan warga  yang perlu dijamin oleh polisi kita. Sehingga ketaatan  polisi itu terhadap undang-undang yang dibuat secara demokratis, bukan pada rezim penguasa. Itu telah kita saksikan sejak 1999-saat rezim boleh berganti namun kesetiaan polisi hanya terhadap undang-undang.  

Adalah legitimasi, sebuah lembaga akan mendapatkan kepercayaan dari publik tatkala keberadaannya itu mendapatkan legitimasi dari negara maupun publik luas. Tentu masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki kedepan oleh kepolisian kita. Sepanjang mendapatkan legitimasi dari publik maka upaya perbaikan itu akan jauh lebih terbuka.

Berikutnya yakni transparansi. Hal ini menjadikan polisi mesti lembaga yang terbuka dan terlihat oleh publik. Sehingga pasca reformasi terbentuklah Indonesia Police Watch (IPW), sebuah lembaga dari masyarakat sipil yang memainkan peran pengawasan terhadap kinerja kepolisian. Polisi di era demokrasi menyaratkan adanya pengawasan internal dan independen.

Akuntabilitas adalah mantra selanjutnya tentang bagaimana sebuah lembaga dapat melakukan sesuatu dengan lebih cepat dan cermat terhadap publik. Asas akuntabilitas ini menjadikan polisi mesti tanggap terhadap pejabat yang dipilih dan juga terhadap media. Baik dari sebelum perencanaan dan pelaksaan penindakan kejahatan serta tetap dalam koridor perundangan-undangan yang berlaku. Ada mekanisme internal; dari tubuh kepolisian, ada mekanisme dari pemerintah dan negara; pemerintah, DPR, pejabat anggaran, lembaga pengawas.

Berikutnya yaitu  mekanisme masyarakat; terhadap masyarakat, media, lembaga audit eksternal, lembaga riset ilmiah, dan pemantau HAM. Serta dengan menunjukkan komitmen yang kuat dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi dengan baik kepada publik luas.  

Landasan berikutnya yaitu tunduk pada otoritas sipil. Sejak era reformasi, polisi menunjukkan juga sebuah performa yang cukup baik dalam menjalankan fungsinya untuk melayani kebutuhan dan kepentingan –keamanan dan ketertiban khususnya—terhadap perseorangan maupun kelompok masyarakat.  Itulah beberapa hal yang dapat menjadikan polisi kita akan menjadi semakin gerak cepat dan tanggap dalam melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat kaitannya dengan permasalahan keamanan dan ketertiban sebagai prasyarat warga negara mendapatkan kenyamanan hidup.  

Polisi di Era Demokrasi Digital

Memasuki era digital yang semakin merangsek seluruh  sendi kehidupan hari ini pun tak luput dari perhatian polisi. Banyaknya berita hoax yang menjadikan saling ketidakpercayaan di tengah-tengah masyarakat direspon dengan membuat akun-akun aduan melalui media sosial; sekurang-kurangnya terdapat akun @DivHumas_Polri sebagai akun resmi divisi humas polri yang ingin menjadikan polri itu obyektif, dipercaya, dan adanya partisipasi –sebagaimana tertulis dalam biodata akun tersebut; @CCICPolri sebagai akun resmi Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri,  dan @Jatanraspoldamj sebagai akun aduan untuk kejahatan-kejahatan siber di ibukota.

Keberadaan akun-akun tersebut mempermudah masyarakat untuk melakukan aduan, komunikasi dan menginfokan kepada polisi jika di lingkungan sekitarnya atau di dalam dunia siber terdapat tanda-tanda mencurigakan yang mengarah pada tindakan kejahatan yang merugikan orang banyak. Interaksi pun dapat dilakukan secara langsung, karena semua akun tersebut dibuat secara terbuka.

Hal ini juga bagian dari sebuah transparansi dan akuntabilitas polri hari ini.   Keterbukaan yang dilakukan polri melalui layanan di media sosial merupakan bentuk konkrit dari perwujudan demokrasi digital.

Di dalam demokrasi digital (Cooper, 1991) itu negara memberikan ruang terbuka kepada publik untuk berpartisipasi secara langsung  dalam pengambilan keputusan, dan memberikan akses kepada media, dan juga akses informasi lain sebagai bagian dari sebuah pemberian sirkulasi informasi dalam rangkan penguatan ruang publik (public sphere).

Apakah ini cukup? Tentu masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dilakukan oleh polri dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan, perlindungan, dan pengayoman warga dari segala tindak kejahatan demi mendapatkan keamanan dan kenyamanan hidup di era digital yang pergerakannya lebih cepat dari yang dapat diperkirakan. Semoga.


Intelektual Muhammadiyah dan pengamat keamanan publik (public security)*  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  89  =  99