Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Pulang, sebuah kata mantra yang perlu digaungkan saat ini. Selayak gempuran pandemi covid 19 beberapa waktu silam yang mengharuskan untuk ‘pulang ke rumah’. Senyampang itu, kasus WNI eks Suriah yang masih terlunta belum jua terselesaikan juga perlu kepastian untuk pemulangan mereka di bumi pertiwi. Kendati keputusan pemerintah tampak mulai mengerucut.
Kondisi perempuan dan anak di pengungsian faktanya memang memprihatinkan. Kabarnya, minimnya logistik membuat keributan jadi keseharian, bahkan seorang perempuan Indonesia ada yang tewas setelah dianiaya sesama wanita.
PBB sendiri telah menyerukan agar negara-negara asal pejuang ISIS memulangkan penduduk mereka. Hal ini supaya tidak menimbulkan krisis kemanusiaan.
Masalah-masalah seperti malnutrisi, sanitasi, cuaca yang tidak bersahabat, dan akses terhadap pendidikan dapat menjadi dampak langsung dari krisis tersebut. Secara keseluruhan, pengalaman ini dapat meninggalkan trauma khususnya bagi anak-anak serta memunculkan dendam yang didasari kebencian terhadap pemerintah Indonesia. Ini justru melanggengkan rantai terorisme.
Ya, kini masih menghambur kepedihan tentang cerita bagaimana nasib anak-anak dan perempuan WNI yang sudah kadung di Suriah. Tegakah kita membiarkan mereka lebih dalam ‘dimakan’ oleh idiologi kekerasan Terutama anak-anak yang setiap hari melihat secara kasat mata kekerasan dan mesiu yang meledak.
Dilema yang terus mendera pemerintah RI sudah saatnya segera dicairkan dengan kebijakan tegas untuk memulangkan anak-anak dan perempuan. Memang masih pro kontra dikalangan masyarakat. Lazimnya demikian khususnya juga di kalangan LSM yang bergiat di penanggulangan terorisme. Ada kekuatiran yang menghela benak terjadinya ‘penguatan’ idiologi ISIS dikalangan perempuan dan ‘penanaman’ idiologi yang sudah kadung tertanam di anak-anak ditakutkan sulit untuk dihapus. Dan ini akan menjadi ‘bom waktu’ kelak. Kasus returnis yang kembali berulah bahkan menjadi bomber di negara lain, tidak lalu menjadi alasan mutlak pembenar untuk melakukan kebijakan penolakan pemulangan. Sekian banyak returnis yang terkatung-katung nasibnya tidak harus ‘dikalahkan’ oleh ulah segelintir returnis.
Pemetaan
Ratusan orang Indonesia telah dideportasi dari Turki setelah mencoba bergabung dengan ISIS. Namun mereka ini yang tidak punya pengalaman tempur ISIS diakui tidak ada yang kembali ke tanah air. Sebagian besar pemimpin senior ISIS Indonesia telah tewas, seperti Bahrumsyah pada April 2018, Bahrun Naim pada November 2018, Faiz alias Abu Walid pada Januari 2019. Beberapa lainnya, termasuk Munawar Kholil, diketahui berada dalam tahanan Suriah Kurdi Pasukan Demokrat (SDF) di Suriah.
Banyak penelitian mengungkapkan bahwa perempuan dan anak-anak umumnya hanya korban, entah itu korban propaganda ISIS maupun korban relasi kuasa yang timpang di keluarga. Karenanya, perlunya dilakukan penilaian agar dapat memetakan tindakan yang dibutuhkan untuk rehabilitasi dan reintegrasi. Penilaian ini dengan cara memetakan mana yang levelnya very dangerous masih sangat radikal dan ekstrem sampai pada level yang risikonya sangat kecil.
