Channel9.id, Jakarta – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa menjaga likuiditas dalam sistem keuangan akan menjadi prioritas utamanya setelah resmi menjabat sebagai bendahara negara. Menurutnya, pelajaran terbesar dari krisis 1998, krisis global 2008, hingga pandemi 2020 adalah bahaya kebijakan moneter dan fiskal yang terlalu ketat karena dapat mengeringkan likuiditas dan menekan sektor riil.
“Kalau mau menciptakan pertumbuhan ekonomi, syarat utama adalah memastikan likuiditas tetap terjaga,” ujar Purbaya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Selasa (10/9/2025).
Ia mencontohkan pengalaman pahit saat krisis moneter 1997–1998, ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga di atas 60% demi mempertahankan rupiah. Langkah tersebut justru memperburuk keadaan karena uang primer melonjak hingga 100% tanpa diimbangi kondisi riil, sehingga perekonomian runtuh. Sebaliknya, pada krisis global 2008 pemerintah mengadopsi kebijakan ekspansif dengan mempercepat belanja dan menurunkan bunga, yang terbukti menjaga laju pertumbuhan.
Pengalaman serupa juga terjadi saat pandemi Covid-19. Atas rekomendasi Purbaya, Presiden Joko Widodo menyetujui langkah Bank Indonesia menyalurkan Rp300 triliun ke sistem perbankan pada 2021. Kebijakan itu membuat pertumbuhan uang beredar kembali positif di kisaran 11–20%, sehingga ekonomi Indonesia mampu bertahan.
Namun, Purbaya mengkritik bahwa dalam dua tahun terakhir kebijakan fiskal dan moneter seakan melupakan pelajaran masa lalu. Uang beredar sempat turun hingga 0% pada 2024, yang menurutnya menjadi penyebab utama perlambatan ekonomi domestik. “Demonstrasi yang kemarin muncul adalah dampak dari tekanan berkepanjangan akibat kesalahan kebijakan yang sebetulnya bisa kita atur,” tegasnya.
Untuk mengatasi hal itu, Purbaya melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa pemerintah saat ini masih memiliki kas Rp425 triliun di Bank Indonesia. Dari jumlah tersebut, Rp200 triliun akan segera dialirkan ke sistem perbankan guna menggerakkan sektor riil. Ia mengakui dana itu tidak bisa sekaligus dipakai untuk program pemerintah, namun sektor swasta dapat mengambil peran dalam menghidupkan perekonomian.
Selain menjaga likuiditas, Purbaya juga berkomitmen memperbaiki serapan anggaran yang selama ini kerap berjalan lambat. Ia menargetkan monitoring belanja akan dilakukan lebih rutin agar program dapat dieksekusi lebih cepat.
Sebagai pembanding, Purbaya menyinggung perbedaan antara dua era pemerintahan sebelumnya. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertumbuhan ekonomi rata-rata hampir 6% karena laju pertumbuhan uang primer mencapai 17% dan kredit swasta tumbuh 22%. Sementara di era Presiden Jokowi, pertumbuhan hanya sedikit di bawah 5% lantaran pertumbuhan uang beredar lebih rendah, sekitar 7%, bahkan sempat stagnan.
Dengan pendekatan likuiditas yang lebih longgar serta kombinasi fiskal dan peran swasta, Purbaya optimistis target pertumbuhan ekonomi 6,5% dapat dicapai dalam jangka menengah. “Pemerintah tidak mungkin mengendalikan semua agen ekonomi. Tugas saya adalah menciptakan kondisi yang sehat agar mereka bisa tumbuh, berbisnis, dan menggerakkan roda ekonomi,” pungkasnya.