Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Setiap kali ada kenaikan atau perluasan objek pajak, protes rakyat selalu muncul. Apakah itu tanda mereka tidak mencintai negeri ini? Tidak. Justru rakyat telah membuktikan cintanya sejak lama. Mereka berkorban jiwa dan raga demi kemerdekaan, dan sejak republik berdiri setia membayar pajak sebagai wujud bakti. Masalah sebenarnya bukan pada pajak itu sendiri, melainkan pada waktu, persepsi, dan rasa percaya.
Kenaikan pajak di saat rakyat sedang terjepit terasa seperti meminta seseorang berlari ketika kakinya sedang cedera. Menurut World Bank, separuh penduduk Indonesia hidup dalam kerentanan miskin, satu dari lima anak lahir stunting, pemutusan hubungan kerja menimpa hampir satu juta orang dalam dua tahun terakhir, dan daya beli terus merosot. Dalam situasi semacam ini, kebijakan fiskal yang membebani justru memicu krisis kepercayaan.
Pajak memang tulang punggung negara. Namun yang terpenting bukan hanya seberapa besar dipungut, melainkan siapa yang menanggung dan bagaimana ia digunakan. Selama mayoritas beban jatuh pada kelas menengah-bawah lewat PPN, cukai, dan pajak konsumsi, sementara kelompok superkaya bisa menghindar lewat berbagai celah, itu bukan keadilan. Itu adalah redistribusi terbalik yang memperlebar jurang ketimpangan.
Integritas tata kelola menjadi kunci. Rakyat akan rela membayar pajak bila yakin negara bersih, anggaran transparan, dan pejabat berintegritas. Sayangnya, hingga kini transparansi dan akuntabilitas masih lemah, KPK dilemahkan, LHKPN pejabat tak diverifikasi, dan kepastian hukum payah. Padahal bila negara bersih, kita akan mendapat trust premium: rakyat patuh bayar pajak, investor percaya, dan biaya modal menurun.
Pengalaman global memberi pelajaran penting. China menguat lewat industrialisasi, kontrol modal, dan hukuman keras pada korupsi. Jepang tetap bertahan meski kehilangan kedaulatan moneter pasca Plaza Accord. Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Tanpa reformasi pajak yang adil, risiko stagnasi ekonomi dan krisis legitimasi semakin besar.
Karena itu, kita memerlukan keberanian politik, bukan sekadar mengatur angka di tabel fiskal. Kita butuh keberanian untuk memperluas pajak kekayaan progresif, mengurangi ketergantungan pada pajak konsumsi, serta memperkuat integritas tata kelola. Namun lebih jauh dari itu, masa depan bangsa tidak boleh hanya disandarkan pada pajak. Kita perlu memperluas basis pembiayaan melalui sekuritisasi sumber daya alam, integrasi dana sosial perusahaan, serta mobilisasi filantropi nasional. Kombinasi inilah yang akan membagi beban lebih adil, mengurangi ketergantungan pada rakyat kecil, dan memastikan pembangunan berkelanjutan.
Masalah pajak bukan sekadar teori fiskal. Ia adalah persoalan masa depan bangsa. Dan masa depan itu lebih mahal dari sekadar tarif pajak. Kita memerlukan perpaduan antara pajak yang adil, pemanfaatan kekayaan alam yang bijak, partisipasi korporasi, dan solidaritas sosial. Hanya dengan fondasi berdaulat semacam itu, Indonesia bisa membangun kesejahteraan yang berkelanjutan dan benar-benar adil bagi seluruh rakyatnya.
Baca juga: Zero Kemiskinan Ekstrem 2030: Bukan Mimpi, Tapi Agenda Bersama
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)