WNI eks Suriah yang kini berada di kamp-kamp pengungsian masih memiliki hak untuk pulang. Walau begitu, memang perlu antisipasi atas risiko keamanan dari tindakan itu. Pemerintah perlu meminimalisir risiko dengan memperhatikan sejumlah hal sebelum melaksanakan pemulangan. Tentu saja tidak akan memulangkan yang masuk kategori FTF (foreign terrorist fighter). Dalam hal ini, perlu memeriksa latar belakang keterlibatan WNI tersebut di dalam ISIS. Lalu mengklasifikasi WNI yang menjadi pelaku aktif dan sekadar korban, atau WNI yang telah kehilangan kewarganegaraan dan yang belum kehilangan. Selanjutnya, harus memperhatikan proses deradikalisasi yang akan dilakukan, mulai dari leading sector-nya hingga aspek teknisnya.
Bukankah Indonesia punya pengalaman menangani WNI eks Suriah? Salah satunya Dwi Djoko Wiwoho pada 2018. Kasus ini bermula saat Djoko dan keluarganya menghilang sejak Agustus 2015. Belakangan diketahui Djoko telah bergabung dengan ISIS dan beroperasi di Irak. Akhirnya, Djoko dan keluarganya berhasil dipulangkan ke Indonesia. Djoko sendiri harus mendekam di penjara setelah divonis 3,5 tahun penjara. Sementara anggota keluarga lainnya menjalani program deradikalisasi beberapa minggu sampai akhirnya dilepaskan.
Pemerintah memang perlu mempertimbangkan sekali kasus per kasus anak-anak di bawah 10 tahun untuk dapat dipulangkan ke Indonesia. Ini sudah semestinya dilakukan pemerintah. Untuk itu, perlu disertai mekanisme jelas tentang bagaimana proses pemulangan serta tahapan apa yang akan dijalani oleh anak-anak ketika di Indonesia.
Ideologi Kebencian
Dunia telah bersorak sorai atas kejatuhan ISIS di Suriah seiring pulang dunia bersedih atas pandemi covid 19 yang telah memporakporandakan tatanan dunia. Namun banyak yang melihat kekalahan ISIS itu tidak permanen. Daya tarik ISIS tampak masih memesona. Para pengikutnya di negeri Barat misalnya masih ‘siap’ untuk amaliyat. Sel-sel tidur ISIS tinggal tunggu waktu untuk ‘meledakkan diri’ . Kekuatan ISIS yang masih membahayakan ini sekalipun terceraiberai diakui sendiri oleh Amerika lantaran ISIS masih memiliki pemimpin, pasukan, fasilitator, sumber daya dan idiologi yang menjadi ‘bahan bakar’ utama gerakan mereka.
Dalam proses transmisi ideologi, anak-anak selalu berposisi sebagai ‘penerima’, baik transmisi dari orangtua atau dari lingkungan sekitar. Kita bisa tengok Khaled Sharrouf, seorang teroris asal Australia yang memajang foto bersama anak laki-lakinya sambil memegang kepala manusia korban ISIS.
Kasus Khaled memperlihatkan anak sebagai korban dari transmisi ideologi ekstrem orang tua. Ideologi tersebut semakin tumbuh kuat jika ditopang dengan lingkungan yang juga mendukung.
Anak-anak yang sudah tinggal bertahun-tahun di wilayah ISIS,tentu mengalami sistem pendidikan, sosial dan ekonomi ISIS. Mereka telah menyerap doktrin-doktrin kekerasan, puritanisasi radikal ala ISIS, dan pentingnya berperang melawan musuh-musuh Islam.
Doktrin-doktrin semacam ini menyebabkan apa yang disebut Jerrod M. Post sebagai ‘hatred is bred in the bone’ atau kebencian yang berkembang biak dalam tubuh. Anak-anak kerap melanjutkan misi orang tua mereka sebagai bentuk ‘kesetiaan’ mereka terhadap orang tua.
