Oleh: Eva Riana Rusdi*
Channel9.id-Jakarta. Setelah satu dekade bernegosiasi, Indonesia dan Uni Eropa akhirnya mencapai kesepakatan politik untuk Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), sebuah kesepakatan untuk memajukan perjanjian perdagangan Indonesia – Uni Eropa pada 13 Juli 2025 lalu. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, salah satu hasil dari kesepakatan ini adalah penghapusan tarif masuk untuk sekitar 80% produk ekspor Indonesia ke pasar Eropa dalam 1–2 tahun setelah perjanjian berlaku. Momentum ini bukan sekadar pencapaian diplomatik biasa, melainkan titik balik yang menandai kembalinya Indonesia sebagai pemain utama dalam rantai perdagangan global.
Kesepakatan yang dicapai antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen ini sesungguhnya mengingatkan kita pada masa lalu yang gemilang, ketika Nusantara menjadi jantung perdagangan dunia. Kini, setelah berabad-abad, Indonesia kembali menempatkan diri sebagai simpul vital dalam jejaring ekonomi internasional.
Momentum Emas Indonesia di Pasar Eropa
Data perdagangan menunjukkan tren positif. Pada 2024, nilai perdagangan dua arah Indonesia-Uni Eropa tercatat US$ 30,1 miliar, dengan surplus perdagangan untuk Indonesia sekitar US$ 4,5 miliar, naik dari sekitar US$ 2,5 miliar di 2023. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cermin dari kekuatan fundamental ekonomi Indonesia yang semakin diakui dunia.
Uni Eropa menjadi mitra dagang kelima Indonesia pada 2024, posisi yang strategis mengingat Uni Eropa merupakan blok ekonomi terbesar kedua dunia setelah Amerika Serikat. IEU-CEPA membuka pintu akses lebih lebar bagi produk-produk Indonesia untuk menembus pasar Eropa yang selama ini masih terbatas karena hambatan tarif dan non-tarif.
Yang menarik, kesepakatan ini hadir di tengah dinamika geopolitik global yang semakin kompleks. Perang perdagangan AS-China, konflik Rusia-Ukraina, dan berbagai gejolak rantai pasok global telah memaksa perusahaan-perusahaan multinasional untuk melakukan diversifikasi supplier. Indonesia, dengan posisi geografisnya yang strategis dan stabilitas ekonomi yang terjaga, menjadi destinasi alternatif yang menarik.
Jejak Sejarah yang Berulang
Menarik untuk merenungkan bagaimana sejarah seolah berulang dengan caranya sendiri. Perdagangan rempah jarak jauh telah dimulai sekitar 1000 SM dengan pergerakan kayu manis dan merica dari India dan Indonesia ke Mesir. Berbeda dengan jalur darat yang mengandalkan sutra, jalur laut didominasi oleh rempah-rempah sebagai komoditas utama.
Pedagang internasional memainkan peran signifikan dalam perkembangan budaya yang jejaknya masih kita temukan hari ini, karena komoditas rempah dari berbagai pulau di Nusantara membentuk lalu lintas perdagangan masa lalu. Maluku dengan pala dan cengkehnya, Sumatera dengan ladanya, Jawa dengan rempah-rempah lainnya, menjadi magnet yang menarik pedagang dari Arab, India, China, hingga Eropa.
Namun kejayaan ini sempat padam ketika kolonialisme Eropa menguasai jalur perdagangan. VOC secara ketat memberlakukan larangan perdagangan rempah di Nusantara melalui pengawasan eksplorasi Hongi di Kepulauan Maluku pada abad ke-17 hingga 19 untuk memonopoli perdagangan komoditas rempah Nusantara.
Repositioning di Era Modern
IEU-CEPA hadir di era yang berbeda sama sekali. Jika dulu Indonesia mengandalkan rempah-rempah dan hasil bumi mentah, kini kita bicara tentang integrasi dalam rantai nilai global yang lebih kompleks. Industri manufaktur, jasa, teknologi digital, hingga ekonomi kreatif menjadi bagian dari ekosistem perdagangan modern.
Kesepakatan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk tidak lagi sekadar menjadi pemasok bahan mentah, tetapi berpartisipasi dalam tahapan produksi yang lebih bernilai tambah tinggi. Industri tekstil Indonesia bisa terintegrasi dengan desainer fashion Eropa. Produk makanan olahan Indonesia bisa menembus supermarket-supermarket di Milan atau Amsterdam. Start-up teknologi Indonesia bisa bermitra dengan perusahaan-perusahaan Eropa.
Yang lebih penting, IEU-CEPA memberikan kepastian hukum dan standardisasi yang diperlukan untuk menarik investasi jangka panjang. Perusahaan-perusahaan Eropa akan lebih percaya diri berinvestasi di Indonesia, sementara perusahaan Indonesia mendapat akses lebih mudah ke pasar dan teknologi Eropa.
Tentu saja, kesepakatan di atas kertas adalah satu hal, implementasi di lapangan adalah hal lain. Indonesia perlu memastikan kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia, dan regulasi untuk memanfaatkan peluang ini secara maksimal. Standardisasi produk, sertifikasi halal, hingga perlindungan lingkungan menjadi aspek-aspek krusial yang harus diperhatikan.
Namun momentum ini memberikan harapan besar. Setelah berabad-abad berada di pinggiran sistem perdagangan global yang dikuasai kekuatan kolonial, Indonesia kini memiliki kesempatan untuk kembali mengambil posisi sentral. Bukan lagi sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai mitra sejajar yang saling menguntungkan.
IEU-CEPA bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari babak baru. Babak di mana Indonesia kembali membuktikan bahwa Nusantara memang ditakdirkan menjadi persimpangan peradaban dan perdagangan dunia. Kini, saatnya Indonesia dapat menulis kembali kisah kejayaan itu dengan tinta emas di era modern sebagai motor penggerak penting dalam jaringan perdagangan global dengan prinsip relasi yang setara.
*Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute
Baca juga: Membaca Tuntutan 17+8 dari Perspektif Sosiologi Politik