Opini

Presiden Prabowo di Belanda Sempatkan Ziarah Leluhur

Oleh: Reiner Emyot Ointoe & Terry Heesye Sigar*

Channel9.id-Jakarta. “Penekanan abangan pada ritual keagamaan berpusat pada slametan, pesta bersama, dan ziarah ke makam orang suci dan leluhur.“ — Clifford Geertz(1926-2006),The Religion of Java,1960, 1981).

Dalam perjalanan sejarah seorang pemimpin, ada momen-momen yang melampaui batas politik dan diplomasi, menyentuh ranah spiritual dan kultural yang lebih dalam.

Demikianlah yang tampak ketika Presiden Prabowo Subianto(73) — usai mengguncang dunia dengan pidatonya di forum pemimpin dunia di PBB — menyempatkan diri berziarah ke pemakaman umum Oud Eik en Duinen di Den Haag(Belanda).

Di tempat hening itu, bersemayam kakek(Opa) dan nenek(Oma) dari garis ibunya, Dora Marie Sigar: Phillip Frederik Laurens Sigar(Langowan, 1885-1946) dan Cornelie Emilie Sigar Maengkom(Tondano, 1888-1946), yang wafat dan dimakamkan di Belanda.

Ziarah ini bukan sekadar penghormatan keluarga, melainkan sebuah refleksi budaya yang menyingkap lapisan identitas multikultural yang membentuk karakter seorang pemimpin bangsa.

Jejak keluarga Sigar, sebagaimana ditulis oleh Nicolaas Graafland dalam De Minahasa, adalah bagian dari sejarah panjang Minahasa yang berkelindan dengan misi pendidikan, agama, dan transformasi sosial.

Merujuk karya klasiknya,  Nicolaas Graafland, dalam De Minahassa: haar verleden en haar tegenwoordige toestand(1867–1869; 1990), banyak menyinggung praktik keagamaan dan adat masyarakat Minahasa, termasuk ziarah ke makam leluhur sebagai bagian dari kehidupan budaya.

Salah satu kutipan yang relevan berbunyi dalam bahasa Belanda:

“De Minahasser bezoekt met eerbied de graven zijner voorouders; deze bedevaarten zijn niet slechts religieuze handelingen, maar ook uitingen van trouw aan de familie en gemeenschap.”

Alihbasa: “Orang Minahasa mengunjungi dengan hormat makam leluhurnya; ziarah ini bukan hanya tindakan religius, melainkan juga ungkapan kesetiaan kepada keluarga dan komunitas.”

Kutipan ini menandai  bahwa ziarah budaya dalam tradisi Minahasa tidak bisa dipisahkan dari ikatan sosial dan spiritual.

Ia bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga sarana memperkuat identitas kolektif, menjaga hubungan dengan leluhur, dan meneguhkan solidaritas keluarga serta masyarakat.

Budaya ini, di kalangan Tou Minahasa sebagaimana diulas Graafland, meliputi:

“Ma’endo”: berarti berjalan atau pergi, bisa digunakan dalam konteks kunjungan ke tempat tertentu, termasuk makam leluhur.

“Manga’asi”: bentuk penghormatan atau pemberian, bisa merujuk pada tindakan membawa sesajen atau bunga ke makam.

“Moposowan”: berdoa atau memohon berkat, sering dilakukan saat berada di tempat keramat atau makam leluhur.

“Rumages“: membersihkan atau merawat makam, bagian dari ritual ziarah yang menunjukkan penghormatan.

Dari tanah Minahasa (Langowan) nilai-nilai di atas dibubuhi nilai kerukunan, keberanian, dan keterbukaan pada dunia luar diwariskan kepada Dora Marie Sigar — ibu Presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo-Sigar — yang lahir 21 September 1921, di Manado, Sulawesi Utara(Dulu Hindia Belanda) dan wafat 23 Desember 2008, di Singapura, pada usia 87 tahun.

Nilai-nilai itu kemudian berbaur dengan tradisi Jawa dari garis ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo(1917-2001), yang dalam analisis Clifford Geertz dalam The Religion of Java(Terjemahan: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa) mencerminkan kompleksitas budaya Jawa: sinkretisme antara santri, abangan, dan priyayi, yang membentuk pola pikir dan etika sosial masyarakatnya.

Dikatakan oleh Geerzt, ziarah ke makam leluhur dan wali bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga sarana memperkuat ikatan sosial, menjaga kesinambungan tradisi, dan meneguhkan identitas budaya.

Dengan kata lain, ziarah dalam masyarakat Jawa adalah praktik budaya-spiritual yang menghubungkan manusia dengan sejarah, komunitas, dan dunia transenden.

Dari pertemuan dua tradisi besar inilah lahir pribadi yang membawa dalam dirinya mosaik kebudayaan Indonesia—Minahasa yang egaliter dan terbuka, serta Jawa yang penuh simbol, harmoni, dan kedalaman spiritual.

Ziarah kultural ini memperlihatkan bahwa kepemimpinan tidak hanya dibangun dari strategi politik atau kekuatan militer, melainkan juga dari akar budaya dan spiritualitas yang menghidupi seorang manusia.

Daniel Coyle dalam The Culture Code(2018;2021) menekankan bahwa kekuatan komunitas dan kepemimpinan lahir dari tiga hal: rasa aman(Safety), kerentanan yang dibagikan(Vulnerability) dan tujuan bersama(Purpose).

Dalam ziarah ini, Presiden Prabowo menampilkan ketiganya: rasa aman dalam kembali ke akar keluarga, kerentanan dalam mengakui asal-usul dan kehilangan, serta tujuan bersama untuk merawat warisan budaya yang melintasi batas bangsa dan generasi.

Dengan demikian, ziarah ke makam leluhur di Den Haag bukanlah sekadar ritual pribadi, melainkan sebuah pernyataan simbolis tentang pentingnya ingatan, identitas, dan kebudayaan dalam membentuk kepemimpinan.

Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara Minahasa dan Jawa, antara Indonesia dan dunia.

Di tengah hiruk pikuk politik global, momen hening di hadapan pusara keluarga justru menegaskan bahwa kekuatan seorang pemimpin sejati berakar pada kesadaran akan sejarah, kebudayaan, dan cinta yang diwariskan oleh para pendahulunya.

Inilah ziarah kultural yang meneguhkan makna kepemimpinan sebagai perjumpaan antara darah, tanah, dan jiwa bangsa.

#coverlagu: Lagu “Unggenang”(Cipt. Nelwan Katuuk) yang dibawakan oleh Tielman Sister adalah salah satu lagu tradisional Minahasa/Manado yang populer kembali lewat aransemen modern.

Rilis rekaman digital: sekitar 2005 (dirilis ulang dalam format digital pada 2020 oleh DL Records) dan kata  “Unggenang” dalam bahasa daerah Minahasa berarti teringat atau kenangan.

Lagu ini menggambarkan kerinduan yang mendalam, biasanya terhadap orang yang dicintai atau kampung halaman.

Nuansa syairnya sarat dengan nostalgia, cinta, dan kesetiaan, sehingga sering dinyanyikan dalam suasana kekeluargaan atau pertemuan komunitas Minahasa.

Baca juga: Kunker Prabowo: Kanada Hapus 90% Tarif Produk RI, Belanda Kembalikan 30.000 Artefak

*Penyair, Kritikus Sasta, dan Budayawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

67  +    =  70