oleh ReO Fiksiwan*
Channel9.id-Jakarta. Tuhan, tempat aku berteduh / Di mana aku mengeluh / Dengan segala peluh…”
“Aku jauh, Engkau jauh / Aku dekat, Engkau dekat / Hati adalah cermin / Tempat pahala dosa bertaruh.” — Lagu Bimbo, Lirik Taufiq Ismail (90), rilis 1970.
Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah, yang lebih dikenal sebagai Acil Bimbo, telah berpulang ke pangkuan Tuhan pada Senin malam, 1 September 2025, pukul 22.13 WIB di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
Ia wafat dalam usia 82 tahun setelah berjuang panjang melawan kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhnya selama beberapa bulan terakhir.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, bukan hanya bagi keluarga dan sahabat, tetapi juga bagi jutaan pendengar yang tumbuh bersama suara bariton khasnya—suara yang tak hanya menyanyi, tetapi juga menyentuh dan menyadarkan.
Acil adalah pelantun yang tak pernah memaksakan nada, melainkan membiarkan lagu mengalir dari kedalaman batin.
Dalam lagu “Cinta” ciptaan mendiang Titiek Puspa, yang telah lebih dahulu dipanggil Tuhan, suara Acil menjadi jembatan antara lirik dan jiwa.
Ia tidak sekadar menyanyikan cinta, ia menghidupkannya. Lagu itu, seperti banyak karya Bimbo lainnya, bukan hanya hiburan, tetapi doa yang dinyanyikan dalam bahasa manusia.
Lahir di Bandung pada 20 Agustus 1943, Acil tumbuh dalam keluarga yang kelak menjadi tonggak musik Indonesia. Bersama kedua saudaranya, Sam dan Jaka, ia mendirikan grup musik Bimbo pada tahun 1966.
Nama Bimbo sendiri diberikan oleh sutradara TVRI Hamid Gruno, yang merasa harmoni mereka layak disebut “bagus.” Dari sana, lahirlah perjalanan panjang yang melintasi dekade, genre, dan generasi.
Lagu-lagu seperti “Sajadah Panjang,” “Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya,” dan “Rindu Rosul” bukan hanya populer, tetapi menjadi bagian dari kesadaran kolektif bangsa.
Di balik panggung, Acil adalah seorang ayah, suami, dan kakek yang penuh kasih. Ia meninggalkan istri tercinta, Ernawati, serta empat anak: Anne Kusumawardhani, Mario Saladin Akbar Kusumawardhana, dan dua lainnya yang senantiasa mendampingi dalam suka dan duka.
Ia juga dikenal sebagai kakek dari artis muda Adhisty Zara dan Hasyakyla Utami, yang mewarisi semangat seni dan ketulusan dari sang Kiyang—panggilan akrab mereka untuk Acil.
Acil bukan hanya musisi, ia juga seorang intelektual. Ia menempuh pendidikan hukum di Universitas Padjadjaran dan menyelesaikan studi kenotariatan pada 1994.
Di luar musik, ia aktif dalam kegiatan sosial dan budaya, mendirikan LSM Bandung Spirit pada tahun 2000 sebagai wadah advokasi dan refleksi kemanusiaan.
Ia dikenal sebagai tokoh Sunda yang berani menyuarakan idealisme, bahkan ketika harus berhadapan dengan arus besar.
Jenazah Acil disemayamkan di rumah duka di Jalan Biologi, Cigadung, Bandung, sebelum dimakamkan di pemakaman keluarga di Cipageran, Cimahi.
Sebelum wafat, ia sempat berpesan kepada keluarga untuk menjaga ibadah, kerukunan, dan persatuan.
Pesan itu bukan sekadar wasiat, tetapi cerminan dari hidup yang dijalani dengan penuh kesadaran spiritual.
Kini, suara bariton itu telah diam. Namun gema suaranya tetap hidup dalam ingatan, dalam lagu-lagu yang terus diputar, dalam doa yang tak pernah selesai.
Acil Bimbo telah kembali kepada Sang Pencipta, tetapi warisannya tetap menyala—seperti lilin yang tak padam, menerangi ruang batin bangsa yang sering kali gelap oleh hiruk-pikuk dunia. Ia bukan hanya musisi, ia adalah jiwa yang bernyanyi untuk kemanusiaan.
Dan dalam keheningan ini, kita mendengarkan kembali: bukan hanya lagu, tetapi hidup yang dijalani dengan cinta.
#coverlagu: Lagu “Tuhan” yang dipopulerkan oleh Bimbo dengan lirik karya Taufiq Ismail diperkirakan dirilis pada awal 1970-an, meskipun tidak tercatat secara resmi tahun rilis pastinya.
Lagu ini menjadi sangat populer terutama saat bulan Ramadan, dan dikenal sebagai salah satu karya religius paling menyentuh dalam sejarah musik Indonesia.
Pada tahun 2009, lagu ini menempati peringkat ke-17 dalam daftar Lagu Indonesia Terbaik versi Rolling Stone Indonesia.
*Sastrawan
Baca juga: Kabar Duka, Acil Bimbo Meninggal Dunia di Usia 82 Tahun