Contohnya, transmisi ideologi kebencian Imam Samudra kepada anaknya, Umar Jundul Haq, yang tewas berperang bersama ISIS di Suriah pada 2015. Dalam sebuah penelitian, terungkap fakta bahwa 25 bom yang diledakkan pada malam Natal tahun 2000 merupakan balas dendam Imam terhadap 250 Muslim yang terbunuh di Ambon dan Poso di tahun 1999-2000. Keputusan pemerintah menghukum mati Imam menjadi motivasi Umar untuk pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.
Aksi terorisme atau keinginan untuk berjihad melawan orang kafir juga mendorong warga Indonesia yang berjihad ke Afghanistan di tahun 1980-an. Dalam sebuah penelitian mengenai peran keluarga dalam menciptakan pejuang jihad, lebih dari 30 orang pelaku termasuk diantaranya para veteran Afghanistan adalah perasaan kebencian terhadap pemerintah dan keinginan membalas dendam.
Kasus-kasus ini menggambarkan bagaimana dendam yang didasari kebencian dapat menjadi faktor pendahulu terjadinya aksi-aksi terorisme di masa depan. Dengan demikian, memulangkan keluarga mantan pendukung ISIS menjadi pertimbangan yang niscaya.
Peran Keluarga
Sejak gelombang pertama kembalinya mantan pendukung ISIS ke Indonesia pada pertengahan 2017, pemerintah menempatkan mereka dalam program rehabilitasi yang diselenggarakan Kementerian Sosial dibawah pengawasan BNPT. Setidaknya 87 anak-anak mantan pendukung ISIS menjalani rehabilitasi sosial. Mereka tinggal di rumah aman (safe house) Handayani selama 3 sampai 6 bulan.
Hanya saja sejauh ini belum ada alat ukur untuk mengukur keberhasilan program deradikalisasi. Selama ini, evaluasi dilakukan dengan menggunakan alat ukur psikologi untuk menilai keberhasilan terapi yang sudah dilakukan.
Hasil penelitian sosiologis menunjukkan bahwa ada proses yang terjadi seumur hidup dalam mewariskan dan menyebarluaskan norma, kebiasaan, dan ideologi. Di sini, orang tua merupakan agen utama sosialisasi.. Karena itu, keberhasilan proses rehabilitasi anak ditopang oleh berhasil-tidaknya rehabilitasi orang tua.
Rehabilitasi terbaik bagi anak-anak adalah yang dilakukan orang tua mereka sendiri. Ini tentu tidak bisa dilakukan jika orang tua masih tetap menganut teguh ideologi ISIS. Program deradikalisasi harus dilakukan secara efektif kepada orang tua. Jika orang tua telah melepaskan diri dari ideologi ekstrim, proses rehabilitasi terhadap anak-anak mereka akan lebih mudah.
Proses deradikalisasi perlu menjadi bagian dari urusan keluarga. Bukankah sejak awal, propaganda ISIS selalu melibatkan keluarga? ISIS telah mendorong pendukungnya untuk hijrah ke Suriah bersama keluarga mereka, dan menjadikan jihad mereka sebagai upaya untuk syahid bersama dan masuk surga bersama keluarga?
Pembinaan terhadap anak-anak dan perempuan returnis tentu sudah disiapkan oleh pemerintah. Berbagai metode telah dirumuskan dan ini produk dari diskusi panjang dengan berbagai kalangan LSM. Sehingga melahirkan cara yang efektif guna ‘menetralisisr’ racun radikalisme yang merasuki anak-anak dan perempuan returnis. Tak perlu kuatir secara berlebihan. Selalu ada cara yang bisa digunakan untuk menanggulangi mereka yang terjerat radikalisme. Sebagaimana perang melawan pandemi covid 19 dengan terus mengupayakan temuan serum anti covid 19. Demikian halnya perang melawan ekstrimisme akan selalu digencarkan sembari terus mengupayakan temuan ‘serum’ anti ekstrimisme yang mujarab terutama untuk deradikalisasi terhadap returnis yang dipulangkan, yaitu anak-anak dan perempuan.
Penulis adalah Peneliti dan Penggiat Literasi Rumah Daulat Buku (Rudalku).